Sejarah Kota Tua Jakarta, Jakarta,
Ibukota Republik Indonesia, memiliki banyak rekaman sejarah. Antara lain dalam
bentuk bangunan maupun lingkungan. Di dalamnya tercermin upaya masyarakat masa
lalu dalam membangun kotanya yang tak luput dari berbagai masalah dari zaman ke
zaman. Membahas
sejarah Kota Jakarta berarti kita akan pergi jauh kembali kemasa 500 tahun yang
lalu. Dimana pada saat itu kawasan ini masih baru terbentuk dari endapan lumpur
sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Misalnya Kali Ciliwung, Kali Angke,
Kali Marunda, Kali Cisadane, Kali Besar, Kali Bekasi dan Kali Citarum. Usia
dataran Jakarta kini diperkirakan 500 tahun berdasarkan geomorfologi, ilmu
lapisan tanah.
Sejarah Kota Tua Jakarta |
Endapan
ini membentuk dataran dengan alur-alur sungai yang menyerupai kipas. Dataran
ini setelah mantap lama kelamaan dihuni orang dan terbentuklah beberapa
kelompok pemukiman atau kampung-kampung disepanjang aliran sungai, kampung-kampung
ini ada yang bertahan sampai sekarang yang disebut Kampung Tua. Diantaranya
adalah Kampung Baandan, Kampung Orang Cina (Pecinan), Kampung Luar Batang,
Kampung Pekojan, Kampung Angke, Kampung Kebon Jeruk, dan masih banyak lagi.
Kampung-kampung ini telah banyak mengalami perubahan karena termakan waktu,
namun letak dan sisanya masih bisa disaksikan diera saat ini. di mana salah
satunya kemudian berkembang menjadi pelabuhan besar.
Di
beberapa tempat di Jakarta seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jatinegara, Karet,
Kebayoran, Kebon Sirih, Kebon Nanas, Cawang, Kebon Pala, Rawa Belong, Rawa
Lefe, Rawa Bangke, ditemukan benda-benda pra sejarah seperti kapak, beliung,
gurdi, dan pahat dari batu. Alat-alat tersebut berasal dari zaman batu atau
zaman neolitikum antara tahun 1000 SM. Jadi, pada masa itu sudah ada kehidupan
manusia di Jakarta. Keterangan
mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat
dikatakan sangat sedikit. Prasasti yang menceritakan tentang kota Jakarta pun
hampir tidak ada, karena memang daerah ini mungkin tidak pernah menjadi sebuah
pusat dari suatu kerajaan di masa lampau. Terbentuknya Kota Tua Jakarta diawali dengan munculnya sebuah
kerajaan yang bernama Padjadjaran, jauh sebelum dikenal Sunda Kalapa. Nama
Sunda Kalapa sendiri merupakan nama resmi tertua dari Kota Jakarta yang terdiri
atas dua unsur yaitu “Sunda” dan “Kalapa”. Bersamaan dengan perkembangan
kerajaan Padjadjaran, datanglah Bangsa Eropa pertama yang berhasil menginjakkan
kaki di Sunda Kalapa yaitu Portugis. Kedatangan Portugis pertama di Sunda
Kalapa pada tahun 1513 Masehi dibawah pimpinan De Alvin. Seiring dengan adanya
kerjasama antara kerajaan Padjadjaran dan Portugis, terjadi perkembangan yang
signifikan terhadap kekuasaan Portugis di Sunda Kalapa. Melihat perkembangan
kekuasaan Portugis yang begitu pesat, Kerajaan Demak dibantu oleh kerajaan
Cirebon melakukan penyerangan terhadap Sunda Kalapa dibawah pimpinan Pangeran
Fatahilah pada tahun 1526-1527. Dalam serangan tersebut Portugis berhasil
dikalahkan dan Sunda Kalapa berhasil direbut dari kekuasaan Portugis. Jatuhnya
Sunda Kalapa ke tangan Pangeran Fatahilah menandai berubahnya nama Sunda Kalapa
menjadi Jayakarta pada tahun 1527.
Secara garis besar sejarah
Kota jakarta dibagi menjadi tiga masa :
1.
Masa
kerajaan nusantara
2.
Masa
kolonial
3.
Masa
kemerdekaan
Masa Kerajaan Nusantara
Pada
686 Masehi. Kerajaan Tarumanegara hancur akibat serangan balatentara Kerajaan
Sriwijaya. Abad ke-14, Jakarta masuk ke wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran yang
sering disebut Kerajaan Pajajaran, atau Kerajaan Sunda. Laporan
para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang
tampaknya menjadi bandar utama dari enam bandar yang dimiliki oleh sebuah
kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40
kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Oleh orang Eropa
Bandar tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama Sunda Kalapa, karena berada
di bawah kekuasaan Sunda. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang
Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa.
Penguasa
Sunda Kalapa saat itu adalah Sanghyang Surawisesa anak dari raja kerjaan Sunda
Pajajaran Sri Baduga Ratu Jayadewa. Pada tahun 1513 dia diutus oleh ayahnya ke
Malaka yang saat itu telah dikuasai oleh Portugis untuk meminta bantuan dari
Alfonso d 'Albuquerque untuk menghadapi pengaruh yang berasal dari Kerajaan
Islam Demak dan Cirebon
Kemudian
baru pada tahun 1522 Portugis mengirim utusannya ke Kalapa dipimpin oleh
Enrique Leme. Enrique Leme dan Sanghyang Surawisesa mengadakan perjanjian
persahabatan dan monopoli perdagangan pala. Persahabatan Sunda-Portugis ini
ditandai dengan Padrao, sebuah monumen batu yang ditempatkan di garis pantai
pada tanggal 21 Agustus 1522. Kemudian Padrao batu itu ditemukan pada
tahun 1918, terkubur di bawah sebuah rumah di Jalan Cengkeh, dan sekarang telah
disimpan di Museum Fatahillah Jakarta. Lokasi Padrao menunjukkan garis
pantai pada masa pemerintahan sanghyang Surawisesa. Sedimen dari sungai
Ciliwung telah memindahkan garis pantai. Ketika Belanda menaklukkan Kalapa
100 tahun setelah masa Surawisesa, garis pantai telah berpindah hampir satu
kilometer ke utara dari Padrao. Menurut para sejarawan, diperkirakan
populasi kerajaan Sunda Pajajaran saat itu sekitar 150.000 orang dan 15.000 orang
tinggal di Sunda Kalapa. Gejolak
di Goa, India, mempengaruhi Portugis di Malaka sehingga mereka tidak dapat melaksanakan
janji mereka dengan segera untuk membangun sebuah benteng di Kalapa, seperti yang
dinyatakan dalam perjanjian tahun 1522.
Pada
tahun 1526, Sultan Demak mengirim ribuan
pasukan dari Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh menantunya sendiri Fadhillah
Khan (Fatahillah), seorang pangeran dari kerajaan Islam Samudera Pasai di utara
Sumatera, untuk menaklukkan penguasa Hindu Sunda Kalapa. Sebelum Sunda
Kalapa diinvasi, tentara Demak dan Cirebon berhasil menaklukkan kerajaan besar
dari Banten, sebelah barat Sunda Kalapa. Tahun 1527 Portugis mengirim
kapal ke Sunda Kalapa untuk membangun benteng tanpa mengetahui perubahan
situasi politik. Dalam perjalanan ke Sunda Kalapa, tiga kapal di bawah
komando Duarte Cuelho berpisah dari armada utama karena badai besar. Akhirnya
salah satu kapal Cuelho, sebuah brigantine diawaki oleh 30 orang, berhasil
mendarat di Teluk Jakarta dan langsung menerima serangan mendadak dari pasukan
Fatahillah. Kalah jumlah, tidak siap, dan kelelahan akibat badai besar ,
mereka dengan mudah dihabisi. Sisa dua kapal hanya bisa membantu dengan
rentetan tembakan meriam dan akhirnya
kembali ke Malaka. Setelah kemenangan itu, Fatahillah mengubah nama kota Sunda
Kalapa menjadi Jayakarta, artinya kemenangan yang berjaya. Hari kemenangan itu,
tepatnya tanggal 22 Juni, diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta saat
ini. Hal ini juga menandai berakhirnya kerajaan Hindu Sunda yang telah
kehilangan pelabuhan terakhirnya.
Tahun
1959 seorang Belanda yang bernama Cornelis de Houtman dengan empat kapalnya
tiba di pelabuhan Banten (Malaka), pelabuhan terbesar di Asia Tenggara saat itu. Mereka
membangun beberapa gudang-gudang kayu di Banten dan mendapatkan keuntungan besar
dari perdagangan rempah-rempah. Tapi segera situasi politik di Banten
tidak stabil dan Belanda mencari tempat lain untuk menyimpanan rempah-rempah
sebelum dikirim ke Eropa. Mereka melihat sebuah pelabuhan timur kecil
Banten, Jayakarta. Rabu
20 Maret 1602 seorang token dan negarawan Kerajaan Belanda, Johati van
Oldenbarneveld, mengambil suatu prakarsa mengumpulkan para pedagang Belanda
dalam suatu wadah. Berdirilah serikat dagang Verenigde Oost Indische Compaqnie
atau VOC. VOC merupakan wadah konglomerat zaman dulu.
VOC
datang ke Jayakarta pada 1608. Pada tahun 1610 VOC yang diwakili oleh L.
Hermite membuat kesepakatan dengan penguasa Jayakarta, (Pangeran Jayawikarta
penguasa ketiga Jayakarta setelah Fatahillah dan Tugabus Angke) isinya Belanda
diizinkan berdagang dan mendirikan loji pada sebidang tanah yang luasnya 50x50 vademen
setelah membayar 1200 real kepada Pangeran Jayawikarta. Namun baru setahun
kemudian J.P. Coen (ketika itu ia menjabat sebagai kepala perwakilan dagang VOC
di Jayakarta) membangun loji tersebut. Bangunan
loji yang dibangun J.P.Coen berukuran sekitar 40 x 14,4 m (556 meter persegi)
dibuat dari batu dan diberi nama "Nassau", berfungsi sebagai tempat
untuk menyimpan barang agar terhindar dari bahaya kebakaran dan serangan para
penjahat.
Sementara
itu Pangeran Jayawikarta juga mengizinkan pedagang Inggris untuk membangun
sebuah pondok kayu di tepi timur Sungai Ciliwung, berhadapan dengan benteng
Belanda. Ternyata hubungan dengan pihak Inggris tidak mendapatkan ‘restu’ dari
Pangeran Ranamenggala, Penguasa Banten. Situasai politik saat itu mulai memanas
antara Ranamenggala sebagai pemimpin tertinggi dan Jayawikarta. Setelah pembangunan loji
pertama tahun 1617, di sebelah gudang Nassau sejajar dengan Sungai Ciliwung
dibangun loji kedua dan diberi nama "Mauritius". Keduanya kemudian
dihubungkan dan diperkuat dengan tembok setinggi 9 kaki dan tebal 6-7 kaki di
sebelah timur dan utara, sehingga membentuk sebuah benteng pertahanan yang
kemudian diberi nama "Fort Jacatra". Ini menjadi benteng pertahanan
VOC yang pertama di Jayakarta, berfungsi untuk melindungi aset-aset VOC yang
ada didalamnya.
Pembangunan
Fort Jacatra adalah sebuah pelanggaran dari kesepakatan awal. Saat itu Pangeran
Jayawikarta sebenarnya hanya mengizinkan pondok kayu untuk pedagang
asing. Tapi malahan Belanda membangun benteng yang berukuran 150 × 150
meter persegi yang terdiri dari batu. Akhirnya Pada tahun 1619 pecah bentrokan
antara Belanda dan Inggris yang didukung oleh Jayawikarta. Meskipun dikelilingi
oleh pasukan Jayawikarta, Belanda mendapatkan keuntungan dengan dinding batu
yang telah dibangun dan menghadap ke laut, dan membuat mereka dipastikan tidak
akan pernah kekurangan logistik. Tapi pada akhirnya Inggris dan
Jayawikarta memenangkan pertempuran itu, suasana teluk Jayakarta saat itu
sekejab menjadi merah api dan merah darah, di laut teluk banyak bergelimpangan
mayat-mayat serdadu Belanda dan Inggris.
Belanda
kemudian melakukan propaganda dan kelicikan dengan menjajikan sejumlah
pembayaran kepada penguasa Banten Ranamenggala. Kemudian kesultanan Banten
mengirim kapal untuk menangkap Jayawikarta. Inggris tidak bersedia tunduk
kepada Banten dan tetap bertahan di Jayakarta, akhirnya Jayawikarta ditangkap
dan dibawa ke Banten untuk menerima hukuman. Masih ditahun yang sama Jan
Pieterszoon Coen datang dari Maluku dengan 16 kapal dan dua ribu tentara,
termasuk ratusan tentara bayaran Jepang (ronin) untuk menaklukkan
Jayakarta. Kota kecil yang terletak 500 meter dari garis pantai yang tidak
lagi memiliki penguasa, mudah diratakan dengan tanah. Hampir 10.000
penduduk Jayakarta sebagian besar orang Banten keluar dari wilayah Jayakarta,
sementar itu armada Inggris telah berlayar menuju Australia.
JP
Coen adalah seorang akuntan. Dia memberi nama Batavia untuk wilayah yang
baru ditaklukannya diambil dari Bataaf, sebuah daerah di Jerman tempat nenak
moyang orang Belanda. JP Coen adalah penguasa kejam, gaya yang mungkin
diperlukan saat itu karena Batavia selalu di bawah bayang-bayang invasi dari
tetangga yang bermusuhan, termasuk Banten. Coen membenci teman Eropanya
yang selalu mabuk, tapi ia menyukai ronins Jepang yang kemudian membantu
kehendaknya menaklukkan pulau Banda dan membantai ratusan penduduk asli pada
tahun 1621.
Masa Kolonial
Pada
masa ini Jayakarta memasuki lembaran baru, dasar-dasar tata kota Jakarta
seperti saat ini banyak dimulai pada masa ini. Awal masa kolonial ditandai
dengan pergantian nama kota oleh penguasa baru. Jan Pieterzoon Coen awalnya
ingin menamai daerah taklukannya dengan Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sesuai
nama kota kelahirannya di Belanda. Namun penguasa yang lebih tinggi di Belanda
menamakan tempat itu Batavia. Nama ini dipilih untuk mengenang suku bangsa
Germania yang disebut oleh C. J. Caesar dalam bukunya Bellum Gallicum (50
SM) - yaitu Batavir yang menghuni daerah di sekitar mulut Sungai
Rhein, yang dianggap leluhur orang Belanda. Orang-orang pribumi Batavia
dijuluki Batavianen (orang Batavia) yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi.
Orang Betawi sebenarnya adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan
bangsa.
Keadaan
alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka.
Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir.
Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar
500 meter dari bandar. Sebelum
membangun kota, JP Coen membangun benteng yang dikenal dengan nama
Kasteel van Batavia menggantikan Fort Jacatra yang saat itu
tidak mampu lagi menampung kegiatan dagang VOC. Benteng ini berfungsi
sebagai pusat pemerintahan Batavia. Juga berfungsi sebagai gudang,
kantor dagang, dan kantor perbendaharaan. Tempat kediaman dan kantor
pejabat tertinggi pemerintah VOC. Tempat ini merupakan simbol dari
masa-masa awal penancapan tonggak kekuasaan Belanda yang pertama di
Indonesia (Jawa). Juga merupakan tempat "serba guna", saat
raja-raja Jawa menerima penghormatan sekaligus juga pelecehan.
Luas
Kasteel van Batavia sekitar 9 kali Fort Jacatra, berbentuk segiempat
dengan panjang dari pintu daratan (landpoort) ke pintu air
(waterpoort) 290 treden, sedangkan lebarnya dari dinding barat ke dinding
timur 274 treden. Benteng ini memiliki empat bastion sudut atau kubu yang diberi nama Parrel (barat laut),Saphier (timur
laut), Robijn (tenggara) dan Diamant (barat daya). Keempat bastion itu dihubungkan oleh
dinding yang tinggi terbuat dari batu karang atau koral yang disebut courtine atau gordijn.
Pada keempat kubu tersebut ditempatkan meriam serta tentara untuk
menjaga kediaman para pejabat tinggi VOC serta barang-barang berharga
yang tersimpan di balik tembok kuatnya.
Pada
peta lama tergambarkan situasi tahun 1619, tampak bahwa dinding barat
Kasteel van Batavia berhimpitan dengan dinding benteng lama (Fort
Jacatra), sedangkan bastion Saphier dan Robijn masih menjorok
ke luar. Terdapat dua buah pintu masuk yaitu gerbang daratan
(landpoort) di sisi selatan dan gerbang air (waterpoort) di sisi
utara menghadap ke laut. Selain itu di dalam kasteel, tegak lurus
dengan gerbang daratan (landpoort) terdapat sebuah gerbang
yang disebut gerbang pinang (pinangpoort). Di dalam kasteel terdapat
sejumlah bangunan antara lain gubernemen, gedung pengadilan, loji,
gereja kasteel, kamar senjata, kamar pakaian, gudang manufaktur dan
toko obat.
Di
luar kasteel terdapat dua buah gerbang yaitu gerbang kolam (Vijverpoort)
di ujung bastion Parel dan gerbang Delft (Delftschepoort) di ujung
bastion Rabijn. Sedangkan di sebelah barat kasteel, antara bastion Parrel
dan Diamant terdapat rumah peristirahatan (Speelhuisje) gubernur
jenderal. Kasteel dikelilingi oleh parit atau grachten yang juga berfungsi
sebagai sarana pertahanan. Pada peta F. Otten yang menggambarkan
situasi tahun 1629 terlihat bahwa Kasteel van Batavia dipersenjatai
dengan sejumlah meriam berat ditempatkan di atas bastion maupun di
luar kasteel yang diarahkan ke seluruh penjuru. Sedangkan di sebelah utara
dan barat Kasteel terdapat pagar kayu yang rapat yang juga berfungsi
sebagai sarana pertahanan.
Tahun
1628 Kasteel van Batavia diuji ketangguhannya dengan kedatangan bala tentara
mataram yang mengepung dari seluruh penjuru dan menggunakan Tanah Abang sebagai
pangkalan, saat itu tanah abang merupakan daerah berbukit dan di sekitarnya
banyak digenangani rawa. Tanahnya merah atau Abang dalam bahasa Jawa, maka
lahirlah nama Tanah Abang yang berarti Tanah Merah. Wilayah Tanah Abang pada
waktu itu merupakan daerah perkebunan teh, kacang, jahe, melati, sirih, dan
lain-lain, yang sampai saat ini dijadikan nama suatu pemukiman di Jakarta
Pusat. Ternyata Kasteel van Batavia masih lebih tangguh dan berhasil mengusir
pulang tentara Mataram, tetapi akibat bagi VOC dari serangan ini adalah
tewasnya pimpinan mereka Jan Peterzoon Coen pada 21 september 1629.
Setelah
membangun Kasteel van Batavia, pembangunan kota Batavia dimulai. Pembangunan
kota Batavia mengikuti aliran sungai ciliwung sebelah selatan Kasteel van
Batavia, diawali dengan pembangunan pemukiman ‘elite’ disebelah timur aliran
sungai, termaksud pembangunan Stadhuis (museum Fatahillah sekarang) atau kantor
pemerintahan VOC yang baru dibangun pada 1707 dan beberapa gedung lainnya.
Kemudian pada tahun 1635 diperluas ke sebelah barat sungai Ciliwung diatas
bekas kota Jayakarta yang hancur. Bagian barat ini merupakan tempat pemukiman
golongan rendahan, orang Portugis, dan orang Cina. Kota ini dirancang lengkap
dengan sistem pertahannya berupa tembok dan parit sekeliling kota. Tata ruang
kota dibagi kedalam blok-blok yang dipisahkan oleh kanal. Pembangunan kota
Batavia selesai pada tahun 1650.
Kota
Batavia merupakan kota benteng karena dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Di
luar tembok dihuni oleh orang-orang Jawa, Makassar, Bugis, Ambon, Cina dan
lain-lain. Mereka adalah petani sayur, pedagang kecil dan para tukang
(mula-mula hanya bagian selatan tembok saja, tetapi kemudian mereka menyebar
sampai di Tangerang dan di Bekasi). Di tempat yang baru ini kemudian didirikan
penggilingan tebu. Di sebelah timur kota terdapat kubu pertahanan Ancol, Agak
ke arah barat terdapat Bacherantsgracht, yang airnya mengalir ke arah
Angke. Di sebelah selatan terdapat pos keamanan Rijswijk (kira-kira dekat bekas
gedung Harmoni). Ada lagi pos keamanan Noordwijk yang terletak di Pintu Air. Di
ujung selatan terdapat kubu pertahanan Meester Cornelis (Jatinegara).
Batavia
sebagai wilayah residentie terbagi 3 daerah (Ajdeling), yaitu : de Stad en
Voorsteden (Kota dan Kota Pelabuhan), Buiten de Stad (Luar Kota) dan Ommelanden
(sekitar Batavia) . Wilayah Batavia yang masih dikelilingi rawa-rawa itu, pada
pertengahan abad ke-19 terbagi menjadi 4 Ajdeling yaitu: Stad en Voorsteden
(bagian utara), Meester Cornelis (bagian timur), Tangerang (bagian barat), dan
Buitenzorg (bagian selatan).
Pada
tahun 1648 Kapitein der Chinezen (kepala warga Cina di Betawi) Phoa Beng Gan
atau yang lebih dikenal dengan nama Beng Gan mendapat izin dari VOC untuk
membuat kali dari Harmoni ke utara. Kemudian terkenal dengan nama Molenvliet (sepanjang
Jl. Hayam Wuruk - Jl. Gajah Mada sekarang) dan memungut tol dari sampan-sampan
yang lewat di sana, tahun 1654 diambil alih Kompeni dengan harga 1.000 real. Fungsinya
untuk menghanyutkan kayu bakar dan lain-lain dari daerah "dekat
hutan" (di sekitar bekas gedung Harmoni) ke Kota. Penggaliannya dimulai
dari Harmoni dan
berakhir di pos keamanan "Bantenburg" yang letaknya kira-kira di
dekat Glodok elektronik center sekarang. Dikali ini juga sering diselenggarakan
perayaan tahunan pek cun atau peh cun, yakni perayaan perahu berhias bagi orang
Cina. Kini, air sungai sudah keruh ketika mencapai Jakarta, karena daerah
alirannya merupakan tempat pembuangan limbah. Akibatnya, dasar sungai itu
semakin dangkal dan alirannya semakin lambat.
Pada
waktu itu di sekitar lapangan Glodok terdapat banyak kincir pembuat
mesiu, Kertas dan
lain lainnya. Setelah di galinya Molenvliet. Di sepanjang kedua tepinya, dari
utara ke selatan, bemunculanlah bangunan gedung-gedung indah. Diantaranya ialah
gedung Arsip Nasional sekarang. Kearah selatan lagi berdiri gedung Weeskamer
(Balai Harta Peninggalan). Weeskamer ini tadinya bernama
"Berendregt", mengingatkan orang pada nama jalan raya
"Berendrechtlaan" (sekarang jalan Batuceper). Di bagian selatan
Molenvliet, sebagaimanan telah di sebutkan, tedapat pos keamanan
"Rijswijk". Agak di belakang Rijswijk, di dekat pabrik es Petojo, ada
dua pos penjagaan bernama "Apenwacht" atau "Jaga Monyet".
Rupanya inilah yang menyebabkan daerah itu sekarang disebut Jaga Monyet.
Dari
pos "Rijswijk" ada jalan menuju ke timur, kearah pos "Noordwijk"
di Pintu Air. Jalan ini mula-mula di sebut " jalan menuju ke Norrdwijk
", tetapi kemudian sejak pemerintahan Inggris dinamakan
"Noordwijk" saja. Sekarang jalan tersebut bernama jalan Ir. H.
Juanda. Jalan di sepanjang Norrdwijk pada waktu itu belum di keraskan, tetapi
di sepanjang tepinya sudah banyak berdiri gedung-gedung yang bagus. Kanal yang
diapit oleh jalan Noordwijk dan Rijswijk (jalan Veteran) digali oleh Belanda
untuk menghubungkan Molenvliet dengan Kali Ciliwung. Maksudnya bukanlah untuk
meningkatkan lalulintas diatas kanal-kanal itu, melainkan untuk memberi
kekuatan agar air kanal Molenvliet dapat lebih deras lagi mengalir sehubungan
dengan adanya kincir kincir kompeni yang dijalankan oleh kekuatan air di dekat
Glodok.
Pos
Noordwijk sebenarnya didirikan untuk mengawasi hewan ternak di padang rumput
milik tuan tanah Anthony Pavilijoen. Padang rumput itu di namakan
"Pavilijoensveld", letaknya kira-kira lapangan Banteng sekarang.
Pada
tahun 1740 orang-orang Cina di Batavia melakukan pemberontakan terhadap
Belanda. Oleh Belanda pemberontakan
ini ditindas dengan sangat kejam. Mayat orang Cina bergelimpangan di sepanjang
jalan dan kanal Molenvliet berubah warnanya menjadi merah darah dan mayat mayat
mengapung diatasnya. Banyak gedung dibakar oleh pemberontak, tapi banyak juga
rumah orang Cina yang di bakar oleh Belanda. Pemberontakan ini membuat warga
Cina terusir dari dalam tembok kota dan terisolir di kawasan Glodok saat ini. Setelah
pemberontakan di padamkan, di sepanjang Molenvliet, kompeni mendirikan Benteng pertahanan
yang kuat dan di perlengkapi dengan meriam. Sampai beberapa waktu yang lalu
didekat jembatan pabrik es Petojo, masih terdapan bangunan peninggalannya,
berupa bekas tangsi serdadu Belanda.
Sampai
abad ke-19 air Kali Ciliwung oleh orang Belanda digunakan sebagai air minum.
Air kali mula-mula ditampung di dalam semacam waduk (waterplaats atau aquada),
yang dibangun dekat Benteng Jacatra, bagian utara kota, kemudian dipindahkan ke
tepi Molenvliet sekitar daerah Medan Glodok. Waduk dilengkapi dengan
pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian kira-kira 10 kaki
(kurang dari 3 m), sehingga daerah sekitarnya oleh orang Betawi dinamakan
Pancuran.
Pada
tahun 1740 air sungai Ciliwung sudah dianggap tidak sehat karena segala sampah
dan buangan air limbah rumah sakit dialirkan ke sungai. Banyak pasien menderita
disentri dan kolera. Air minum yang kurang bersih ini menyebabkan angka
kematian yang sangat tinggi di antara warga Batavia. Sebaliknya kebanyakan
orang Cina yang minum teh jarang terjangkit penyakit akibat air. Menyadari hal
ini banyak arang Belanda makan daun teh agar tetap sehat. Tentu saja usaha ini
tidak berhasil. Pada akhir abad ke18, Dokter c.p Thunberg masih meresepkan daun
teh daripada air teh yang dimasak. Pada zaman itu belum diketahui bahwa kuman
dalam air akan mati kalau airnya dimasak sampai mendidih.
Di
tahun 1760, penduduk Kasteel Batavia mencapai 16.000 jiwa, tahun
1778 tinggal 2.000, dan tahun 1790 tersisa 8.000 jiwa. Merosotnya
jumlah penduduk disebabkan karena muncul wabah penyakit yang
menyebabkan banyak orang mati. Selama kurang lebih 30 tahun sejak
tahun 1760, daerah sekitar Kasteel Batavia benar-benar menjadi
kota maut yang makin lama makin banyak ditinggalkan
penghuninya sehingga banyak rumah kosong yang berhantu.
Walaupun
sedang diselimuti wabah penyakit, keindahan kota ini tidak dapat ditutupi. Pada
tahun 1770 penjelajah legendaris asal Inggris yaitu James Cook menyambangi kota
ini maka ia pun sontak terpesona lalu menjulukinya sebagai "The Pearl of
Orient" atau "Mutiara dari Timur". Cook terpukau dengan
keindahan bangunan dan struktur tata ruang kota ini yang dianggap mirip Kota
Amsterdam di negeri Belanda. Kota ini memang dipersiapkan untuk menjadi salinan
ibu kota negeri kincir angin tersebut sehingga dilabeli
sebagai "Koningen van Oosten" atau "Ratu dari
Timur".
Tahun
1799 VOC jatuh dan dibubarkan. Kekuasaan, harta benda dan utangnya yang 134,7 juta
gulden diambil alih Pemerintahan Kerajaan Belanda. Rabu, 1 Januari 1800,
Indonesia sejak itu diperintah langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Suatu
majelis untuk urusan jajahan Asia lalu didirikan. Keadaan didalam tembok kota
yang semakin pengap, membuat penduduk berpindah keluar tembok, terutama ke
daerah Weltevreden atau biasa disebut pula sebagai Batavia baru (daerah Jakarta
Pusat saat ini). Pusat pemerintahan Hindia Belanda pun dipindahkan ke daerah
itu. Pada awalnya di daerah Weltevreden ini hanya terdapat satu bangunan, yaitu
Istana Rijswijk (Istana Negara saat ini). Gedung yang mulai dibangun 1796 pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dan
selesai 1804 pada
masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes
Siberg ini semula merupakan rumah peristirahatan luar kota milik
pengusaha Belanda, J A Van Braam. Kala itu kawasan yang belakangan dikenal
dengan nama Harmoni memang merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru.
Pada
tahun 1820 rumah
peristirahatan van Braam ini disewa dan kemudian dibeli (1821) oleh pemerintah
kolonial untuk digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta tempat
tinggal para gubernur jenderal bila berurusan di Batavia. Para gubernur
jenderal waktu itu kebanyakan memang memilih tinggal di Istana Bogor yang
lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang mereka harus turun ke Batavia, khususnya
untuk menghadiri pertemuan Dewan Hindia, setiap Rabu.
Rumah
van Braam dipilih untuk kepala koloni, karena Istana Daendels di Lapangan
Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu
hanya dipergunakan untuk kantor pemerintah. Selama masa pemerintahan
Hindia Belanda, beberapa peristiwa penting terjadi di gedung yang dikenal
sebagai Istana Rijswijk (namun resminya disebut Hotel van den
Gouverneur-Generaal, untuk menghindari kata Istana) ini. Di antaranya menjadi
saksi ketika sistem tanam paksa atau cultuur
stelsel ditetapkan Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch. Lalu penandatanganan Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947, yang pihak Indonesia
diwakili oleh Sutan Syahrir dan pihak Belanda diwakili
oleh H.J. van Mook.
Perpindahan
penduduk ke arah selatan bertambah besar setelah Gubernur Jenderal van Imhoff
(1743) memberi contoh dengan mendirikan gedung di Buitenzorg (di Kota Bogor),
yang di kemudian hari diresmikan sebagai istana Gubernur Jendral. Pada akhir
abad ke19 dan awal abad ke-20 terjadi peningkatan jumlah kedatangan orang
Belanda dan orang Eropa lainnya ke Hindia Belanda. Hal tersebut memberi warna
tersendiri bagi Kota (Batavia) terutama bergaya lebih Eropa, terlihat dari
rumah-rumah yang dibangun. Kawasan Weltevreden telah dibangun seluruhnya, sehingga
pemerintah kotapraja Batavia mulai mengembangkannya ke arah selatan dengan
membeli tanah partikulir Menteng (1908) dan Gondangdia (1920). Kemudian pada
tahun 1935, dikeluarkan suatu ordonansi yang termuat dalam Stb. 1934 no. 687
yang mulai berlaku 11 Januari 1935 mengenai perluasan daerah administratif
Batavia.Stadgemeente Meester Cornelis (Jatinegara) dibubarkan dan
diintegrasi ke wilayah Batavia. Pada tahun 1930-an Batavia berkembang menjadi
suatu kota kolonial modern (een moderne koloniale stad).
Sejak
abad ke 18 peranan Batavia telah berubah dari kota pelabuhan pengumpul
rempah-rempah menjadi ibukota dan pusat kekuatan kolonial yang secara langsung
mengontrol wilayah Indonesia. Kemudian Tanjung Priok dibangun sebagai pelabuhan
yang baru menggantikan Pasar Ikan sebagai pelabuhan lama. Pada abad ke-19,
perkembangan Kota Batavia terjadi sekitar 3 mil ke selatan Gambir, sepanjang
Ciliwung, Jatinegara yang antara lain disebabkan kondisi sanitasi dan banjir
yang sering menggenangi Weltevreden, sehingga para pejabat senior pemerintah
Hindia Belanda dan keluarganya pindah ke sana. Untuk mengontrol banjir dibangun
dua kanal: di sebelah barat (Kanaal Barat) dan di sebelah timur (Gunung Sahari
Kanaal). Karena itu nampak jelas Batavia membentuk suatu pola lineal perkembangan
urban dari utara ke selatan mengikuti Kanaal Ancol dan Kali Ciliwung,
panjangnya sekitar 10 mil.
Dalam
perkembangannya, Batavia terpisah menjadi tiga bagian terdiri atas (1) bagian
utara (Batavia Lama) terkenal sebagai pusat perdagangan besar beljalan; (2)
bagian tengah (Batavia Centrum) meliputi Noordwijk, Rijswijk, Pasar Baru,
daerah kota yang terletak di tengah ini sangat dipengaruhi proses urbanisasi;
(3) bagian sebelah selatan yang dimulai kira-kira pada batas utara Koningsplein
merupakan perkampungan rumah tinggal. Selain pembagian tiga daerah tersebut
terdapat pembagian "Kota Atas", atau "Kota Pemukiman" dan
"Kota Bawah".Wilayah pusat merupakan wilayah permukiman elit
pemerintah kolonial Belanda, sedangkan pusat perdagangan didiami oleh orang
Cina dan Timur Asing lainnya seperti Arab dan India. Kawasan pinggiran adalah
kawasan bumi putra. Kawasan pinggir kota lebih menyerap pendatang dan perantau
yang mengalir dari berbagai kawasan di Hindia Belanda. Arus urbanisasi ini pada
umumnya melalui saluran famili, kerabat dan teman sekampung.
Kota
Batavia terdiri dari 17 distrik dan 2599 desa. Setiap daerah di Batavia terbagi
menjadi blok-blok, seperti Blok A, Blok B, Blok C. Dan seterusnya, yang
dikepalai oleh seorang wijkmeester (semacam kepala desa atau bek). Dari akhir
abad ke-17 sampai akhir abad ke-18 keadaan Kota Batavia dikatakan sebagai:
beriklim buruk, kabutnya beracun, dan paritnya tercemar. Banyak
penyakit-penyakit aneh dengan nama yang seram-seram seperti: remitterende
rotkoorsten (demam maut), roode loop (berak-berak
merah), febres ardentes, malignae et putridaedan mort de
chien (demam parah, jahat dan busuk, dan mati mendadak).
Berdasarkan
ciri-cirinya, Kota Batavia yang modern dapat digolongkan ke dalam 4 bagian,
namun dengan batas antar bagian yang tidak tajam yaitu Kawasan Kota Tua (oude
Beneden Stad termasuk Molenvliet), Weltevreden (yang disebut
Batavia-Centrum), Jalan Raya Kramat-Salemba-Matraman (termasuk Meester
Cornelis), bagian Batavia yang paling modern yakni Gondangdia Baru dan Menteng.
Pada tahun 1942, kekuasaan Belanda berakhir setelah masuknya tentara pendudukan
Jepang. Pada masa gencar-gencarnya usaha pemerintah pendudukan Jepang
menghancurkan pengaruh Eropa, segala yang berbau Eropa dilarang, nama
Batavia pun diganti lagi dengan Jakarta.
Mereka
membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan
kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan.
Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa
penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih
tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden.
VOC
mula-mula menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Dengan
kepiawaian kompeni lewat intrik dan politik adu domba atau cfewtte et impera
terhadap raja-raja di Nusantara. Seluruh wilayah Nusantara dijarahnya.
Kejayaannya pun berlangsung cukup lama.
Namun,
awal Maret 1942, Kerajaan Jepang merebut kekuasaan dari Kerajaan Belanda pada
Perang Dunia ke-2. Nama Batavia dikubur balatentara Kerajaan Jepang. Dan, nama
Jakarta menggantikannya sampai sekarang. (sumber : majalah amanah)
Dalam
peta lama Batavia, Stadhuis ini terletak di selatan stadhuisplein (lapangan
Balaikota). Di timur berbatasan dengan Tijgersgracht atau terusan macan yang
kini dikenal sebagai Jalan Lada dan Jalan Pos Kota (depan Gedung Imigrasi,
Museum Seni Rupa dan Keramik serta Gedung BNI 46) . Di bagian barat berbatasan
dengan De Binnen Nieuw Poortstraat, sekarang Jalan Pintu Besar Utara.
Sebagai
pusat pemerintahan kala itu, di sekitar kawasan Stadhuis banyak berdiri
gedung-gedung lain, dari mulai tempat ibadah hingga perkantoran.
Bangunan-bangunan tua itu sampai sekarang masih berdiri meskipun beberapa
diantaranya mulai rapuh digerus zaman.
sumber:
bajuanak-tanahabang
Museum Bank Mandiri (ex-NHM
Building)
“Nederlandsche
Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia adalah Badan operasi sistem
tanam paksa yang merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut” (Alwi Shahab:
Saudagar Baghdad dari Betawi, hal. 135) Denasionalisasi pada tahun 1960 menjadi salah
satu gedung kantor Bank Koperasi Tani
& Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor, kemudian bersamaan dengan lahirnya
Bank Ekspor ImporIndonesia (BankExim)
pada 31-12-1968, gedung tsb pun beralih menjadi Kantor Pusat BankExim, hingga
akhirnya legal merger BankExim bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya
(BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri (1999),
maka gedung tsb pun menjadi Asset BCB
Bank Mandiri yang sekarang dimanfaatkan sebagai Museum Bank Mandiri.
Museum
Bank Mandiri terletak di Jl. Lapangan Stasiun No. 1 Jakarta-Kota, Bangunannya
menempati area seluas 10.039 m2, Bangunan Nederlandsche Handel Maatschappij
(NHM) dirancang Arsitek Belanda yaitu J.J.J de
Bruyn dan A.P. Smits dan C. van de Linde, Gedung ini mulai dibangun tahun 1929
tanggal 14 Januari 1933 Oleh C.J Karel Van Aalst, Presiden NHM ke-10. Gedung
ex-NHM ini tampak kokoh dan megah dengan Arsitektur Niew
Zakelijk atau Art Deco Klasik, Museum Bank Mandiri menyimpan banyak koleksi
berbagai macam jenis blanko dan barang-barang yang ada kaitannya dengan Bank tempo
doeloe.
Museum
Wayang Gedung ini awalnya bernama Gereja Lama Belanda (De Oude Hollandsche
Kerk) dibangun pada tahun 1640 M. Pada tahun 1732 M, gedung ini diperbaiki dan
berganti nama menjadi Gereja Belanda Baru (De Nieuwe Hollandsche Kerk). Namun,
terjadi gempa bumi pada tahun 1808 M yang menyebabkan sebagian bangunan ini
hancur. Kemudian dibangun lagi pada Tahun 1912, dan dijual oleh pemerintah
Hindia Belanda kepada sebuah perusahaan yang bernama Geo Wehry & Co serta
dijadikan kantor hingga tahun 1934. Pada tahun 1936, kepemilikan gedung ini
berpindah lagi setelah dibeli oleh sebuah Lembaga Ilmu Pengetahuan, Seni dan
Budaya di Batavia milik pemerintah Belanda. Baru pada tahun 1957, gedung ini
diserahkan pada Lembaga Kebudayaan Indonesia dan secara resmi dijadikan Museum
Wayang pada tanggal 13 Agustus 1975.
Kalibesar
Kalibesar
merupakan nama jalan di daerah Jakarta Utara. Letaknya tidak jauh dari Museum
Sejarah Jakarta. Dengan berjalan kaki dari Museum Sejarah Jakarta, kita hanya
membutuhkan waktu lima menit saja untuk mencapai jalan Kalibesar ini. Dulu pada
abad ke-17, Jalan Kalibesar terkenal sebagai daerah pusat bisnis perdagangan
yang cukup terkenal dan bergengsi. Jalan Kalibesar ini biasa disebut
Grootegracht yang artinya kali besar, karena di jalan tersebut terdapat kali
yang diapit jalan dan bangunan. Selain pusat bisnis perdagangan, di Jalan
Kalibesar juga banyak terdapat rumah penduduk Cina. Kali itu sendiri menjadi
jalur lalu lintas kapal bongkar muat barang. Hingga akhirnya pada tahun 1740, terjadi
kerusuhan di Jalan Kalibesar dan banyak rumah penduduk dibakar.
Pada
tahun 1870, Jalan Kalibesar dibangun kembali. Di Jalan Kalibesar terdapat
bangunan berlantai dua dan berwarna merah. Nggak heran kalau bangunan ini
disebut Toko Merah. Bangunan ini sangat terkenal pada zaman dulu karena pernah
ditinggali oleh beberapa Gubernur Jenderal VOC. Saat ini bangunan Toko Merah
masih berdiri kokoh dan digunakan sebagai perkantoran.
Awalnya
areal kota Batavia seluas 139 hektar tetapi kemudian diperluas menjadi 846
hektar dimana termasuk di dalamnya Pelabuhan Sunda Kelapa, Pasar Ikan, hingga
ke arah selatan yaitu Pecinan Glodok. Akan tetapi, wilayah inti
kawasan kota tua sendiri meliputi Bangunan Balaikota atau Museum Fatahillah
serta sekitarnya.