Sejarah Pergerakan Mahasiswa - Ada
peran-peran yang harus dilakukan sebagai konsekuensi logis dan konsekuensi
otomatis dari identitas mahasiswa itu sendiri, diantaranya yang pertama peran
moral mahasiswa dalam kehidupannya sebagai kaum intelektual muda.
Jika hari ini aktifitas mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura-hura) maka
berarti telah menyimpang. Jika hari ini mahasiswa lebih suka mengisi waktu
dengan agenda-agenda personal seperti pacaran, nongkrong di Mal tanpa ingin
tahu tentang keadaan sosialnya, jika pada hari ini mahasiswa lebih mementingkan
individu dengan segala kepentingannya tanpa memperhatikan sekelilingnya
(realitas objektif) maka mahasiswa semacam ini adalah potret “generasi yang
hilang” yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tanggung jawabnya sebagai seorang
mahasiswa.
Sejarah Pergerakan Mahasiswa |
Yang
kedua peran sosial, dimana mahasiswa dalam hal ini harus menumbuhkan
jiwa-jiwa sosial yang dalam (solidaritas sosial). Solidaritas yang tidak
dibatasi oleh sekat-sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal
secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan. Dalam peran ini hakekatnya
mahasiswa tidak membiarkan begitu saja penindasan yang terjadi disekelilingnya,
penindasan yang dilakukan kaum pemangku puncak kuasa untuk meruntuhkan
eksistensi kaum marginal yang sampai-sampai rela mengembik untuk mempertahankan
eksistensi diri.
Yang
ketiga peran politik, mahasiswa hakekatnya mampu menciptakan
kesinambungan politik yang dinamis dan berdasar pada keadaan objektif (rakyat)
dalam menjalankan kehidupannya sebagai bagian dari rakyat. Pasca reformasi
tahun 1998, peran politik mahasiswa sebagai kaum terpelajar dinamis yang penuh
kreatifitas seakan bergejolak kembali saat sebelumnya terbelenggu oleh
pemerintahan yang otoriter dimana membatasi ruang gerak demokrasi. Dalam peran
ini kadang mahasiswa dibutakan oleh hal-hal duniawi (uang) ataupun suatu
ideologi sempit yang dapat membutakan mata sehingga bertindak secara subjektif
dalam menjalankan segala kepentingannya.
Ketiga
peran ini seharusnya sinergis berpadu dengan peran akademik mahasiswa sebagai
bagian dari ruang pembelajaran kaum intelektual muda. Dimana kadang realitas
sekarang menjadi dilema, dalam artian banyak mahasiswa yang hobinya kuliah
namun tak mau tahu tentang segala hal berkenaan dengan kehidupan sosial
politiknya, sehingga banyak anggapan berilmu untuk dirinya sendiri (Percuma!!).
Mahasiswa
seharusnya tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi problematika vertikal
maupun horizontal yang ada disekelilingnya. Dengan bertolak pada keadaan yang
riil, menjadikannya mampu bertindak dan mengambil peran penting sebagai hakekat
dari pemegang identitas agent of change maupun director of change.
Gerakan mahasiswa harus terus mereformasi
diri, menambal lubang-lubang kelemahan dan keluar dari jebakan pikiran
konvensional untuk mencari solusi kritis.
Ada empat model gerakan yang bias ditawarkan
untuk menghadapi tantangan hari ini:
1.
Gerakan intelektual, sebagai seorang
intelektual maka yang harus dilakukan yaitu dengan kerja-kerja intelektual
pula. Seperti seminar, diskusi, kelompok kajian dan penerbitan karya-karya
ilmiah.
2.
Gerakan cultural, mahasiswa harus membumi dan
bekerja bersama rakyat, misalnya advokasi dan kegiatan bersama.
3.
Gerakan structural, bekerjasama dengan Negara
untuk mendukung kerja-kerja gerakan yang ada.
4.
Gerakan massa, ketika aspirasi tidak lagi
didengar, maka aksi massa menjadi alat yang sah dalam penyampaiana aspirasi.
A.
Ilustrasi Tentang Perkembangan Gerakan Mahasiswa
Murid-murid
STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo pada tahun
1915. Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi pemuda
kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, dsb.) dan belum
tercipta konsolidasi. Baru dengan prakarsa Perhimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia (PPPI), beberapa organisasi kedaerahan dilebur menjadi Indonesia Muda
(IM) pada tahun 1930.
Tahun 1915-1930
merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memilki
penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi
Indonesia Muda dan melepaskan dirinya dari keorganisasian sektarian pemuda dan
mahasiswa guna mempertajam orientasi anti-kolonial. Selain itu juga gerakan ini
telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat
pemerintahan kolonial yang semakin represif, setelah pemberontakan PKI 1926 dan
1927 serta pemogokan-pemogokan buruh.
Di
dalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti itu muncullah alternatif
Kelompok Studi (Studie-studie Club) yang politis dilihat dari orientasi dan
tindakan politiknya. Analisa terhadap Studie Club jelas memberikan kesimpulan
bahwa kondisi obyektif ekonomi politik pada saat itu politik kolonial yang
semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status
ekonomi Belanda dan Hindia Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi
subyektif studie club yang bertransformasi menjadi sebuah partai.
Pada
masa penjajahan Jepang organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda
dimasukkan ke dalam; Seinen dan Keibodan(Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela
Tanah Air) untuk dididik politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik
menarik pada jaman ini adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT)
dengan rapat-rapat gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan
gerakan legal Sukarno; merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti
fasis. Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran
massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang
revolusioner.
Masa 1945-1950
merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain
melucuti senjata Jepang, juga memunculkan organisasi-organisasi seperti:
Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan
Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri
Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan
pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh
Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak
Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.
Periode
Demokrasi Liberal 1950-1959 ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang
berarti bagi mahasiwa. Pertemuan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dalam
bulan Desember 1955 di Bogor PPMI memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari
FPI. Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara
sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas,
dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan akstivitas politik
mereka. Kemudian membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan
Akademik" dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih aktiv dalam
kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.
Persiapan Pemilu 1955
gerakan mahasiswa kembali mendapat momentumnnya. Pada saat itu berdiri
organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa
Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Pada
tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI
berprakarsa menggalang senat-senat mahasiswa dari berbagai universitas dan
berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia
(MMI). Sementara itu peran militer dalam negara terus mengalami perluasan sejak
akhir 1950-an.
Depolitisasi
gerakan pemuda dan mahasiswa bermula dari penandatanga nan kerja sama antara
pemuda dan Angkatan Darat 17 Juni 1957. Eskponen gerakan sosialis dan HMI
diikut sertakan dalam aktivitas-ak stivitas di luar kampus. Sejak awal 1959
mereka telah mengukuhkan hubungan dengan administratur-administratur militer
yang berkaitan dengan urusan pemuda dan mahasiswa. Jadi bukan hal yang aneh
bila pada tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah yang paling militan
berdemonstrasi mengulingkan Soekarno. Sementara itu Gerakan Pemuda Islam
Indonesia (GPII) dibubarkan dengan tuduhan terlibat usaha pembunuhan atas
Soekarno.
GMNI,
CGMI dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan
Kongres kelima PPMI di Jakarta Juli 1961. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI
berhasil masuk ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung,
Yogyakarta dan Surabaya. Dalam tahun 1961, organisasi-organisasi lokal tersebut
membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak
kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isu
politik. Orang akan dapat membaca dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada
semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa
yang tergabung dengan MMI.
Sehubungan
dengan insiden rasial di Bandung, Mei 1963, konsulat PPMI Bandung mengeluarkan
pernyataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotifkan rasial, akan
tetapi merupakan isu sosial yang diakibatkan gap antara si kaya dan si miskin
yang semakin dalam. Keadaan ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan
organisasi pecahan PPMI Bandung dan medirikan Majelis Permusywaratan Mahasiswa
Indonesia (Mapemi) pada bulan Agustus 1965. Haruslah dicatat dalam eksekutif
MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya
dipegang oleh perwira tingkat menengah AD dan kepolisian.
Dalam
masa ini orientasi gerakan mahasiswa yang sudah mulai membaik dalam mengugat
hubungan sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme
dikalahkah oleh kesiapan militer (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan
partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan
Gerakan Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Sebelum tahun
1970-an aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan ini adalah Soe Hok Gie dan
Ahmad Wahib (HMI).
Namun
seperti juga generasi baru aktivis-aktivis mahasiswa dan pemuda tahun 70-an
lainnya yang mulai menyadari kekeliruan strategi mereka kembali membuat
kesalahan strategi lainnya: terpisah dari potensi kekuatan rakyat, atau tanpa
basis kekuatan massa yang luas, demostrasi TMII; anti-korupsi; Golput; Malari;
dan gerakan '78 dengan Buku Putihnya merupakan contoh-contoh keterasingan dan
frustasi. Jadi pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami
kegagalan karena gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat.
Pada tahun 1980-an,
tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama
yang di Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif
yang ditawarkan oleh kapitalisme yang sedang berada pada titik kontradiski
ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas yang rendah (terutama produk yang
mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin,
pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis
kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya
dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat,
perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah
terjadi sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi
popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpu lan-kesimpulan
ilmu-ilmu sosial (tentang masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri
(terutama dari Barat) menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan
aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan pendapatan. BRAVO! buat
menjamurnya kelompok studi (1983) dan LSM, yang direspon mahasis¬wa-mahasiswa
moderat. Mereka yang tadinya berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa,
dalam waktu relatif cepat berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang
disebut sebagai gerakan "arus bawah". Yang lebih parah lagi adalah
LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan picu bagi tindakan politik, proses
pembusukkannya lebih lamban ketimbang kelompok studi. Sokongan keuangan yang
besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktivis-aktivis sosial (bahkan
mahasiswa) yang diserap kedalamnya, menyebabkan LSM bertahan dalam wataknya
semula.
Tahun 1985 dan seterusnya
kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi objektif ekonomi, politik, dan
budaya yang sangat negatif, berhasil oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yang para
pelakuknya banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila
dibandingkan dengan Filipina dan Korea Selatan. Bila dilihat konsolidasi dan
isunya, gerakan mahasiswa periode ini relatif lebih merakyat, berhasil dalam
membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain politiknya.
Aksi
mahasiswa Ujung Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya dengan
turun ke jalan (rally), dengan jumlah massa yang relatif besar, dengan
mengambil isu kebijaksanaan pemerintah dalam peraturan lalu lintas, judi, dan
ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan memakan beberapa korban.
Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, Pengerahan massa
yang relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya.
Celah-celah
kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi,
aksi-aksi yang dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang
berharga, baik dari segi pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun
rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an.
Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Tahun 1990,
pada periode ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa
dengan hidupnya kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi
kasus-kasus kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Inndonesia
untuk Demokrasi (SMID). Dan kader-kader banyak yang turun kesektor-sektor
rakyat, seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi
kasus-kasus kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di
Surabaya dan Jabotabek. Sampai-sampai kader-kader SMID banyak yang diculik dan
dibunuh oleh Rejim diktator Orba. Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang
sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali tiarap. Dan kembali
melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan
rakyat terhadap rejim penindas orba semakin besar, sentimen anti Soeharto
sangat tinggi.
B.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan
Mahasiswa 98 munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia
mengalami resesi ekonomi sebagai nakibat dari kewajiban untuk membayar hutang
luar negeri yang sudah mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di
Indonesia yang berkepanjangan ini adalah naiknya harga-harga sembako.
Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Tidak
seperti yang banyak dibayangkan oleh pakar-pakar politik, perlawanan massa
berkembang sedemikian cepat dan masif di hampir seluruh kota-kota besar di
Indonesia. Posko-posko perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap rejim
muncul diberbagai kampus dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan
oleh kegiatan-kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi,
pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang
sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat
menemukan mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang
baru!
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998 |
Intensitas
gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak
menentu seperti krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin
meningkat mulai dari penculikan aktivis sampai pada pemukulan dan penembakan
mahasiswa yang mencoba turun ke jalan. Puncak dari tindakan represi ini adalah
dengan ditembaknya 4 mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998.
Penembakan ini memicu kemarahan massa rakyat, yang representasinya dilakukan
dalam bentuk pengrusakan, penjarahan ataupun pemerkosaan di beberapa tempat di
Indonesia. Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta berada dalam kondisi
yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki
simbol-simbol pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei),
yang dilakukan hingga Soeharto mundur.
Bentuk-bentuk
perlawanan Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite
aksi ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan
Rejim Orba. Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu
ekonomis tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis
yaitu turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di
beberapa kota yang tergolong lebih relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu
adalah Reformasi. Tapi pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan
Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan
Moral atau Gerakan Politik.
Tanggal
21 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan
Soeharto. Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan arah dan merasa puas.
Padahal yang justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum
tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam
gerakan dan bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi
Demokratik.
C.
Membangun Kembali Gerakan Mahasiswa
Setelah
Soeharto dilengserkan yang naik menggantikannya ialah Habibie yang notabene
anak didik Soeharto. Dan masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk
pimpinan saja yang berubah, tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan
sistim pemerintahan Orde Baru, Karena Habibie juga bagian dari produk Orba.
Sehingga pada tanggal 13 November 1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana
terjadi pembantaian yang dilakukan aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa
rakyat yang menolak di adakannya Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban dari
pihak mahasiswa dan massa rakyat, sampai jatuh korban jiwa karena tindakan
kekerasan yang diakibatkan pemukulan dan penembakan yang dilakukan Pasukan PHH
pada saat itu.
Untuk
membangun kembali Gerakan mahasiswa yang teridiolgis dan jelas keberpihakannya
terhadap kelas kaum pekerja diupayakan oleh beberapa kawan mahasiswa pelopor.
Beberapa organisasi mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Semarang,
Solo dan Purwokerto membentuk organisasi tingkat Nasional yang diberi nama
FONDASI (Front Nasional Untuk Demokrasi) pada tanggal 5 Februari 1999 di
Bandung. FONDASI kemudian melibatkan diri melalui anggota-anggotanya pada
tanggal 28 Februari - 5 Maret 1999 diadakan RMNI I di Bali yang dihadiri oleh
53 organisasi dari seluruh Indonesia. Hasilnya adalah aksi serentak tanggal 13
April di kota-kota besar Indonesia. Lalu dilanjutkan pada pertemuan RMNI II di
Surabaya yang mengalami jumlah penurunan peserta menjadi 32 organisasi. Namun
RMNI I &II tersebut tidak menghasilkan kepemimpinan nasional gerakan
mahasiswa.
Perdebatan
yang terjadi di RMNI I dan II adalah mengenai pemerintahan transisi dan cabut
dwifungsi ABRI, dan terutama tentang pengambilan momentum pemilu 7 Juni 1999.
Apakah momentum Pemilu 7 Juni ini di ambil atau tidak. Ada ketakutan jika
mengangkat isu boikot pemilu, massa rakyat pendukung fanatik partai-partai
politik akan memukul gerakan mahasiswa. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak
terjadi.
Akhirnya
Fondasi ditambah kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki kesamaan isu yaitu
cabut dwifungsi ABRI, Pemerintahan Transisi, dan kesamaan taktik menghadapi
Pemilu membentuk LIGA MAHASISWA NASIONAL Untuk DEMOKRASI (LMND) dalam Kongres
Mahasiswa Nasional Pertama di Bogor tanggal 9-13 Juli 1999. Pasca Pemilu Rejim
Habibie ingin mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun
ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan pelawanan hingga
meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh
korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie menunda
UU Drakula tersebut.
Tanggal
20 Oktober GusDur naik menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Dan
Gerakan Mahasiswa menghadapi Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya.
Ruang-ruang demokrasi memang sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman
Wahid ini, tapi disatu sisi masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang
dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Rejim GusDur-Mega pun
terbukti ternyata tidak berpihak pada rakyat karena kebijakan-kebijakan
neoliberalnya. Dan yang membuat kecewa lagi Rejim ini pun ikut mendukung dan
mencoba menggolkan kembali RUU PKB yang jelas-jelas sudah memakan korban jiwa
tersebut. Ini dikarenakan Rejim GusDur-Mega terlalu banyak kompromi dan tidak
berani bertindak tegas terhadap sisa-sisa kekuatan lama yaitu sisa Orba dan
militer.
Namun
disatu sisi ternyata rejim GusDur yang masih bersifat setengah hati dalam
menegakkan demokratisasi di Indonesia, mencoba untuk menarik simpati massa
dengan menyingkirkan elit-elit politik gadungan dan militer yang pada saat
Pemilu telah mendukungnya. Tentu saja hal ini berakibat pada munculnya konflik
diinternal kabinet rejim GusDur. Elit-elit politik gadungan yang disingkirkan
oleh GusDur-pun menggunakan berbagai macam cara baik itu intra maupun ekstra
parlementer dalam rangka mendelegitimasi rejim GusDur. Gerakan mahasiswa yang
ada pada saat itupun tidak luput dari intervensi kepentingan para elit politik
gadungan tersebut. Akibatnya terjadi polarisasi antara gerakan yang pro GusDur
dengan gerakan yang anti terhadap GusDur, sebagian besar dari mahasiswa yang
terjebak dalam polemik ini adalah kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM].
Diantaranya yang cukup dominan dalam melakukan aksi-aksi massa adalah Badan
Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia atau biasa disingkat BEM-sI yang melakukan
penolakan terhadap GusDur lewat isu seperti Buloggate dan mengusulkan segera
dilakukannya Sidang Istimewa MPR/DPR. Golongan Kedua adalah yang menamakan diri
mereka Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia [BEMI] dengan aksi-aksi pendukungan
GusDur mereka. Saat inilah mahasiswa mengalami ketidakfokusan isu.
Namun
demikian ada golongan diluar itu yang melihat bahwa ada usaha permainan politik
oleh sisa-sisa Orde Baru yang manifes dalam partai Golkar serta Militer dibalik
ini semua. Analisa ini datang dari golongan gerakan ekstra parlementer seperti
LMND, FORKOT, FAMRED, PMII serta beberapa organ sektoral lainnya seperti dari
buruh ada FNPBI yang cukup dominan serta dari partai politik PRD, PKB dan
komunitas NU-nya. Golongan yang terakhir ini mencoba untuk melakukan aksi-aksi
propaganda bahwa permasalahan sebenarnya bukanlah pro-kontra GusDur melainkan
adanya bahaya kekuatan ORBA yang mulai bangkit kembali. Isu yang dibawa adalah
seperti Bubarkan Golkar, Bubarkan Parlemen. Namun lewat upaya-upaya licik dari
elit politik gadungan –GusDur termasuk didalamnya- maka permasalahan yang lebih
esensial ini menjadi kabur dan berakhir dengan kejatuhan GusDur. Lewat
mekanisme undang-undang politik yang ada dipilihlah Wakil Presiden pada saat
itu, Megawati untuk menggantikan GusDur. Rejim yang baru ini segera melakukan
reshuffle kabinet dalam rangka melakukan power sharing dengan elit-elit politik
gadungan seperti PAN, PPP, PBB, GOLKAR, serta militer. Format baru ini telah
membentuk sebuah rejim baru Mega-Hamzah –sebagai wakilnya- yang ternyata masih
juga melanjutkan kebijakan GusDur yang tidak berpihak pada massa rakyat.
D.
Gerakan Mahasiswa Kini
Sudah
menjadi watak alami dari borjuasi di Indonesia yang pengecut dan selalu
menghambakan diri kepada kekuatan modal asing. Hal ini tercermin lewat
kebijakan Mega-Hamzah di lanjutkan oleh SBY - JK yang sejak awal
menitikberatkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam negeri untuk
menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini ternyata pada
perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang dilimpahkan ke rakyat
dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Salah satu kebijakan dari rejim
Mega-Hamzah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat adalah
pencabutan subsidi sehingga menibulkan efek domino yang memicu tingkat kenaikan
harga bahan pokok. Selain itu di sektor industri terjadi “pengefesiensian”
akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi rasionalisasi
besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah meningkatnya jumlah
pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi kebijakan fiskal
ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi
hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah memberikan konsesi
yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan kedudukan sentral
terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada kasus-kasus
pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal inilah yang menjawab mengapa terjadi
represifitas yang begitu besar terhadap gerakan saat ini oleh aparat.
Gerakan Mahasiswa Kini |
Melihat
hal ini justru gerakan mahasiswa mengalami kemunduran dan menjadi terpisah
dengan basis massa rakyat lainnya. Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu
yang elitis dan cenderung tidak fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan
ekstra kampus yang masih mampu mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara
konsisten melakukan tuntutan terhadap rejim. Namun yang terjadi sekali lagi
adalah pengulangan sejarah, rejim Mega-Hamzah yang awalnya diharapkan mampu
bertindak lebih demokratis dan populis ternyata malah mempraktekkan kebijakan
yang sama dengan jaman Orde Baru berkuasa. Terjadi pemberangusan terhadap
nilai-nilai demokrasi di gerakan lewat penangkapan aktivis-aktivis demokrasi,
terjadi pengilusian terhadap gerakan mahasiswa oleh rejim dengan
mengkampanyekan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral semata. Artinya gerakan
mahasiswa cukup mengkritisi saja problema yang ada bukannya menjadi kelas
transisional terhadap kelas yang lain untuk memberikan transformasi kesadaran
ke hal yang lebih progresif dan menjelaskan kepada massa akan perlunya rakyat
mengambil alih pemerintahan sebagaimana selalu dikampanyekan oleh organ-organ
pro demokrasi –termasuk LMND.
Gerakan
mahasiswa menjadi gagap dalam merespon keadaan krisis ini berbeda dengan sektor
massa yang lain; Buruh, Tani, Kaum Miskin Kota yang tanpa dukungan dari
mahasiswa-pun ternyata mampu melakukan aksi dalam skala besar. Disinilah peran
pelopor gerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi
hal yang urgen. Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah kepeloporan dalam
hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa hingga menuju tataran
politis adalah konkretisasi kepeloporan yang dimaksud.
Maka
dari itu, sudah saatnya sebagai mahasiswa yang memperoleh identitas baru segera
bergerak, melangkah kedepan membuat sejarah dan menggoreskan perubahan, bukan
sekedar menyandang identitas sebagai mahasiswa yang dibubuhi kesibukan
Akademik. Karena kampus bukanlah masyarakat sebenarnya (real society) tetapi
merupakan masyarakat semu (virtual society) yang harus kita manfaatkan sebagai
wadah pembelajaran sebelum kita menikmati masyarakat yang nyata kedepan. Disini
kita bisa berdialektika guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.