Sejarah dan Kebudayaan Suku Dayak - Dayak adalah nama yang oleh
penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami
Pulau Kalimantan. Budaya
masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau Bahari. Hampir semua nama sebutan
orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
"perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama
kekeluargaannya. Semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh
Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak
kenal menyerah atau pantang mundur. Berdasarkan
pola menetap, suku Dayak dibedakan menjadi:
B. Persebaran
suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan
Sejarah dan Kebudayaan Suku Dayak |
· Dayak Ngaju atau Ola Ngaju, tinggal
di daerah Kalimantan Tenggara.
· Dayak Kayan: tinggal di daerah
Kalimantan Utara.
· Dayak Maayan Siung: tinggal di
daerah Kalimantan Selatan, sepanjang Sungai Siung, yakni anak Sungai Barito.
· Dayak Kenyah, Iban, Ot Danum:
tersebar di pedalaman Kalimantan.
· Suku Bangsa Punan: suku bangsa
terasing yang hidup di Kalimantan (tidak termasuk suku Dayak).
A.
Sejarah Asal Mula Suku Dayak
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia
dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang
memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di
Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan
“Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun
setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka
makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis,
Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup
terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama,
mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian
mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang
masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan.
Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah
kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi
antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan
suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar
berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak
bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan
tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai
orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam
kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di
daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan
Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk
Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah
seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat
sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain
juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke
Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf
kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi
masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa dating pada era Bajarmasin (dibawah
hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak
mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung
karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar
di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan
bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah
sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang
besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali
ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan,
Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang
Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah
seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963).
Dikarenakan
arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih
mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya,
Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Persebaran suku-suku Dayak di Pulau Kalimantan |
Kelompok Suku
Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut
J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan
mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi
kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas.
Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir
pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak
Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum
Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub
suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
C.
Kepercayaan dan Religi Suku Dayak
Masyarakat Dayak menganut agama leluhur yang
diberi nama sebagai agama Kaharingan. Kepercayaan asli adalah animism yang disebut Kaharingan. Kata ini diambil dari
istilah Danum Kaharingan yang berarti “air kehidupan”. Mereka percaya pada:
·
Ngajum ganan: makhluk halus dan roh yang tinggal
di sekeliling manusia.
·
Ngaju liau: roh nenek moyang. Menurutnya jiwa
orang yang mati (ngaju hambaruan), tinggal di sekeliling manusia sebagai liau. Liau akan kembali kepada dewa
tertinggi yang disebut Ranying.
Upacara-upacara
yang ada:
·
Upacara sesaji pada roh-roh,
·
Upacara kelahiran anak,
·
Memandikan bayi untuk yang pertama kalinya,
·
Memotong rambut bayi,
·
Upacara penguburan, orang Dayak yang mati
dikubur dalam peti mayat yang berbentuk kayu lesung (ngaju raung). Bila sudah
menjadi tulang, diadakan pembakaran mayat yang bagi Dayak Ngaju disebut tiwah, bagi Ot Danum dan Maanyam disebut
ijambe.
Sekarang,
agama ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu
mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan. Selanjutnya
berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Namun umumnya masyarakat Dayak di
pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.
Sebagian
besar masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih
mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke
dalam kelompok agama Hindu sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan.
Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari
agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada
mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya
terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.
Di
Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak, tetapi hal
ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak juga banyak yang
memeluk agama-agama selain Kristen misalnya ada orang Dayak yang sebelumnya
beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai
suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum
adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk kepada hukum adat
Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan
Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Melayu/Banjar seperti suku-suku
Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan
Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat
lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku
hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di
perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan
Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak
terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir
semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
D. Kekerabatan
dan Organisasi Sosial Suku Dayak
Sistem
ambilineal: garis keturunan bias memilih dari salah satu orang tua (Bapak/Ibu).
Sehingga sIstem pewarisan
tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.
1. Bentuk Kehidupan Keluarga :
1. Keluarga batih (nuclear family), wali/asbah (mewakili
keluarga dalam kegiatan sosial dan politik di lingkungan dan di luar keluarga)
adalah anak laki-laki tertua,
2. Keluarga luas (extended family), wali/asbah adalah
saudara laki-laki ibu dan saudara laki-laki ayah.
Peran
wali/asbah, misalnya dalam hal pernikahan, orang yang paling sibuk mengurus
masalah pernikahan sejak awal sampai akhir acara. Oleh karena itu, semua
permasalahan dan keputusan keluarga harus dikonsultasikan dengan wali/asbah.
Penunjukan wali/asbah berdasarkan kesepakatan keluarga.
2. Perkawinan Yang Boleh Dilakukan Dalam Keluarga Paling
Dekat :
1. Antara saudara sepupu dua kali. Perkawinan antara gadis
dan bujang bersaudara sepupu derajat kedua (hajenan), yaitu sepupu dan kakek
yang bersaudara.
2. Sistem endogamI (perkawinan yang ideal),
yaitu perkawinan dengan sesama suku dan masih ada hubungan keluarga.
3. Perkawinan Yang Dilarang :
1. Incest / Salahoroi, anak dengan orangtua.
2. Patri parallel – cousin, perkawinan antara dua sepupu yang
ayah-ayahnya bersaudara sekandung.
3. Perkawinan antara generasi-generasi yang berbeda (contoh : tante + ponakan).
4. Pola Kehidupan Setelah Menikah :
1. Pola matrilokal, suami mengikuti pihak keluarga istri,
2. Pola neolokal, terpisah dari keluarga kedua belah
pihak. Ketika Huma Betang (longhouse) masih dipertahankan, keluarga baru harus
menambah bilik pada sisi kanan atau sisi kiri huma betang sebagai tempat
tinggal mereka.
E. Politik dan Pemerintahan Suku Dayak
1. Pemerintahan Desa Suku Dayak
ü Pembekal:
pemimpin administrasi
Syaratnya bias membaca dan menulis, punya
rumah, dan berpengaruh di desanya.
ü Pengulu:
kepala adat di desa
Tugasnya memutuskan perkara-perkara hokum
adat, dan sebagai wakil desa pada upacara adat desa tetangga.
2. Hukum Adat Suku Dayak
Dalam
masyarakat Dayak dikenal istilah Tumbang
Anoi yang artinya tempat musyawarah kepala-kepala adat dan demang-demang.
Tujuannya adalah menyeragamkan garis-garis besar hokum adat Dayak.
Pelanggar hokum akan dikenai sanksi:
ü Maanyan
denada: pemberian ganti rugi
ü Membayar
denda upacara adat
Pertimbangan
sebagai dasar pengambilan keputusan hokum adat:
ü Perkara
tersebut pernah terjadi atau belum
ü Berusaha
agar hukuman yang dijatuhkan itu berdasarkan keadilan.
Bila
putusan sulit dicapai masalah bias diajukan ke Demang (kepala ada tingkat
kecamatan).
F. Adat Istiadat Suku Dayak
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi
suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku
Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang.
Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman
Kalimantan.
1. Upacara Tiwah
Upacara
Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan
untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di
buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus
untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara
Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang
orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung),
banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai
akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
2. Dunia Supranatural
Dunia
Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan cirri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak
sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah
suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena.
Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang.
Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari
keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung
Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok
merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak.
Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya
besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan
isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke
kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak
tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia
mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima
itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata
tajam dan sebagainya.
Mangkok
merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat
acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam
acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai
kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau
gila bila mendengar tariu.
Orang-orang
yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga
biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana
perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di
simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan
magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin
sakti.
Mangkok
merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang
didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan
juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan
keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam
merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bias
diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat
berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan.
Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan
kain merah.
Menurut
cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang
dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah
Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang
antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia
sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut
kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari
mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat
ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya,
bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke
tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan
ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit,
sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
G. Tradisi Penguburan Suku Dayak
Tradisi
penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan
manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di
Kalimantan :
§ penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal,
dengan posisi kerangka dilipat.
§ penguburan di dalam peti batu (dolmen)
§ penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu,
atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut
tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan
dibedakan :
1.
wadah (peti)
mayat--> bukan peti mati : lungun, selokng dan kotak
2.
wadah
tulang-beluang : tempelaaq (bertiang
2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
berdasarkan
tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
1.
lubekng
(tempat lungun)
2.
garai
(tempat lungun, selokng)
3.
gur (lungun)
4.
tempelaaq
dan kererekng
Pada
umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
1.
penguburan
tahap pertama (primer)
2.
penguburan
tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
1.
Parepm Api (Dayak Benuaq)
2.
Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder
Penguburan
sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya
di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai
kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan
terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di
atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat
Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
§dikubur dalam tanah
§diletakkan di pohon besar
§dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
1. Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada
penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam
kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan
pertama di dalam tanah.
2. Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder
pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu
wadah.
3. Marabia
4. Mambatur (Dayak Maanyan)
5. Kwangkai/Wara (Dayak Benuaq)
H. Kesenian Tari Suku Dayak
1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan
kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih
padi dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam
penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku
Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat
dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar
Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet
Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah
berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Dalam
tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah
dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang.
Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat music Sampe.
3. Tari Kancet
Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan
pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan
seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. Tari
ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak
Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung
Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo
disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet
Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang
dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan
kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak
Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari
tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang dan juga si penari banyak
mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh
lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika
terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5. Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan
dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya.
Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak
Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai
binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup
tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok
suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan
dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan
kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari Hudoq
Kita'
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari
Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun
tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah
memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq
Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan
musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain
biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia
biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng
dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar
terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah
penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai
karena tarian diiringi alat music Serumpai (sejenis seruling bambu).
9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati
orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian,
tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian
lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu
yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia
atau orang yang menebang pohon tersebut.
2. Senjata
Suku Bangsa Dayak
1. Sipet
/ Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan
berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang
dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan
(Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan
rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat
anak sumpitan.
2. Lonjo
/ Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan
anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
3. Telawang
/ Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1
– 2 meter dengan lebar 30 - 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan
mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
4. Mandau.
Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap
keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk
tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah,
diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut
manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang
Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena
dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai
bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman
Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
5. Dohong.
Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah.
Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh
dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
3. Totok
Bakakak (kode) yang umum dimengerti Suku Bangsa Dayak
1. Mengirim
tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan
perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang".
2. Mengirim
sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang
ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
3. Mengirim
seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
4. Mengirim
tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan
sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
5. Mengirim
Abu, berarti ada rumah terbakar.
6. Mengirim
air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap
lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada
saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak
disebutkan.
7. Mengirim
cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah
tua meninggal dunia.
8. Mengirim
telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan
tajau.
9. Daun
sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan
rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena
adanya pantangan adat.
10.
Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti
misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris
dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon
itu.