Sejarah Kerajaan Kediri - Keterangan Kerajaan Kediri
diperoleh dari berbagai sumber seperti prasati-prasati yang telah
ditemukan.selain prasasti ada juga arca-arca yang telah diketemukan. Walaupun
ada beberapa pernyataan tentang kediri belum berdasarkan bukti namun
sumber-sumber yang ada sudah cukup membuktikan adanya kerajaan kediri yang
awalnya memiliki sejarah yang cukup rumit.
Kerajaan Kediri |
A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Kediri
Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula disingkat Erlangga,
yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu
Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti air
yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri
Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan
Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa. Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu
Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik
takhta sepeninggal Marakata).
Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga menikah
dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan
Medang. Tiba-tiba kota Watan
diserbu Raja Wurawari
dari Lwaram, yang
merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke
hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama.
Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah
satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang
Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada
umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu
nama ibukota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup
di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun
kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun
membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti
Cane (1021).
Menurut Prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut
musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti
Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang). Menurut Prasasti
Pamwatan (1042), pusat kerajaan
kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai dengan
naskah Serat Calon Arang
yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga
menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.
Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009,
wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal
Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Mula-mula yang
dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan
Wangsa Isyana atas pulau
Jawa. Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa
Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga merasa
lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang
dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga
mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian
Panuda Raja Lewa.
Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba
membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa
dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung
sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya.
Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala.
Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita itu akhirnya dapat
dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan
Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir, pada tahun 1035
Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah
ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian
mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai
mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan
yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
·
Membangun
Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
·
Membangun
Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
·
Memperbaiki
Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya
sekarang.
·
Membangun
jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
·
Meresmikan
pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
·
Memindahkan
ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap
seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan
perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga
mengalahkan Wurawari.
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta
menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga
Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun
yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut
gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka
Catraning Bhuwana. Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak
menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama
asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti
Turun Hyang (1035) adalah
Sanggramawijaya Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian
bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta.
Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah
satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali
mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.
Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan
putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian
digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu. Airlangga terpaksa membagi dua
wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian
barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang,
Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru.
Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri
Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu
Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042,
Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti
Gandhakuti, 24 November 1042, ia
sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan
kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui
dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala
hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau
pemandian.
Kolam pemandian yang paling sesuai dengan
berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada
kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan Prasasti
Pucangan (1041) diketahui
Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut
dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri
Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada Candi Belahan ditemukan angka
tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian
Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Maharaja Jayabhaya adalah Raja Kadiri yang memerintah
sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji
Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama
Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri.
Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136),
dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga
disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya
Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah
untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan
Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja
yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa
atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh tahun 1157.
Kerajaan Kadiri atau Kerajaan Panjalu adalah
Kerajaan yang terletak di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini
berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Pada
tahun 1042, Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian.
Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan
kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan sebutan
Jenggala dan Panjalu, yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas. Tujuan
pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian diantara kedua
putranya.
Pembagian Kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala
(Kahuripan) dan Panjalu (Kediri)
dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289M), kitab Negarakertagama
(1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Begitu Raja Airlangga wafat,
terjadilah peperangan antara kedua bersaudara . Panjalu dapat dikuasai Jenggala
dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti
Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha
B. Letak Kerajaan Kediri
Kerajaan
Kediri terdapat di Jawa Timur, Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang
terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Kediri sangat bergantung
pada Sungai Brantas. Pada masa Kediri sungai in sudah menjadi jalur pelayaran
yang ramai. Sungai Brantas adalah sungai terpanjang kedua di Pula u Jawa
setelah Bengawan Solo.
Sungai
Brantas sangat cocok untuk mengembangkan sistem pertanian sawah dengan irigasi
yang teratur. Adanya beberapa gunung aktif di bagian hulu sungai seperti Gunung
Kelud dan Gunung Semeru menyebabkan banyak
material
vulkanik yang masuk ke Sungai Brantas.
Batas antar dinasti Kediri dan Jenggala ada 2 versi :
- Versi I,
batasnya Gunung Kawi dan Sungai Berantas
1. Bagian barat merupakan bagian dari
Kerajaan Kediri (untuk Samarawijaya)
2. Bagian timur merupakan bagian dari
Kerajaan Jenggala (untuk Mapanji Garasakan)
- Versi II,
batasnya Kali Lamong
1. Sebelah selatan kali menjadi bagian
Kerajaan Kediri
2. Sebelah utara kali menjadi bagian
Kerajaan Jenggala
C. Kondisi Politik & Sistem Pemerintahan Kediri
1. Kondisi Politik
Pada tahun 1019 M, Airlangga
dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali
kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga
memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih
payahnya, Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir
hayatnya, Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi
pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang
Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari
seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada
putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang
Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan,
dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut
mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12, dimana Kediri
tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya
dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih
lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan
berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun
perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali
dipersatukan dibawah kekuasaan Kediri.
2. Sistem Pemereintahan
a. SRI SAMARAWIJAYA , putra airlangga
= prasasti PAMWATAN (1042).
Sepeninggal
Raja Airlangga dan selama kekuasaan Samarawijaya, Kerajaan Janggala dan Panjalu
tidak pernah hidup berdampingan secara damai. Perebutan kekuasaan terus
berlangsung hingga tahun 1042, Mapanji Garasakan dapat mengalahkan
Samarawijaya. Diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042-1052 M) dalam
Prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda
Mukha (Wisnu Naik Garuda). Namun Mapanji tidak lama memimpin Kerajaan. Tampuk
pemerintahan lalu jatuh ditangan Raja Mapanji Alanjung Ahyes (1052-1059 M) dan
kemudian digantikan lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus
menerus antara Janggala dan Panjalu menyebabkan selama kira-kira 60 tahun tidak
ada berita yang jelas mengenai kedua Kerajaan tersebut hingga muncullah nama
Raja Sri Maharaja Sri Bameswara.
b. Sri Maharaja Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu
Sri Jayawarsa adalah raja Kadiri yang memerintah
sekitar tahun 1104. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Jayawarsa
Digjaya Sastraprabhu. Tidak
diketahui dengan pasti kapan Jayawarsa naik takhta. Peninggalan sejarahnya yang
ditemukan adalah prasasti Sirah Keting tahun 1104, yang berisi
pengesahan desa Marjaya sebagai tanah perdikan atau sima swatantra. Tidak diketahui pula kapan
Jayawarsa turun takhta. Prasasti Panumbangan (1120) hanya menyebut makamnya di Gajapada.
Raja selanjutnya yang memerintah Kadiri berdasarkan prasasti
Pikatan tahun 1117 adalah Sri Bameswara.
c. Sri
Bameswara
Raja
Sri Maharaja Sri Bameswara (1116-1135 M) dari Kediri yang menggunakan lancana
Candrakapale yaitu tengkorak yang bertaring diatas bulan sabit. Pada masa
pemerintahannya banyak dihasilkan karya-karya sastra bahkan kiasan hidupnya
yang dikenal dalam Cerita Panji.
d. Sri Jayabhaya Raja Terbesar Panjalu = Prasasti Ngantang (1135) ,
Kakawin Bharatayudha (1157).
Bameswara diganti oleh Sri Maharaja Sri Jayabhaya
(1135-1159 M) yang menggunakan lencana Kerajaan berupa lencana Narasingha yaitu
setengah manusia setengah singa. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Kediri
mencapai puncak kejayaan dan juga banyak dihasilkan karya sastra terutama
ramalannya tentang Indonesia antara lain akan datangnya Ratu Adil. Jayabhaya
disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Ketika ia berkuasa, pertentangan dengan
Janggala berakhir setelah ia dapat menguasai Kerajaan tersebut. Atas kemenangan
tersebut ia memperingatinya dengan memerintahkan Mpu Sedah untuk menggubah
Kakawin (syair) Bharatayudha sebagai peringatan atas peperangan Kediri
dan Janggala. Karena Mpu Sedah tidak sanggup menyelesaikan Kakawin tersebut,
Mpu Panuluh melanjutkan dan menyelesaikannya pada tahun 1157 M. Jayabhaya juga
terkenal akan ramalannya yang sering disebut Jangka Jayabhaya.
Meskipun demikian, kenyataannya 2 pujangga yang hidup
sezaman dengan Prabu Jayabhaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh sama sekali
tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka ( Kakawin Bharatayudha, Kakawin
Hariwangsa, Kakawin Gatotkacasraya) bahwa Prabu Jayabhaya memiliki karya tulis.
Kakawin Bharatayudha hanya menceritakan peperangan antara Kediri dan Janggala.
Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita
ketika sang Prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi
Rukmini, dari negri Kundina, putri Bismaka. Rukmini sendiri adalah titisan dari
Dewi Sri.
Kakawin Bharatayudha yang digubah oleh 2 pujangga
Kediri merupakan kisah perang saudara yang diilhami kitab Mahabharata karangan
Wyasa Kresna Dwaipayana, seorang pujangga India. Kitab tersebut mengisahkan
perang perebutan takhta Kerajaan Hastinapura di antara keluarga Kurawa dan
Pandawa yang dimenangkan oleh Pandawa. Ramalan
Jayabhaya atau sering disebut dengan Jangka Jayabhaya adalah ramalan dalam
tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabhaya, raja Kerajaan
Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya dikalangan masyarakat Jawa yang
dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal usul utama serat
Jangka Jayabhaya dapat dilihat di kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri
Prapen.
Sekalipun banyak keraguan keasliannya tapi sangat jelas
bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwasanya Jayabhaya-lah yang
membuat ramalan-ramalantersebut. Isinya :
1. Besuk yen wis ana kreta
tanpa jaran -- kelak
jika sudah ada kereta tanpa kuda
2. Prahu mlaku ing dhuwur
awang-awang
-- perahu berjalan di angkasa
3.
Kali ilang kedhunge -- sungai kehilangan mata air
4.
Sekilan bumi dipajeki -- Sejengkal tanah dikenai pajak.
5.
Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan
berpakaian lelaki.
e.
Raja Sri Sareswara
(berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161)
Sebagai raja yang taat beragama dan
budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya
Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau . Tujuan
hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah moksa, yaitu
pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang
menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak
benar.
Ia
memakai lencana Kerajaan berupa Ganesha.
f. Raja Sri Aryeswara
(berdasarkan prasasti Angin (1171)
Sri Aryeswara adalah raja Kadiri yang
memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja
Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka. Tidak diketahui dengan
pasti kapan Sri Aryeswara naik takhta. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti
Angin, 23 maret 1171. Lambang kerajaan Kadiri saat itu adalah Ganesha.
Tidak diketahui pula kapan ia pemerintahannya berakhir. Raja Kadiri selanjutnya
berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri Gandra.
g. Sri Gandra
Adalah raja Kadiri yang
memerintah sekitar tahun 1181. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja
Koncaryadipa Handabhuwanapadalaka Parakrama Anindita Digjaya UttuNggadewa Sri
Gandra.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri
Gandra naik takhta. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Jaring, 19 November
1181. Isinya berupa pengabulan permohonan penduduk desa Jaring melalui Senapati
Sarwajala tentang anugerah raja sebelumnya yang belum terwu jud.Dalam prasasti
tersebut diketahui adanya nama-nama hewan untuk pertama kalinya dipakai sebagai
nama depan para pejabat Kadiri, misalnya Menjangan Puguh, Lembu Agra, dan Macan
Kuning.Tidak diketahui pula kapan pemerintahan Sri Gandra berakhir. Raja Kadiri
selanjutnya berdasarkan prasasti Semanding tahun 1182 adalah Sri Kameswara.
H. Sri
Kameswara
Raja
Kameswara (1182-1185 M) selama beberapa waktu tidak ada berita yang jelas
mengenai Raja Kediri hingga ia muncul. Masa pemerintahan ini ditulis dalam
Kitab Kakawin Smaradhana oleh Mpu Darmaja yang berisi pemujaan terhadap raja,
serta Kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang ditulis oleh Mpu Tan Akung. Kitab
Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang akhirnya masuk surga dan
Wretasancaya yang berisi petunjuk mempelajari tembang Jawa Kuno. Pada masa ini
perkembangan karya sastra mencapai puncak kejayaannya. Beberapa karya sastra
yang muncul selain yang disebut diatas antara lain Kitab Kresnayana, karya Mpu
Triguna ; Kitab Sumanasantaka, karya Mpu Managuna.
i. Kertajaya ( Raja Terakhir )
Raja Sri Kertajaya (1190-1222 M) ( berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti
Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.)
Merupakan raja terakhir dari Kerajaan Kediri.
Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan Dandang Gendis. Selama masa
pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya
mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Keadaan ini ditentang oleh
kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.
Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta
bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Mengetahui hal ini.
Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel.
Sementara itu. Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke
Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M). Dalam
pertempuran itu pasukan dari Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil
meloloskan diri (namun nasibnya tidak diketahui secara pasti). Kekuasaan
Kerajaan Kediri berakhir dan menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel.
D. Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kertajaya
adalah raja terakhir kerajaan Kediri. Ia memakai lencana Garuda Mukha seperti
Ria Airlangga, sayangnya ia kurang bijaksana, sehingga tidak disukai oleh
rakyat terutama kaum Brahmana. Dalam masa pemerintahannya, terjadi pertentangan
antara dirinya dan para Brahmana hal inilah akhirnya menjadi penyebab
berakhirnya Kerajaan Kediri.
Pertentangan
itu disebabkan Kertajaya dianggap telah melanggar adat dan memaksa kaum
brahmana menyembahnya sebagai Dewa. Para Brahmana kemudian meminta perlindungan
pada Ken Arok di Singosari. Kebetulan Ken Arok juga berkeinginan memerdekakan
Tumapel (Singosari) yang dulunya merupakan bawahan Kediri. Tahun 1222 pecahlah
pertempuran antara prajurit Kertajaya dan pasukan Ken Arok di desa
Ganter. Dalam peperangan ini, pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan prajurit
Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kediri, yang sejak saat
itu menjadi bawahan Kerajaan Singosari. Runtuhnya kerajan Panjalu-Kediri pada
masa pemerintahan Kertajaya dikisahkan dalam Kitab Pararaton dan Kitab
Negarakertagama.
Setelah
Ken Arok mengangkat Kertajaya, Kediri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan
Kerajaan Singosari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai
Bupati Kediri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama
Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan oleh putranya , yaitu
Jayakatwang. Tahun 1292 Jayakatwang menjadi bupati geleng-geleng. Selama
menjadi bupati, Jayakatwang memberontak terhadap Singosari yang dipimpin oleh
Kertanegara, karena dendam di masa lalu dimana leluhurnya yaitu Kertajaya dikalahkan
oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun
kembali Kerajaan Kediri, namun hanya bertahan satu tahun. Hal itu terjadi
karena adanya serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan
pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
E. Raja-Raja
Kerajaan Kediri Selanjutnya
1. Pada
saat Daha menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan
Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti
Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
1. Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
2. Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
3. Tohjaya kakak Guningbhaya
4. Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu),
yang kemudian menjadi raja Singhasari
2. Pada
saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang,
adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia
memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang
kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden
Wijaya pendiri Majapahit.
3. Pada
saat Daha menjadi bawahan Majapahit
Sejak
tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang
memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan
harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:
1. Jayanagara 1295-1309 Nagarakretagama.47:2; Prasasti
Sukamerta - didampingi Patih Lembu Sora.
2. Rajadewi 1309-1375 Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 -
didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
3. Indudewi 1375-1415 Pararaton.29:19; 31:10,21
4. Suhita 1415-1429 ?
5. Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin
Pitu
6. Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri
4. Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
Menurut
Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit
yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya
yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527. Sejak saat itu
nama Kediri lebih terkenal dari pada Daha.