Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama’ (NU) -Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk Jama’ah yang diikat oleh kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang mempunyai ciri Aswaja. Sehingga munculnya NU sebagai organisasi merupakan penegasan formal dari apa yang sebenarnya sudah ada sebelumnya. Pendirian organisasi NU tidak lepas dari adanya kekhawatiran akan hilangnya tradisi dan ajaran Islam yang telah kuat mengakar di tengah masyarakat muslim Indonesia, sebagai akibat dari munculnya gerakan yang mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan pemurnian dan pembaharuan Islam.
Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama’ (NU) |
Masuknya
paham-paham tersebut ke Indonesia bermula ketika umat Islam Indonesia mulai
banyak yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci sejak dibukanya terusan Suez
tahun 1869. Bersama dengan itu, di Timur Tengah sedang berkembang paham
Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan pemikiran Pan
Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani yang dilanjutkan oleh
Muhammad Abduh. Peristiwa itu tidak bias dihindari oleh para jama’ah haji Indonesia,
akhirnya mereka kenal dengan paham dan pemikiran tersebut, akibatnya sebagian
dari mereka kemudian terpengaruh. Namun demikian tidak semua kalangan menerima
paham pemurnian dan pembaharuan Islam secara bulat-bulat. Sekelompok ulama
pesantren yang pernah juga menunaikan ibadah haji berpendapat bahwa penegakan
ajaran Islam secara murni tidak berarti harus ada perombakan secara total
terhadap adat istiadat atau tradisi umat Islam Indonesia yang sudah terbangun
kokoh. Paham baru tersebut bisa saja diselaraskan secara luwes dan fleksibel
dengan nilai, tradisi dan ajaran Islam yang telah ada dikalangan masyarakat.
A.
Sejarah Kelahiran NU
Nahdlatul Ulama’, disingkat NU, artinya kebangkitan ulama’.
Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926/
26 Rajab 1344 H di Surabaya.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan dengan system bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi dan lain sebagainya, akan segera dilarang.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun 1924, Syarif Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan dengan system bermadzhab, tawasul, ziarah kubur, maulid Nabi dan lain sebagainya, akan segera dilarang.
Tidak hanya itu, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan
pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam,
ia berencana meneruskan kekhilafan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya
daulah Utsmaniyyah. Untuk itu dia berencana menggelar Muktamar Khilafah di Kota
Suci Makkah, sebagai penerua Khilafah yang terputus itu.
Seluruh negara Islam di dunia akan diundang untuk menghadiri
muktamar tersebut, termasuk Indonesia. Awalnya, utusan yang direkomendasikan
adalah HOS Cokroaminoto (SI), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab
Chasbullah (pesantren). Namun, rupanya ada permainan licik diantara kelompok
yang mengusung para calon utusan Indonesia. Dengan alas an Kiai Wahab tidak
mewakili organisasi resmi, maka namanya dicoret dari daftar calon utusan.
Peristiwa itu menyadarkan para ulama’ pengasuh pesantren
akan pentingnya sebuah organisasi. Sekaligus menyisahkan sakit hati yang
mendalam, karena tidak ada lagi yang bisa dititipi sikap keberatan akan rencana
Raja Ibnu Saud yang akan mengubah model beragama di Makkah. Para ulama’
pesantren sangat tidak bisa menerima kebijakan raja yang anti kebebasan
bermadzhab, anti mauled Nabi, anti ziarah makam dan lain sebagainya. Bahkan
santer terdengar berita makam Nabi Muhammad SAW pun berencana digusur.
Bagi para kyai pesantren, pembaruan adalah suatu keharusan.
KH. Hasyim Asy’ari juga tidak mempersoalkan dan bisa menerima gagasan para kaum
modernis untuk menghimbau umat Islam kembali pada ajaran Islam murni. Namun
Kyai Hasyim tidak bisa menerima pemikiran mereka yang meminta umat Islam
melepaskan diri dari system bermadzhab.
Disamping itu, karena ide pembaruan dilakukan dengan cara
melecehkan, merendahkan dan membodoh-bodohkan, maka para ulama’ pesantren
menolaknya. Bagi mereka, pembaruan tetap dibutuhkan, namun tidak dengan
meninggalkan khazanah keilmuan yang sudah ada dan masih relevan. Karena latar
belakang yang mendesak itulah akhirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ didirikan.
Pendiri resminya adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim
Asyari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan
yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Abdul Wahab
Chasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai
Wahab adalah salah seorang murid utama Kiai Hasyim. Ia lincah, energik dan
banyak akal.
Susunan pengurus PBNU yang pertama
(1926) :
Syuriah:
Rais Akbar : KH. M. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Wakil rais Akbar : KH. Dahlan Ahyad, Kebondalem (Surabaya)
Katib Awal : KH. Abdul Wahab Chasbullah (Jombang)
Katib Tsani : KH. Abdul Chalim (Cirebon)
A’wan : KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
: KH. Ridwan Abdullah (Surabaya)
: KH. Said (Surabaya)
: KH. Bisri Syansuri (Jombang)
: KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
: KH. Nahrowi (Malang)
: KH. Amin (Surabaya)
: KH. Masykuri (Lasem)
: KH. Nahrowi (Surabaya)
Mustasyar : KH. R. Asnawi (Kudus)
: KH. Ridwan (Semarang)
: KH. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruan)
: KH. Doro Muntoho (Bangkalan)
: Syeikh Ahmad Ghonaim al-Misri (Mesir)
: KH. R. Hambali (Kudus)
Wakil rais Akbar : KH. Dahlan Ahyad, Kebondalem (Surabaya)
Katib Awal : KH. Abdul Wahab Chasbullah (Jombang)
Katib Tsani : KH. Abdul Chalim (Cirebon)
A’wan : KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
: KH. Ridwan Abdullah (Surabaya)
: KH. Said (Surabaya)
: KH. Bisri Syansuri (Jombang)
: KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
: KH. Nahrowi (Malang)
: KH. Amin (Surabaya)
: KH. Masykuri (Lasem)
: KH. Nahrowi (Surabaya)
Mustasyar : KH. R. Asnawi (Kudus)
: KH. Ridwan (Semarang)
: KH. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruan)
: KH. Doro Muntoho (Bangkalan)
: Syeikh Ahmad Ghonaim al-Misri (Mesir)
: KH. R. Hambali (Kudus)
Tanfidziyyah:
Ketua : H. Hasan Gipo (Surabaya)
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo (Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Gresik)
Pembantu : H. Soleh Sjamil (Surabaya)
: H. Ichsan (Surabaya)
: H. Dja’far Alwan (Surabaya)
: H. Utsman (Surabaya)
: H. Ahzab (Surabaya)
: H. Nawawi (Surabaya)
: H. Dachlan (Surabaya)
: H. Mangun (Surabaya)
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo (Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Gresik)
Pembantu : H. Soleh Sjamil (Surabaya)
: H. Ichsan (Surabaya)
: H. Dja’far Alwan (Surabaya)
: H. Utsman (Surabaya)
: H. Ahzab (Surabaya)
: H. Nawawi (Surabaya)
: H. Dachlan (Surabaya)
: H. Mangun (Surabaya)
Organisasi Nahdltul Ulama’ didirikan
dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam
Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi,
Maliki, Syafi’I dan Hambali).
Bahkan dalam Anggaran Dasar yang
pertama (1927) dinyatakan bahwa organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat
kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
kala itu antara lain :
1.
Memperkuatpersatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab.
2.
Memberikkan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada
lembaga-lembaga pendidikan Islam.
3.
Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat.
4.
Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya.
5.
Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren.
6.
Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Dalam pasal 3 Statuten Perkumpulan
NU (1933) disebutkan:
“Mengadakan perhubungan
diantara ulama’-ulama’ yang bermadzhab, memeriksa kitab-kitab apakah itu dari
kitab Ahlussunnah Waljama’ah atau kitab-kiitab ahli bid’ah, menyiarkan agama
Islam dengan cara apa saja yang halal; berikhtiar memperbanyak madrasah,
masjid, surau dan pondok pesantren, begitu juga dengan hal ikhwalnya anak yatim
dan orang-orang fakir miskin, serta mendirikan baddan-badan untuk memajukan
urusan pertanian, perniagaan, yang tidak dilarang oleh syara’ agama Islam”.
B.
Perjalanan Nahdlatul Ulama’
1)
1926 – 1942
Berdiri di
Surabaya atas nama perkumpulan para ulama’. Pada masa ini perjuangan
dititik-beratkan pada penguatan paham Ahlussunnah Waljama’ah terhadap serangan
penganut ajaran Wahabi. Diantara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab
yang sesuai/tidak sesuai ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Di samping melakukan
penguatan persatuan diantara para kyai dan pengasuh pesantren.
Pada tahun
1937, empat orang tokoh pergerakan Islam berkumpul di Surabaya untuk mendirikan
federasi organisasi Islamm. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH.
Dahhlan Ahyad (keduuanya dari NU), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan
Wondoamiseno (Sarekat Islam). Pertemuan menyepakati berdirinya Majlis Islam
A’la Indonesia, disingkat MIAI. Selain KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH.
Dahlan Ahyad yang tercatat sebagai salah seorang pendiri MIAI, dalam perjalanan
selanjutnya KH. A. Wachid Hasyim terpilih sebagai Ketua Dewan MIAI – jabatan
tertinggi yang ada dalam organisasi itu. Ketika putera Hadratus Syeikh KH. M
Hasyim Asy’ari itu mengundurkan diri, posisinya digantikan oleh KH. M. Dahlan,
yang juga tokoh NU.
Selain mereka,
terdapat juga nama KH. Zainul Arifin, yang menjabat Ketua Komisi Pemberantas
Penghinaan Islam dan KH. Machfudz Siddiq dalam Komisi Luar Negeri MIAI. Peranan
para tokoh NU sangat dominan dalam menentukan perjalanan MIAI. Namun ketika
Jepang datang (Maret 1942), semua organisasii social kemasyarakatan dan
organisasi politik di Indonesia dibekukan. Termasuk NU dan MIAI. Bahkan Rais
Akbar NU KH. M. Hasyim Asy’ari dan Ketua Umum PBNU KH. Machfudz Siddiq ditahan
oleh Jepang.
2)
1942 – 1945
Ketika
ormas-ormas dibekukan oleh Dai Nippon, perjuangan para kiai NU difokuskan
melalui jalur diplomasi. Tahun 1942, K.H. A.Wachid Hasyim dan beberapa kiai
masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In(parleman Jepang).
Lewat parlemen itu pula KH. A.
Wachid Hasyim meminta agar pemerintahan balatentara Jepang mengijinkan NU dan
Muhammadiyah diaktifkan kembali. Pada bulan September 1943, pemerintaan itu
baru dikabulkan. NU dan Muhammadiyah bisa beraktivitas kembali seperti di masa
penjajahan Belanda.
Perjuangan
diplomasi terus ditingkatkan. Pada akhir Oktober 1943, atas prakarsa NU dan
Muhammadiyah pula,didirikan wadah perjuangan baru bagi umat Islam bernama
Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi, dengan KH. A. Wachid
Hasyim Asy’ari sebagaian pimpinan tertinggi. Sedangkan K.H.A.Wachid Hasyim
duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIA yang dibubarkan oleh
balatentara Jepang.
Ketika
pemerintahan balatentara Jepang meminta para pemuda Islam Indonesia bergabung
menjadi prajurit pembantu tentara Jepang(Heiho), KH. A. Wachid Hasyim atas nama
pemimpin Masyumi, justru meminta agar jepang melatih kemiliteran pemuda Islam
secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944, permintaan itu dikabulkan
dengan dibentuknya Hizbullah. Mereka dilatih kemiliteran oleh para komandan
PETA dengan pengawasan prajurit Jepang. Bertindak sebagai Panglima Tertinggi
Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin dari NU.
Sejak itu pesantren-pesantren
berubah menjadi markas pelatihan Hizbullah. Para santri menjadi prajurit dan
para Gus (putra kiai) menjadi komandannya. Sedangkan para kiai sebagai
penasehat spiritual sekaligus penentu kebijakannya. Sementara di bidang
politik, selain aktif dalam pucuk pimpinan masyumi, KH. A. Wahid Hasyim juga
duduk sebagai Pimpinan Tertinggi Shumubu (Departemen Agama), menggantikan KH.
M. hasyim Asy’ari yang berhalangan untuk berkantor di Jakarta.
3)
1945 – 1952
Ketika Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29
April 1945, KH. A. Wahid Hasyim duduk sebagai salah satu anggotanya. Begitu
juga dengan KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Masjkur dan KH. Zainul Arifin. KH. A.
Wahid Hasyim bergabung sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Ia juga tercatat sebagai salah seorang perumus dasar Negara dan turut
serta sebagai penanda tangan Piagam Jakarta, bersama delapan orang lainnya.
Disaat belanda
datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil mengultimatum agar pejuang
Indonesia menyerah, NU mengeluarkan Fatwa Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa
yang dikenal dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama’ itu mampu membakar semangat
perjuangan kaum muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi kematian karena perang
tersebut dihukumi Perang Sabil (perang agama).
Setelah Indonesia merdeka, banyak
tokoh NU menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.
a.
Dalam Kabinet Presidensil (2 September 1945), KH. A. Wahid Hasyim duduk sebagai
Menteri Negara.
b.
Dalam Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946), KH. Fathur Rahman Kafrawi duduk
sebagai Menteri Agama dan KH. A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang Menteri
Negara.
c.
Dalam Kabinet Amir Syarifuddin II (1947), KH. Masjkur sebagai Menteri Agama.
d.
Dalam Kabinet Hatta I, Kabinet Hatta II dan Kabinet Susanto (1948-1949), KH.
Masjkur Sebagai menteri Agama.
e.
Dalam Kabinet RIS (20 Desember 1949 – 3 April 1952), KH. A. Wahid Hasyim
Sebagai Menteri Agama.
Sementara dalam dunia kemiliteran, sejak tahun 1947 seluruh
lasykar dibubarkan pemerintah, digabung menjadi satu dalam wadah Tentara
Nasional Imdonesia(TNI).banyak tokoh NU yang telah lama aktif dalam Hizbullah
bergabung ke dalam TNI.mereka turut memper kuat barisan angkatan perang yang
baru lahir itu
4)
1952 - 1973
Lewat Muktamar
NU ke-19 di Palembang pada 1952, NU menjadi partai politik sendiri, setelah
sekian lama bergabung dalam Masyumi kekuatan NU yang sebelumnya tidak
diperhitungkan, ternyata muncul kekuatan yang sangat besar. Dalam pemilu
pertama 1955, partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi
Banyak tokoh NU menduduki posisi
penting dalam pemerintahan,
a.
DalamKabinet Ali Sastroamijoyo I, KH. Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana
Menteri, KH. Masjkur sebagai Menteri Agama dan Muhammad Hanafiah sebagai Menteri
Agraria.
b.
Dalam Kabinet Burhanuddin Harahap, Sunaryo, SH menjadi Menteri Dalam Negeri dan
KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama.
c.
Dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo II, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana
Menteri, Sunaryo, SH sebagai Menteri Dalam Negeri, Mr Burhanuddin sebagai
Menteri Perekonomian, Kh. Fattah yasin sebagai Menteri Sosial dan KH. Ilyas
sebagai menteri Agama.
d.
Dalam Kabinet Karya, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri, Prof.
Drs. Sunarjo sebagai menteri Perekonomian yang kemudian digantikan oleh Drs.
Rahmat Mulyomiseno, KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama dan Sunaryo, Sh sebagai
Menteri Agraria.
e.
Dalam Kabinet Kerja, KH. A. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama kemudian
digantikan oleh KH. Saifuddin Zuhri, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri
Penghubung Alim Ulama’ dan H. M. Hasan sebagai Menteri PPP.
f.
Dalam Kabinet Dwikora, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra, KH. Saifuddin
Zuhri sebagai Menteri Agama, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri Penghubung Alim
Ulama’ yan kemudian digantikan oleh KH. M. Ilyas dan H. Aminuddin Aziz sebagai
Menteri Negara.
g.
Dalam Kabinet Ampera, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra dan KH.
Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama.
h.
Dalam Kabinet Pembangunan I, KH. M. Dahlan sebagai Menteri Agama dan Dr. KH.
Idham Chalid sebagai Menko Kesra.
Selain
berkiprah dalam pemerintahan, pada masa ini banyak juga tokoh NU yang menduduki
posisi pimpiman dalam Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara. Mereka
adalah:
a)
KH.Zainul Arifin, menjadi Ketua DPR-GR (1962 – 1963).
b)
HM.Subchan ZE, Wakil Ketua MPRS (1966 - 1971).
c)
KH. A. Syaichu, Ketua DPR-GR (1966 - 1971).
d)
Dr. KH. Idham Chalid, Ketua MPR-DPR RI (1971 - 1978).
Di samping
banyak tokoh NU menempati posisi strategis dalam Kabinet, Lembaga Tinggi
Negara, banyak juga yang diangkat Duta Besar RI di luar Negeri.
5)
1973 – 1984
Sejak Tahun
1973, Pemerintah Orde Baru ‘menerbitkan’ partai-partai peserta pemilu. Dari 10
peserta pemilu 1971, disederhanakan menjadi dua partai: partai-partai yang
berazas nasionalis dileburkanke dalam partai Demokrasi Indonesia (PDI),
sedangkan partai-partai yang berazas islami dileburkan ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Partai NU tidak diakui lagi, dan diharuskan
melebur kedalam PPP. Sedangkan Golongan Karya (Golkar), tidak diakui sebagai
partai lagi,tapi diperbolhkan sebagai salah satu peserta pemilu.
Pada masa ini
tokoh NU ‘dibersihkan’ dari pemerintahan. Bahkan Menteri Agama yang sejak awal
langganan tetap NU pun diberikan orang lain. Para tokoh NU juga dikikis habis
dari berbagai jabatan di pemerintahan. Hanya dua orang yang diberi posisi
penting, yaitu KH. Masjkur sebagai Wakil Ketua MPR-DPR RI (1977 - 1983) dan KH.
Idham Chalid sebagai Dewan Pertimbangan Agung (1977 - 1982).
Dalam kancah
politik maupun pemerintahan, para tokoh NU benar-benar dipinggirkano oleh
pemerintah Orde Baru yang didukung penuh oleh TNI dan POLRI. Dalam dua kali
pemilu (1977 dan 1982) banyak tokoh NU masuk penjara dengan aneka macam
tuduhan.Sebagai dampak langsung dari sifat represif pemerintah kala itu,
banayak Cabang NU besrta Badan Otonmnya di daerah tidak aktif. Pengurusnya
ketakutan.
6)
1984 – 1998
Lewat Muktamar
NU ke-27 di Situbondo pada 1984, NU memasuki babak baru. Setelah malang
melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, akhirnya NU kembali ke
jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Preristiwa itu dikenal
dengan istilah kembali ke Khittah 1962. NU telah lepas dari politik praktis dan
kembali ke jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengurusi dakwah dan
keagamaan.
Dalam dua kali
pemilu kemudian (1987 dan 1992), banyak tokoh NU yang menjadi penggembosan PPP.
Selain karena paktor pribadi, aksi itu terjadi karena ekses dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada partai politik yang begitu mendalam. Amat adanya
unsur adu domba antara kelompk NU dan MI dalam kelom PPP. Akibat dari unsure
besar-besaran itu, PPP benar-benar gembos. Perolehan suaranya merosot tajam.
Sementara itu
NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakitnya
yang telah lama terabaikan. Pengajian-pengajian mulai masuk ke unit-unit pemerintahan.Hubungan
ke pemerintah yang telah sekian lama terputus dirajut kembali sedikit demi
sedikit. Satui persatu Cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali.Di sisi
lain, nama NU semakin dikenal di luar Negeri. Beberapa kali Ketua Umum PBNU KH.
Abdurrahman Wahid mendapat penghargaan. Bahkan untuk pertama kalinya Ketua Umun
PBNU terpilih sebagai salah satu presiden Agama-agama di dunia(WRCP).
7)
1998 – 2004
Ketika terjadi
euphoria pasca jatuhnya Presiden Soeharto dan terbukanya Orde Reformasi dalam
dunia politik (1998), NU kembali masuk kembali ke dalam kancah politik praktis.
PBNU memfasilitasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli
1998. Mau tak mau partai baru ini menyeret NU ke dalam permainan politik lagi.
Untuk pertama
kalinya, Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terpilih sebagai
Presiden Replubik Indonesia keempat, 1999. Mau tak mau naiknya Gus Dur sebagai
presiden membawa dampak psikologis bagi NU. Euforia kemenangan masuk ke
berbagai lini. Banyak tokoh NU yang semula terpinggirkan kembali masuk ke
pemerintahan. Namun ketika Gus Dur dijatuhkan lewat impeachment DPR pada 2003,
dampaknya juga sangat dirasakan oleh NU dan PKB. Posisi NU terasa goyang
dimana-mana. Meski Wakil Presiden dijabat oleh Hamzah Haz yang juga orang NU,
namun tetap tidak banyak memberikan perubahan. Posisi itu semakin diperburuk
dengan gonjang ganjing dalam tubuh PKB. Bahkan partai itu terbelah menjadi dua.
8)
2004 – sekarang
Lewat
muktamarnya yang ke-31 di Donohudon, Solo pada 2004, Nu meneguhkan kembali jati
dirinya untuk keluar dari politik praktis dan kembali ke jalan Khittah
sebagaimana yang pernah diputuskan dalam muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984.
Perjuangan Nu lebih difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi
dan dakwah. Sementara dalam politik praktis NU menjaga jarak yang sama terhadap
semua partai politik.
Pada masa ini
nama NU semakin dikenal di luar negeri. Bahkan telah menbuka Pengurus Cabang
Istimewa (PCI) di beberapa negara. Tak kurang dari PCI Amerika, Australia, Inggris,
Jepang, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan lain sebagainya telah didirikan. Sedikit
demi sedikit para mahasiswa NU dikirim untuk belajar ke luar negeri, dengan
biaya ataupun fasilitas dari PBNU.
Pada tahun 2004 NU memprakarsai
berdirinya International Conference of Islamic Scholars (ICIS, Konferensi
Internasional Cendekiawan Islam) di Jakarta. ICIS adalah sebuah organisasi
Islam yang beranggotakan ulama’-ulama’ moderat sedunia. Lewat ICIS itu pula
nama Nahdlatul Ulama’ semakin dikenal di pentas dunia sebagai pelopor gerakan
Islam moderat, hingga sekarang.
Nahdlatul ulama atau yang disingkat
NU ini dikenal oleh masyarakat merupakan organisasi keagamaan yang khususnya
agama islam merupakan organisasi yang rahmatalil alamin serta dianggap sebagai
pedoman bagi semua masyarakat Indonesia pada umumnya khususnya di desa
gandamekar, namun didesa gandamekar NU merupakan organisasi secara cultural,
kenapa demikian karena semua amaliah dan cara peribadahan masyarakat gandamekar
hampir semuanya berpaegang teguh pada paham ahlusunah wal jamaah namun
permasalahannya mereka tidak tahu mengenaiapa itu NU yang sebenarnya sehingga
keyakinan mereka dapat berubah apabila ada golongan lain yang menghampiri
masyarakat gandamekar, namun demikian semuanya dapat
diatasi karena desa gandamekar mulai terbentuk kepengurusa ranting hasil dari
konfercab NU di cikeris, sehingga oleh pengurus masyarakat dapat dipantau dan
dapat diberi pemahaman Ahlussunah Waljamaah yang di motori NU, karena kenapa
Bayak paham yang menggemborkan ahlusunah tetapi amaliah nya menjauhi ahlussunah
yang di motori oleh NU itu sendiri sehingga perlu kerja ekstra kepengurusan NU
didesa gandamekar itu supaya mendoktrin masyarakatnya supaya kembali
menjalankan faham ahlussunah wal jamaah yang sebenarnya serta istiqomah kepada
ajaran yang dahulu para orang tua kita membentuknya.