Monday, January 23, 2017

Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama’ (NU)

Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama’ (NU) -Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk Jama’ah yang diikat oleh kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang mempunyai ciri Aswaja. Sehingga munculnya NU sebagai organisasi merupakan penegasan formal dari apa yang sebenarnya sudah ada sebelumnya. Pendirian organisasi NU tidak lepas dari adanya kekhawatiran akan hilangnya tradisi dan ajaran Islam yang telah kuat mengakar di tengah masyarakat muslim Indonesia, sebagai akibat dari munculnya gerakan yang mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam.

Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama’ (NU)
Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama’ (NU)
Masuknya paham-paham tersebut ke Indonesia bermula ketika umat Islam Indonesia mulai banyak yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci sejak dibukanya terusan Suez tahun 1869. Bersama dengan itu, di Timur Tengah sedang berkembang paham Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan pemikiran Pan Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani yang dilanjutkan oleh Muhammad Abduh. Peristiwa itu tidak bias dihindari oleh para jama’ah haji Indonesia, akhirnya mereka kenal dengan paham dan pemikiran tersebut, akibatnya sebagian dari mereka kemudian terpengaruh. Namun demikian tidak semua kalangan menerima paham pemurnian dan pembaharuan Islam secara bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren yang pernah juga menunaikan ibadah haji berpendapat bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak berarti harus ada perombakan secara total terhadap adat istiadat atau tradisi umat Islam Indonesia yang sudah terbangun kokoh. Paham baru tersebut bisa saja diselaraskan secara luwes dan fleksibel dengan nilai, tradisi dan ajaran Islam yang telah ada dikalangan masyarakat.

A. Sejarah Kelahiran NU
Nahdlatul Ulama’, disingkat NU, artinya kebangkitan ulama’. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926/ 26 Rajab 1344 H di Surabaya.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan dengan system bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi dan lain sebagainya, akan segera dilarang.

Tidak hanya itu, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia berencana meneruskan kekhilafan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya daulah Utsmaniyyah. Untuk itu dia berencana menggelar Muktamar Khilafah di Kota Suci Makkah, sebagai penerua Khilafah yang terputus itu.

Seluruh negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri muktamar tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang direkomendasikan adalah HOS Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Chasbullah (pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik diantara kelompok yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alas an Kiai Wahab tidak mewakili organisasi resmi, maka namanya dicoret dari daftar calon utusan.

Peristiwa itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisahkan sakit hati yang mendalam, karena tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan rencana Raja Ibnu Saud yang akan mengubah model beragama di Makkah. Para ulama’ pesantren sangat tidak bisa menerima kebijakan raja yang anti kebebasan bermadzhab, anti mauled Nabi, anti ziarah makam dan lain sebagainya. Bahkan santer terdengar berita makam Nabi Muhammad SAW pun berencana digusur.

Bagi para kyai pesantren, pembaruan adalah suatu keharusan. KH. Hasyim Asy’ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum modernis untuk menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam murni. Namun Kyai Hasyim tidak bisa menerima pemikiran mereka yang meminta umat Islam melepaskan diri dari system bermadzhab.

Disamping itu, karena ide pembaruan dilakukan dengan cara melecehkan, merendahkan dan membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren menolaknya. Bagi mereka, pembaruan tetap dibutuhkan, namun tidak dengan meninggalkan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih relevan. Karena latar belakang yang mendesak itulah akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan.

Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asyari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai Wahab adalah salah seorang murid utama Kiai Hasyim. Ia lincah, energik dan banyak akal.

Susunan pengurus PBNU yang pertama (1926) :
Syuriah:
Rais Akbar : KH. M. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Wakil rais Akbar : KH. Dahlan Ahyad, Kebondalem (Surabaya)
Katib Awal : KH. Abdul Wahab Chasbullah (Jombang)
Katib Tsani : KH. Abdul Chalim (Cirebon)
A’wan : KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
: KH. Ridwan Abdullah (Surabaya)
: KH. Said (Surabaya)
: KH. Bisri Syansuri (Jombang)
: KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
: KH. Nahrowi (Malang)
: KH. Amin (Surabaya)
: KH. Masykuri (Lasem)
: KH. Nahrowi (Surabaya)
Mustasyar : KH. R. Asnawi (Kudus)
: KH. Ridwan (Semarang)
: KH. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruan)
: KH. Doro Muntoho (Bangkalan)
: Syeikh Ahmad Ghonaim al-Misri (Mesir)
: KH. R. Hambali (Kudus)
Tanfidziyyah:
Ketua : H. Hasan Gipo (Surabaya)
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo (Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Gresik)
Pembantu : H. Soleh Sjamil (Surabaya)
: H. Ichsan (Surabaya)
: H. Dja’far Alwan (Surabaya)
: H. Utsman (Surabaya)
: H. Ahzab (Surabaya)
: H. Nawawi (Surabaya)
: H. Dachlan (Surabaya)
: H. Mangun (Surabaya)

Organisasi Nahdltul Ulama’ didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali).
Bahkan dalam Anggaran Dasar yang pertama (1927) dinyatakan bahwa organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan kala itu antara lain :
1.       Memperkuatpersatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab.
2.       Memberikkan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam.
3.       Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat.
4.       Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya.
5.       Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren.
6.       Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.

Dalam pasal 3 Statuten Perkumpulan NU (1933) disebutkan:
“Mengadakan perhubungan diantara ulama’-ulama’ yang bermadzhab, memeriksa kitab-kitab apakah itu dari kitab Ahlussunnah Waljama’ah atau kitab-kiitab ahli bid’ah, menyiarkan agama Islam dengan cara apa saja yang halal; berikhtiar memperbanyak madrasah, masjid, surau dan pondok pesantren, begitu juga dengan hal ikhwalnya anak yatim dan orang-orang fakir miskin, serta mendirikan baddan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, yang tidak dilarang oleh syara’ agama Islam”.

B. Perjalanan Nahdlatul Ulama’
1) 1926 – 1942
Berdiri di Surabaya atas nama perkumpulan para ulama’. Pada masa ini perjuangan dititik-beratkan pada penguatan paham Ahlussunnah Waljama’ah terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Diantara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai/tidak sesuai ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Di samping melakukan penguatan persatuan diantara para kyai dan pengasuh pesantren.

Pada tahun 1937, empat orang tokoh pergerakan Islam berkumpul di Surabaya untuk mendirikan federasi organisasi Islamm. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahhlan Ahyad (keduuanya dari NU), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan Wondoamiseno (Sarekat Islam). Pertemuan menyepakati berdirinya Majlis Islam A’la Indonesia, disingkat MIAI. Selain KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahlan Ahyad yang tercatat sebagai salah seorang pendiri MIAI, dalam perjalanan selanjutnya KH. A. Wachid Hasyim terpilih sebagai Ketua Dewan MIAI – jabatan tertinggi yang ada dalam organisasi itu. Ketika putera Hadratus Syeikh KH. M Hasyim Asy’ari itu mengundurkan diri, posisinya digantikan oleh KH. M. Dahlan, yang juga tokoh NU.

Selain mereka, terdapat juga nama KH. Zainul Arifin, yang menjabat Ketua Komisi Pemberantas Penghinaan Islam dan KH. Machfudz Siddiq dalam Komisi Luar Negeri MIAI. Peranan para tokoh NU sangat dominan dalam menentukan perjalanan MIAI. Namun ketika Jepang datang (Maret 1942), semua organisasii social kemasyarakatan dan organisasi politik di Indonesia dibekukan. Termasuk NU dan MIAI. Bahkan Rais Akbar NU KH. M. Hasyim Asy’ari dan Ketua Umum PBNU KH. Machfudz Siddiq ditahan oleh Jepang.

2) 1942 – 1945
Ketika ormas-ormas dibekukan oleh Dai Nippon, perjuangan para kiai NU difokuskan melalui jalur diplomasi. Tahun 1942, K.H. A.Wachid Hasyim dan beberapa kiai masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In(parleman Jepang).
Lewat parlemen itu pula KH. A. Wachid Hasyim meminta agar pemerintahan balatentara Jepang mengijinkan NU dan Muhammadiyah diaktifkan kembali. Pada bulan September 1943, pemerintaan itu baru dikabulkan. NU dan Muhammadiyah bisa beraktivitas kembali seperti di masa penjajahan Belanda.

Perjuangan diplomasi terus ditingkatkan. Pada akhir Oktober 1943, atas prakarsa NU dan Muhammadiyah pula,didirikan wadah perjuangan baru bagi umat Islam bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi, dengan KH. A. Wachid Hasyim Asy’ari sebagaian pimpinan tertinggi. Sedangkan K.H.A.Wachid Hasyim duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIA yang dibubarkan oleh balatentara Jepang.

Ketika pemerintahan balatentara Jepang meminta para pemuda Islam Indonesia bergabung menjadi prajurit pembantu tentara Jepang(Heiho), KH. A. Wachid Hasyim atas nama pemimpin Masyumi, justru meminta agar jepang melatih kemiliteran pemuda Islam secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944, permintaan itu dikabulkan dengan dibentuknya Hizbullah. Mereka dilatih kemiliteran oleh para komandan PETA dengan pengawasan prajurit Jepang. Bertindak sebagai Panglima Tertinggi Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin dari NU.
Sejak itu pesantren-pesantren berubah menjadi markas pelatihan Hizbullah. Para santri menjadi prajurit dan para Gus (putra kiai) menjadi komandannya. Sedangkan para kiai sebagai penasehat spiritual sekaligus penentu kebijakannya. Sementara di bidang politik, selain aktif dalam pucuk pimpinan masyumi, KH. A. Wahid Hasyim juga duduk sebagai Pimpinan Tertinggi Shumubu (Departemen Agama), menggantikan KH. M. hasyim Asy’ari yang berhalangan untuk berkantor di Jakarta.

3) 1945 – 1952
Ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945, KH. A. Wahid Hasyim duduk sebagai salah satu anggotanya. Begitu juga dengan KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Masjkur dan KH. Zainul Arifin. KH. A. Wahid Hasyim bergabung sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia juga tercatat sebagai salah seorang perumus dasar Negara dan turut serta sebagai penanda tangan Piagam Jakarta, bersama delapan orang lainnya.

Disaat belanda datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil mengultimatum agar pejuang Indonesia menyerah, NU mengeluarkan Fatwa Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa yang dikenal dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama’ itu mampu membakar semangat perjuangan kaum muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi kematian karena perang tersebut dihukumi Perang Sabil (perang agama).

Setelah Indonesia merdeka, banyak tokoh NU menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.
a.       Dalam Kabinet Presidensil (2 September 1945), KH. A. Wahid Hasyim duduk sebagai Menteri Negara.
b.      Dalam Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946), KH. Fathur Rahman Kafrawi duduk sebagai Menteri Agama dan KH. A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang Menteri Negara.
c.       Dalam Kabinet Amir Syarifuddin II (1947), KH. Masjkur sebagai Menteri Agama.
d.      Dalam Kabinet Hatta I, Kabinet Hatta II dan Kabinet Susanto (1948-1949), KH. Masjkur Sebagai menteri Agama.
e.       Dalam Kabinet RIS (20 Desember 1949 – 3 April 1952), KH. A. Wahid Hasyim Sebagai Menteri Agama.

Sementara dalam dunia kemiliteran, sejak tahun 1947 seluruh lasykar dibubarkan pemerintah, digabung menjadi satu dalam wadah Tentara Nasional Imdonesia(TNI).banyak tokoh NU yang telah lama aktif dalam Hizbullah bergabung ke dalam TNI.mereka turut memper kuat barisan angkatan perang yang baru lahir itu

4) 1952 - 1973
Lewat Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 1952, NU menjadi partai politik sendiri, setelah sekian lama bergabung dalam Masyumi kekuatan NU yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul kekuatan yang sangat besar. Dalam pemilu pertama 1955, partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi

Banyak tokoh NU menduduki posisi penting dalam pemerintahan,
a.       DalamKabinet Ali Sastroamijoyo I, KH. Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana Menteri, KH. Masjkur sebagai Menteri Agama dan Muhammad Hanafiah sebagai Menteri Agraria.
b.      Dalam Kabinet Burhanuddin Harahap, Sunaryo, SH menjadi Menteri Dalam Negeri dan KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama.
c.       Dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo II, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri, Sunaryo, SH sebagai Menteri Dalam Negeri, Mr Burhanuddin sebagai Menteri Perekonomian, Kh. Fattah yasin sebagai Menteri Sosial dan KH. Ilyas sebagai menteri Agama.
d.      Dalam Kabinet Karya, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri, Prof. Drs. Sunarjo sebagai menteri Perekonomian yang kemudian digantikan oleh Drs. Rahmat Mulyomiseno, KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama dan Sunaryo, Sh sebagai Menteri Agraria.
e.       Dalam Kabinet Kerja, KH. A. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama kemudian digantikan oleh KH. Saifuddin Zuhri, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri Penghubung Alim Ulama’ dan H. M. Hasan sebagai Menteri PPP.
f.       Dalam Kabinet Dwikora, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra, KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri Penghubung Alim Ulama’ yan kemudian digantikan oleh KH. M. Ilyas dan H. Aminuddin Aziz sebagai Menteri Negara.
g.      Dalam Kabinet Ampera, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra dan KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama.
h.      Dalam Kabinet Pembangunan I, KH. M. Dahlan sebagai Menteri Agama dan Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra.

Selain berkiprah dalam pemerintahan, pada masa ini banyak juga tokoh NU yang menduduki posisi pimpiman dalam Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara. Mereka adalah:
a)      KH.Zainul Arifin, menjadi Ketua DPR-GR (1962 – 1963).
b)      HM.Subchan ZE, Wakil Ketua MPRS (1966 - 1971).
c)      KH. A. Syaichu, Ketua DPR-GR (1966 - 1971).
d)     Dr. KH. Idham Chalid, Ketua MPR-DPR RI (1971 - 1978).

Di samping banyak tokoh NU menempati posisi strategis dalam Kabinet, Lembaga Tinggi Negara, banyak juga yang diangkat Duta Besar RI di luar Negeri.

5) 1973 – 1984
Sejak Tahun 1973, Pemerintah Orde Baru ‘menerbitkan’ partai-partai peserta pemilu. Dari 10 peserta pemilu 1971, disederhanakan menjadi dua partai: partai-partai yang berazas nasionalis dileburkanke dalam partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan partai-partai yang berazas islami dileburkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai NU tidak diakui lagi, dan diharuskan melebur kedalam PPP. Sedangkan Golongan Karya (Golkar), tidak diakui sebagai partai lagi,tapi diperbolhkan sebagai salah satu peserta pemilu.

Pada masa ini tokoh NU ‘dibersihkan’ dari pemerintahan. Bahkan Menteri Agama yang sejak awal langganan tetap NU pun diberikan orang lain. Para tokoh NU juga dikikis habis dari berbagai jabatan di pemerintahan. Hanya dua orang yang diberi posisi penting, yaitu KH. Masjkur sebagai Wakil Ketua MPR-DPR RI (1977 - 1983) dan KH. Idham Chalid sebagai Dewan Pertimbangan Agung (1977 - 1982).

Dalam kancah politik maupun pemerintahan, para tokoh NU benar-benar dipinggirkano oleh pemerintah Orde Baru yang didukung penuh oleh TNI dan POLRI. Dalam dua kali pemilu (1977 dan 1982) banyak tokoh NU masuk penjara dengan aneka macam tuduhan.Sebagai dampak langsung dari sifat represif pemerintah kala itu, banayak Cabang NU besrta Badan Otonmnya di daerah tidak aktif. Pengurusnya ketakutan.

6) 1984 – 1998
Lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984, NU memasuki babak baru. Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, akhirnya NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Preristiwa itu dikenal dengan istilah kembali ke Khittah 1962. NU telah lepas dari politik praktis dan kembali ke jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengurusi dakwah dan keagamaan.

Dalam dua kali pemilu kemudian (1987 dan 1992), banyak tokoh NU yang menjadi penggembosan PPP. Selain karena paktor pribadi, aksi itu terjadi karena ekses dari campur tangan pemerintah Orde Baru pada partai politik yang begitu mendalam. Amat adanya unsur adu domba antara kelompk NU dan MI dalam kelom PPP. Akibat dari unsure besar-besaran itu, PPP benar-benar gembos. Perolehan suaranya merosot tajam.

Sementara itu NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. Pengajian-pengajian mulai masuk ke unit-unit pemerintahan.Hubungan ke pemerintah yang telah sekian lama terputus dirajut kembali sedikit demi sedikit. Satui persatu Cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali.Di sisi lain, nama NU semakin dikenal di luar Negeri. Beberapa kali Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid mendapat penghargaan. Bahkan untuk pertama kalinya Ketua Umun PBNU terpilih sebagai salah satu presiden Agama-agama di dunia(WRCP).

7) 1998 – 2004
Ketika terjadi euphoria pasca jatuhnya Presiden Soeharto dan terbukanya Orde Reformasi dalam dunia politik (1998), NU kembali masuk kembali ke dalam kancah politik praktis. PBNU memfasilitasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998. Mau tak mau partai baru ini menyeret NU ke dalam permainan politik lagi.

Untuk pertama kalinya, Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terpilih sebagai Presiden Replubik Indonesia keempat, 1999. Mau tak mau naiknya Gus Dur sebagai presiden membawa dampak psikologis bagi NU. Euforia kemenangan masuk ke berbagai lini. Banyak tokoh NU yang semula terpinggirkan kembali masuk ke pemerintahan. Namun ketika Gus Dur dijatuhkan lewat impeachment DPR pada 2003, dampaknya juga sangat dirasakan oleh NU dan PKB. Posisi NU terasa goyang dimana-mana. Meski Wakil Presiden dijabat oleh Hamzah Haz yang juga orang NU, namun tetap tidak banyak memberikan perubahan. Posisi itu semakin diperburuk dengan gonjang ganjing dalam tubuh PKB. Bahkan partai itu terbelah menjadi dua.

8) 2004 – sekarang
Lewat muktamarnya yang ke-31 di Donohudon, Solo pada 2004, Nu meneguhkan kembali jati dirinya untuk keluar dari politik praktis dan kembali ke jalan Khittah sebagaimana yang pernah diputuskan dalam muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984. Perjuangan Nu lebih difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi dan dakwah. Sementara dalam politik praktis NU menjaga jarak yang sama terhadap semua partai politik.

Pada masa ini nama NU semakin dikenal di luar negeri. Bahkan telah menbuka Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di beberapa negara. Tak kurang dari PCI Amerika, Australia, Inggris, Jepang, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan lain sebagainya telah didirikan. Sedikit demi sedikit para mahasiswa NU dikirim untuk belajar ke luar negeri, dengan biaya ataupun fasilitas dari PBNU.
Pada tahun 2004 NU memprakarsai berdirinya International Conference of Islamic Scholars (ICIS, Konferensi Internasional Cendekiawan Islam) di Jakarta. ICIS adalah sebuah organisasi Islam yang beranggotakan ulama’-ulama’ moderat sedunia. Lewat ICIS itu pula nama Nahdlatul Ulama’ semakin dikenal di pentas dunia sebagai pelopor gerakan Islam moderat, hingga sekarang.

Nahdlatul ulama atau yang disingkat NU ini dikenal oleh masyarakat merupakan organisasi keagamaan yang khususnya agama islam merupakan organisasi yang rahmatalil alamin serta dianggap sebagai pedoman bagi semua masyarakat Indonesia pada umumnya khususnya di desa gandamekar, namun didesa gandamekar NU merupakan organisasi secara cultural, kenapa demikian karena semua amaliah dan cara peribadahan masyarakat gandamekar hampir semuanya berpaegang teguh pada paham ahlusunah wal jamaah namun permasalahannya mereka tidak tahu mengenaiapa itu NU yang sebenarnya sehingga keyakinan mereka dapat berubah apabila ada golongan lain yang menghampiri masyarakat gandamekar, namun demikian semuanya dapat diatasi karena desa gandamekar mulai terbentuk kepengurusa ranting hasil dari konfercab NU di cikeris, sehingga oleh pengurus masyarakat dapat dipantau dan dapat diberi pemahaman Ahlussunah Waljamaah yang di motori NU, karena kenapa Bayak paham yang menggemborkan ahlusunah tetapi amaliah nya menjauhi ahlussunah yang di motori oleh NU itu sendiri sehingga perlu kerja ekstra kepengurusan NU didesa gandamekar itu supaya mendoktrin masyarakatnya supaya kembali menjalankan faham ahlussunah wal jamaah yang sebenarnya serta istiqomah kepada ajaran yang dahulu para orang tua kita membentuknya.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama’ (NU)

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment