Sejarah Asal Usul Maulid Nabi Muhammad SAW - Maulid
Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada mulanya diperingati untuk
membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang
keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari
Prancis, Jerman, dan Inggris. Kita mengenal musim itu sebagai Perang Salib atau
The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem
dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan
semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam
terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah
tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang
persatuan spiritual.
Sejarah Asal Usul Maulid Nabi Muhammad SAW |
A. Pengertian Maulid Nabi Muhammad SAW
Maulid
Nabi Muhammad SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد، مولد النبي), adalah peringatan hari lahir Nabi
Muhammad SAW, yang dalam tahun Hijriyah jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal. Kata
maulid atau milad adalah dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid
Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi
Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan
dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
B. Sejarah
Maulid Nabi Muhammad SAW
Perayaan
Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi,
seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin
Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal
dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan
kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat
itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa
dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem.
C. Hukum
Memperigati Maulid Nabi Muhammad SAW
Syaikh
Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah –semoga Allah membalas jerih
payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau
pernah ditanya tentang hukumnya memperingati maulid Nabi r ?
Maka
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah r
tidak diketahui secara qath’i (pasti), bahkan
sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya
ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi’ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua
belas). Jika
demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati pada
malam ke 12 (dua belas) Rabi’ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari
sisi sejarahnya.
2. Di lihat dari sisi
syar’i, maka peringatan maulid Nabi r juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya
acara peringatan maulid Nabi r disyari’atkan dalam agama kita, maka pastilah
acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi atau sudah barang tentu telah beliau
anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah
beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga
hari ini, karena Allah ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan
Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr :
Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi r
tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan
termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama,
berarti kita tidak diperbolehkan untuk
beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan
maulid Nabi r tersebut.
Allah telah menentukan jalan yang harus
ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah, maka bagaimana mungkin kita
sebagai seorang hamba menempuh jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa
sampai kepada Allah.?
Hal ini jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita
telah membuat syari’at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya.
Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta’ala :
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridha’i
islam itu jadi agama bagimu“. Q.S; Al-Maidah :
Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara
peringatan maulid Nabi termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama),
niscaya ia telah dirayakan sebelum Rasulullah meninggal dunia. Dan jika ia
bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari
ajaran agama, karena Allah ta’ala berfirman: “Pada
hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu.“
Maka barang siapa
yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien (agama),
berarti ia telah membuat perkara baru dalam agama (bid’ah) sesudah
wafatnya Rasulullah, dan pada
perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah
: 3).
Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang
yang mengadakan acara peringatan maulid Nabi r, pada hakekatnya bertujuan untuk
memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan terhadap Rasulullah SAW,
serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh dari acara
peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta
kepada Rasulullah r termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah
sempurna hingga ia mencintai Nabi r melebihi kecintaannya terhadap dirinya
sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia. Demikian pula bahwa
memuliakan (mengagungkan) Rasulullah r termasuk dari ibadah. Dan juga yang
termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam
mengamalkan syari’at Nabinya.
D. Sejarah
Munculnya Maulid
Nabi
Muhammad SAW
Sesungguhnya
penyelenggaraan perayaan yang memperingati peristiwa-perisiwa Islam tertentu
yang kemudian dijadikan sebagai perantara untuk mendapat berkah itu, pada
mulanya hanya dikenal oleh kelompok kebatinan yang buruk. Mereka adalah Bani
Ubaid Al Qaddah yang menamakan dirinya sebagai Fatimiyyun.
Upacara maulid adalah termasuk perbuatan yang dicontohkan
oleh para ahli penyimpangan dan kesesatan, sesungguhnya orang yang pertama yang
memunculkan perayaan upacara maulid adalah orang-orang dari Bani Fatimiyyun
dari golongan Ubaidiyyun yang hidup dikurun waktu ke-4 Hijriyah.
Mereka
ini sengaja mengklaim dirinya sebagai pengikut Fathimah radhiallahu anha secara
dzalim dan untuk mencemarkan nama baiknya padahal sebenarnya mereka adalah
sekelompok orang-orang Yahudi atau ada yang mensinyalir bahwa mereka dari orang
Majusi (penyembah api) bahkan ada yang mengatakan mereka berasal dari kelompok
Atheis.
Pendapat
lain, seperti Imam As Suyuthi dalam Husnul Maqshud fi Amal Al Maulid
menegaskan:
“Orang
yang pertama kali mengadakan peringatan hari Maulid Nabi adalah penduduk Irbal,
Raja Agung Abu Sa’id Kau Kaburi bin
Zainuddin Ali bin Bakitkin, seorang raja negeri Amjad. Dan ini diikuti oleh
Syaikh Muhammad bin Abu Ibrahim Alu Syaikh: “Bid’ah
peringatan Maulid Nabi ini, pertama kali diadakan oleh Abu Sa’id Kau Kaburi
pada abad ke-6 H”
Syaikh
Hamud Tuwaijiri: “Upacara
peringatan maulid adalah bid’ah dalam Islam yang diadakan oleh sulthan Irbal
pada akhir abd ke-6H atau pada awal abad ke-7H.”
Al
Ubaidiyyun memasuki Mesir 362 H
dan raja terakhirnya Al Adhid meninggal 567 H,
sedangkan penguasa Irbal dilahirkan 549 H
dan meninggal 630 H,
ini menjadi bukti bahwa kelompok Ubadiyyun lebih dahulu daripada penguasa Irbal
-Al Malik Al Mudzaffar -
dalam mengadakan upacara peringatan maulid Nabi.
Bukan
tidak sah mengatakan bahwa penguasa Irbal adalah orang yang pertama kali
mengadakan Maulid Nabi di Maushil, karena yang dilakukan Al Ubaidiyyun diadakan
di negeri sendiri - Mesir,
seperti yang dijelaskan dalam buku-buku sejarah.
Jutaan
umat Islam di seluruh belahan dunia memperingati tanggal 12 Rabi’ul Awwal
setiap tahun, memperingati hari kelahiran Rasulullah saw. Kaum muslimin saling
memberi ucapan selamat, hadiah, dan aneka hidangan yang dipersiapkan untuk
peringatan tersebut, bahkan penjual aneka makanan mendapatkan pesanan yang
beragam dan melimpah, sesuai kebiasaan dan tradisi khas tempat masing-masing.
Waktu berjalan, peringatan maulid Nabi berkembang secara
resmi di kalangan pejabat, raja dan pemimpin umat Islam dengan saling memberi
ucapan selamat, do’a-do’a keberkahan, bagi-bagi hadiah untuk penghafal Al
Qur’an, orasi dan pidato politik. Pertanyaannya
adalah, Kapan peringatan maulid Nabi bermula ? Apakah
peringatan maulid Nabi di benarkan dalam Islam ? Apa
hukumnya secara syariah memperingati maulid ini?
Pertanyaan-pertanyaan
yang terus terulang saat ada peringatan maulid setiap tahunnya. Bersamaan
dengan itu, masih ada perdebatan seputar hukum memperingati maulid, meskipun
Rasulullah saw sendiri tidak pernah memperingati hari kelahirannya, begitu juga
dengan para sahabat dan tabi’in yang merupakan generasi pilihan.
E. Tradisi
Fathimiyyah
Sumber-sumber
sejarah menceritakan bahwa, di Mesir ada sekelompok pendukung Fathimah putri
Nabi, mereka disebut Fathimiyyin, mereka lah pertama kali yang mengadakan
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Mereka mengadakan peringatan secara
besar-besaran, mereka membagi-bagikan aneka makanan. Di samping memperingati
kelahiran Nabi, mereka juga memperingati hari-hari kelahiran keluarga “ahlul bait”
Nabi saw.
Inilah
kenyataan sejarah yang menjadikan sebagian ulama fiqh menolak mutlak peringatan
Nabi, dan memasukkan katagori bid’ah dalam urusan agama yang tidak ada dasar
hukumnya. Rasulullah saw tidak pernah memperingati hari kelahirannya sepanjang
hidupnya, begitu juga para sahabat dan tabi’in.
وهو
القائل صلى الله عليه وسلم: “من أحدث في
أمرنا
هذا ما ليس منه فهو رد”
“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam
urusan agama kami yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia tertolak.” Artinya
tidak termasuk dari ajaran Islam.
Para
penentang perayaan maulid juga bersandar para praktek perayaan maulid ketika
masa Fathimiyyin yang lebih cenderung berlebihan dalam menyebarkan ajaran
syi’ah. Tujuan dari peringatan ini, sebagaimana yang dilihat oleh ahli fiqh
sekaligus da’i, Abdul Karim Al Hamdan, adalah penyebaran aqidah syi’ah dengan
kedok cinta keluarga Nabi dan disertai dengan praktek-praktek yang tidak
diperbolehkan hukum, seperti berlebihan di dalam menghormati pemimpin dengan
cara-cara sufiestik yang sudah menjerus pada kultus individu, berdo’a kepada
selain Allah, bernadzar kepada selain Allah swt. Inilah bentuk-bentuk
peringatan maulid Nabi semenjak kelomopk Fathimiyyin sampai sekarang, baik di
Mesir atau di belahan dunia lainnya.
F. Bagi Yang Tidak Memperingati
Dalam sudut pandang yang berbeda, Dr. Muhammad ‘Alawi Al
Maliki Al Husni, seorang ahli fiqh, memandang bolehnya memperingati maulid Nabi
dengan diisi kegiatan yang bertujuan mendengarkan sejarah perjalanan hidup Nabi
saw dan memperdengarkan pujian-pujian terhadapnya. Ada
kegiatan memberi makan, menyenangkan dan memberi kegembiraan terhadap umat
Islam. Meskipun ia menekankan tidak adanya pengkhususan peringatan pada malam
hari tertentu, karena itu termasuk katagori bid’ah yang tidak ada dasarnya
dalam agama.
Riwayat dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengagungkan
hari kelahirannya, beliau bersyukur kepada Allah pada hari itu, atas nikmat
diciptakan dirinya dimuka bumi dengan membawa misi rahamatan lil’alalmin,
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ketika
Rasulullah saw ditanya tentang sebab beliau berpuasa pada hari Senin dalam
setiap pekan, beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim, (ذلك
يوم فيه ولدت). “Itu hari, saya dilahirkan.”
Terkait bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melaksanakan
maulid, Dr Al Husni mengatakan, “Apa yang tidak dikerjakan oleh salafus shaleh
generasi awal Islam, tidak otomatis menjadi bid’ah yang tidak boleh dikerjakan.
Justru
perlu dikembalikan kepada persoalan aslinya, yaitu sesuatu yang membawa
mashlahat secara syar’i menjadi wajib hukumnya, sebaliknya sesuatu yang
menjerumuskan kepada haram, maka hukumnya haram.”
Menurut padangan Dr. Al Husni, jika memperingati maulid
Nabi membawa mashlahat secara syar’i, maka hukumnya dianjurkan, karena di
dalamnya ada kegiatan dzikir, sedekah, memuji Rasul, memberi makan
fakir-miskin, dan kegiatan lainnya yang diperbolehkan karena membawa manfaat.
1. Tergantung Kegiatan
Sebagian ulama mengingkari peringatan maulid, karena di
dalamnya bercampur dengan bid’ah dan kemungkaran yang terjadi sebelum abad
Sembilan Hijriyah, dengan bersandar pada hukum asli, yaitu “Menolak kerusakan
lebih di dahulukan dari pada meraih mashalahat.”
Ulama
ahli Fiqh dari madzhab Maliki, Tajuddin Al Fakihani juga membolehkan. Sebagian
ada yang malah menganjurkan, seperti Imam Jalaluddi As Suyuthi dan Ibnu Hajar
Al Asqalani, namun mereka mengingkari praktek-praktek bid’ah. Pendapat mereka
ini bersandar pada
firman
Allah swt, {وذكرهم بأيام
الله} “Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah.”
Sejumlah ulama Al Azhar, terutama Syaikh ‘Athiyyah Shaqr
rahimahullah, telah berfatwa tentang dibolehkannya memperingati maulid Nabi
dengan syarat.
Fatwa
itu tertuang sebagai berikut, “Rasulullah saw telah menetapkan bahwa hari di
mana beliau dilahirkan memiliki keutamaan dibanding dengan hari-hari lainnya.
Setiap mukmin hendaknya bersungguh-sungguh dalam meraih keagungan pahala,
mengutamakan amal. Itulah alasan memperingati hari ini. Dan bersyukur kepada
Allah swt atas pemberian-Nya yang sangat besar, berupa kelahiran Nabi akhir
zaman yang memberi petunjuk kepada kita menuju syari’at-Nya yang membawa
kelestarian. Namun dengan syarat tidak membuatkan gambar-gambarnya secara
khusus. Bahkan dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt atas apa yang
disyariatkan, mengenalkan manusia keutamaan dan keagungan pribadi Rasul, tidak
keluar dari koridor syariat dan berubah menjadi hal yang diharamkan secara
hukum, seperti ikhthilat atau campur baur laki-laki dan perempuan, cenderung
kepada kegiatan yang tidak ada gunanya dan hura-hura, tidak menghormati
baitullah, dan termasuk yang dikatagorikan bid’ah adalah tawasul terhadap
kuburan, sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan bertentangan dengan
adab.
Jika
yang dominan adalah kegiatan-kegiatan seperti di atas, maka yang diutamakan
adalah mencegah kerusakan sebagaimana kaidah ushul. “Mencegah kerusakan lebih
didahulukan dari pada meraih maslahat.”
Namun
jika hal-hal positif lebih dominan dan manfaat secara syar’i didapatkan, maka
tidak ada larangan memperingati maulid Nabi dengan tetap mengantisipasi hal-hal
negatif sesuai kemampuan.”