Sejarah dan Kebudayaan Suku Baduy - Suku Baduy adalah suatu
kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang
diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari
sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok
Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di
bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri
sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka,
atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
(Garna, 1993).
Sejarah dan Kebudayaan Suku Baduy |
A. Sejarah Asal Usul Suku Baduy
Sebutan
"Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang
Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu
kepada nama kampung mereka seperti Urang
Cibeo (Garna, 1993).
Konon pada
sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan
yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu
yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu
Siliwangi. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam
yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali
Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai
Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit
dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja
beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk
hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan
tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku
Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir
dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan
kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih
keneh sa wangatua” Artinya : “jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug
),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung,
lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun
keluarga yang masih satu turunan“
Keturunan
ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo (Baduy Dalam) dengan
cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala
putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan
sifat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi amanah, kuat terhadap Hukum
adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
Versi lain
menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari
Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah
Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus
putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan
agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu
Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten
memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai ,
maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya
tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut
GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan
Keturunan
ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama
dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak
bicara (hanya seperlunya), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima
bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau
dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua
(diatas lutut).
Ada juga
yang mengatakan bahwa yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran
suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan,
Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari
orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk
Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh
perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah
perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang
tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang
kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah
kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan
cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar
mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang
masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap
di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan
Leuwidamar kabupaten Lebak dengan ciri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat
kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang
berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap
terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat
terhadap Hukum adat.
Suku Baduy
berasal dari daerah di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya
sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara
berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda Sebutan bagi suku
Baduy terdiri dari:
1. Suku Baduy
Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu (Kepuunan) yakni
Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
2. Suku Baduy
Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di
27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan
Puuun (kepala adat).
3. Suku Baduy
Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama
Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak
mengikuti Hukum adat.
B. Lokasi Dan
Tempat Demografi Suku Baduy
Baduy yang
berlokasi di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung Banten
terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik, Cibeo,dan Cikertawana.dan terbagi atas
abaduy luar dan baduy dalam.Daerah yang berluas 138 ha, terdiri atas 117 kk
yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau rumah panggung,
sedangkan rumah kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap
keselatan.Masyarakat suku baduy yang berpenduduk kurang lebih 10 ribu jiwa ini
tinggal di wilayah yang berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan memilki
lembah yang curam sedang, sampai curam sekali. Berdasarkan hasil pengukuran
langsung di lapangan wilayah-wilayah pemukiman baduy rata-rata terletak pada
ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah pemukiman di daerah yang
cukup rendah 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang cukuop tinggi
pada ketinggian 400 m diatas permukaaan laut.
Lokasi Dan Tempat Demografi Suku Baduy |
Wilayah
Baduy itu berdasarkan lokasi geografinya terletak pada 60 27’ 27” – 60 30’ LU
dan 1080 3’ 9” – 1060 4’ 55” BT. wilayahnya berbukit – bukit dengan rata –rata
terlelak pada ketinggian 250m diatas permukaan laut.
1. Asal
Muasal Sejarah Tempat Suku Baduy
Mengenai
asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari
Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal
usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang
pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga
Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni
dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat
yang pertama kali ada di dunia.
Pendapat
lainnya yang membuktikan orang Baduy manusia tertua setidaknya di Pulau Jawa ,
berdasarkan bukti-bukti prasejarah dan sejarah, punden berundak Lebak Sibedug
di Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa neolitik, memiliki
kesamaan simetris dengan peninggalan yang sama dengan piramida di Mesir dan
Kuil Mancu Pichu di Peru ribuan tahun silam.
Sedangkan
Arca Domas hingga kini masih misterius, terletak disebelah selatan Cikeusik
dihulu sungai Ciujung, pegunungan Kendeng. bagian selatan dan dipublikasikan
pertamakali oleh Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864 (Djoewisno,
1987). Arca domas adalah menhir berukuran besar diatas punden berundak paling
atas. Bangunan punden berundak ini juga dilengkapi menhir lainnya. Mereka
percaya arca domas adalah lambang Batara Tunggal tempat dimana roh diciptakan
dan berkumpul. Selain itu arca domas merupakan pusat bumi dan asal muasal
manusia diturunkan ke bumi dan menjadi nenek moyang orang Baduy. Karena itu
arca domas merupakan daerah larangan yang tidak boleh dimasuki orang luar
(purwitasari,2000)
Asal-usul
orang Baduy tersebut berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang
mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa
prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat
mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal keberadaannya. Masyarakat Baduy
dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan
Pajajaran pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu.
Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran,
yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan
dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu,
dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman.
Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk
Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga
dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng
tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,
identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran
2. Bahasa Suku Baduy
Bahasa
yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka
lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun
mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes
‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama,
dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
C. Kelompok Masyarakat Suku
Baduy
Masyarakat
Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan
dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai
Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah
pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.
Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang
tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna
hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka
“Baduy Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh
dari luar (Permana, 2001).
1. StrukturPemerintahan Suku Baduy
Masyarakat
Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti
aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa
yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara
adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”. Struktur
pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada
Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah “puun” yang ada di tiga kampung
tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari
bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun
tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan
tersebut.
Pelaksanaan
sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang
dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan,
dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat
pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas
menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan
di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3
orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas
ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat
bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah
nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur
atau tetua kampung (Makmur, 2001).
2. Sistem
Pemerintahan Suku Baduy
Orang Baduy
menganggap dirinya sebagai keturunan jauh dari 7 Batara atau Dewa, yang
dikierim ke dunia di Sasaka Pusaka Buana oleh Batara Batara tunggal. Mereka
membagikan diri kedalam beberapa kelompok berdasarkan keturunan mereka. Karena
itu mereka hidup dalam pemukiman yang berbeda. Ada 3 pemukiman di Tangtu (
daerah bagian dalam ), yaitu Cibeo,Cikeusek, dan Cikartawana.Setiap daerah
pemuk,iman memiliki puun sendiri yang secara adapt memiliki tugas khusus dan
mengadakan hubungan dengan sejumlah pemukiman di Dangka (daerah bagian luar
Baduy).Setiap pemukiman luar memiliki pemimpin sendiri yang disebut Jaro.
Seluruh organisasi ini disebut “Masyarakat tiga Tangtu dan tujuh Jaro”. Dengan
semakin banyak penduduk ada juga orang Baduy yang kini tinggal diluar tata
susun resmi, yaitu di pemukiman tambahan yang disebut penamping atau pajaroan.
Masyarakat
Baduy mengenal dua sistem pemerintahan yaitu sistem nasional dan sistem adat.
dalam sistem nasional, masyarakat baduy termasuk ke dalam wilayah Desa Kanekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. di daerah baduy terdapat
sejumlah kampung yang terbagi menjadi kampung tangtu, kampung panamping dan
kampung dangka. selain kampung tangtu juga terdapat rukun kampung yang disebut
kokolotan lembur.
Desa Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut jaro pamarentah yang berada di bawah
camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan
tradisional (adat) yang disebut puun. yang membedakan dengan kepala desa
lainnya adalah kepala desa Kanekes tidak dipilih oleh warga, tetapi ditunjuk
oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk
dikukuhkan sebagai kepala desa. untuk saat ini yang menjabat sebagai jaro
pamarentah adalah Jaro Dainah.
Secara
tradisional pemerintahan pada masyarakat baduy bersorak kesukuan dan disebut
kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Ada tiga orang puun di
wilayah baduy yaitu puun Cikeusik, puun Cibeo dan puun Cikertawana. puun-puun
tersebut merupakan “tri tunggal”. selain berkuasa di wilayah masing-masing,
mereka secara bersama-sama juga memegang kekuasaan pemerintahan tradisional
masyarakat baduy. walaupun merupakan satu kesatuan, ketiga puun tersebut
mempunyai wewenang tugas yang berlainan. wewenang puun Cikeusik adalah
menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat yang menentukan
pelaksanaan upacara-upacara adat (seren taun, kawalu dan seba). dan memutuskan
hukuman bagi pelanggar adat.
Wewenang
kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu di kawasan baduy,
termasuk pada urusan administrator tertib wilayah, pelintas batas dan
berhubungan dengan daerah luar. sedangkan wewenang kapuunan Cikertawana
menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan atau sebagai badan
pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan
dengan kawasan baduy.
Dalam
lembaga kapuunan terdapat beberapa jabatan yang masing-masing jabatan memegang
dan bertanggung jawab pada urusan khas. berikut ini akan diuraikan
masing-masing jabatan dalam lembaga kapuunan tersebut
Puun
Puun merupakan
jabatan tertinggi dalam wilayah tangtu. menurut pikukuh “peraturan adat”
jabatan puun berlangsung turun temurun, kecuali bila ada hal yang tidak
memungkinkan. sehubungan dengan hal tersebut jabatan puun bisa diwariskan
kepada keturunannya atau kerabat dekatnya. lama jabatan puun tidak ditentukan.
jangka waktu jabatan pada dasarnya ditentukan oleh kemampuan seseorang memegang
jabatan puun. ada yang menjabat sampai tutup usia, namun kebanyakan akan mengundurkan
diri karena usia tua.
Girang Seurat
Girang
seurat atau kadang disebut seurat merupakan jabatan tertinggi kedua setelah
puun yang melaksanakan tugas sebagai “sekertaris” puun atau pemangku adat, juga
bertugas mengurus huma serang “ladang bersama” dan menjadi penghubung dan
pembantu utama puun. setiap orang yang ingin menghadap atau bertemu puun harus
melalui girang seurat. tamu dari luar lebih dihadapi oleh girang seurat yang
mewakili puun. sebagai pembantu puun, girang seurat hanya ada di tangtu
Cikeusik dan Cibeo, sedangkan di Cikertawana tugas yang sama dipegang oleh
kokolot “tetua kampung”.
Baresan
Baresan
adalah semacam petugas keamanan kampung yang bertugas dan bertanggungjawab
dalam bidang keamanan dan ketertiban. mereka termasuk dalam anggota sidang
kapuunan atau semacam majelis yang beranggotakan sebelas orang di Cikeusik,
sembilan orang di Cibeo dan lima orang di Cikertawana. mereka juga dapat
menggantikan puun menerima tamu yang akan menginap dan dalam berbagai upacara
adat.
Jaro
Jaro
merupakan pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan. tugas jaro sangat
berat karena meliputi segala macam urusan. di baduy dikenal empat jabatan jaro
yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan dan jaro pamarentah. Jaro
tangtu bertugas sebagai pengawas dalam pelaksanaa hukum adat warga tangtu. Ia
bekerja sama dengan girang seurat mendampingi puun dalam pelaksanaan upacara
adat atau menjadi utusan kepala desa ke luar desa Kanekes. Jaro Dangka bertugas
menjaga, mengurus dan memelihara tanah titipan leluhur yang berada di dalam dan
di luar Desa Kanekes. Ia juga bertugas menyadarkan kembali warga tangtu yang
dibuang karena melanggar adat. jaro dangka berjumlah sembilan orang, tujuh
orang berada di luar desa Kanekes dan dua lainnya berada di dalam desa.
Kesembilan jaro ditambah dengan tiga orang jaro tangtu disebut dengan jaro
duabelas yang dikepalai oleh salah seorang diantara mereka. pemimpin jaro
duabelas ini disebut jaro tanggungan dua belas.
Jaro
pamarentah bertugas sebagai penghubung pemerintahan adat dan masyarakat baduy
dengan pemerintah dan bertindak sebagai kepala desa Kanekes yang berkedudukan
di Kaduketug. Dalam tugas jaro pamarentah dibantu oleh pangiwa, carik, dan
kokolot lembur.
Palawari
Palawari
merupakan kelompok khusus - semacam panitia tetap - yang bertugas sebagai
pembantu, pesuruh dan perantara dalam berbagai kegiatan upacara adat. mereka
mendapat tugas dari tangkesan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persiapan
dan pelaksanaan suatu upacara adat, yakni menyediakan makanan untuk semua
petugas dan warga yang terlibat dalam upacara tersebut.
Tangkesan
Tangkesan
merupakan ”menteri kesehatan” atau dukun kepala dan sebagai atasan dari semua
dukun yang ada di baduy. Ia juga merupakan juru ramal bagi segala aspek
kehidupan orang baduy. Ia terlibat dalam penentuan orang yang pantas menjadi
puun. ia juga orang yang memberi restu pada orang yang ingin menjadi dukun.
oleh karena itu, orang yang menjabat sebagai tangkesan harus cendikia dan
menguasai ilmu obat-obatan dan mantera-mantera. sekalipun tangkesan dapat
memberikan nasihat dan menjadi tempat bertanya bagi puun, jabatan ini dapat
dipegang oleh orang baduy luar. dalam hal ini, biasanya ia merupakan keturunan
dari tangkesan sebelumnya.
Ada beberapa
sebutan dukun pada masyarakat baduy, yakni paraji (dukun beranak), panghulu
(dukun khusus mengurus orang yang meninggal), bengkong julu (dukun sunat untuk
pria) dan bengkong bikang (dukun sunat untuk wanita).
D. Kebudayaan Suku Badui
1. Masyarakat dan Kebudayaan
"Suku Badui" di Banten
Masyarakat
Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan
maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red)
mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak
untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang
kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar
maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang
diterapkan sang Pu’un.
Kebudayaan Suku Badui |
Dengan
menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di
sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan
sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang
miskin.Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat
lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional
yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.
2.Bulan Puasa/Kawalu
Masyarakat
Baduy Dalam sedang melaksanakan puasa yang dinamakan Kawalu. Di saat Kawalu ini, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang
keras memasuki wilayah mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam,
mereka harus menjalani puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya
adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada
kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu.
Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau
selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar
bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya
kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil
panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu
tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai
dengan amanah adat-nya.
3. Pernikahan
Di
dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa
dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan
dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi
kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah
mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. \Tahap
Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan
membawa daun sirih, buah pinang dan gambir
secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran
kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas
kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju
serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan
akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat
yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya,
dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian.
Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka
telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal tersebut.
e. Hukum di Tatanan Masyarakat
Baduy
Menurut
keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di
lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat
oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy
yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran,
pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada
petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang
bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman
disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat
dan pelanggaran ringan.
Hukuman
ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan
sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke
dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua
atau lebih warga Baduy.
Hukuman
Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan
pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil
oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat,
siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah
tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali
apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi
warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih
longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Rutannya
Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas berbeda dengan
yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy bukanlah
jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota,
melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya.
Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama
sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya
saja tetap dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan.
Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang
sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan
berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga
termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy
tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja.
Sebagian
peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk
sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan
(kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai
pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan
menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping
adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal
di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan
ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar
merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam.
Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes
Luar:
- Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes
Dalam.
- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti
peralatan elektronik.
- Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar
telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang
sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru
tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang
menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga modern,
seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
- Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan
berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.
Apabila
Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar (Permana, 2001).
1. Pakaian
Suku Baduy
Dalam
kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan salah satu alat untuk
melindungi diri dan menunjukan citra diri terhadap orang lain. Dalam hal
ini masyarakat Baduy yang merupakan suku terasing di Banten sudah memikirkan
dalam hal berpakaian dalam masyarakatnya..Sebelumnya Suku Baduy adalah suku
yang menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku Baduy terdiri dari dua
kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar daerah Baduy Dalam,dan
baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik.Dalam pandangannya
mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang memiliki satu keyakinan, tingkah
laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun
ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar,
model dan warnanya saja.Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih tetap
mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak
terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah
mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar
seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial,
tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis
kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Untuk
Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang
sangsang, serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih karena
cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju
sangsang hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja.
Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong
baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya
menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun
harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.Untuk bagian bawahnya
menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada
bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan
selembar kain. Untuk kelengkapan pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat
kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka
yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk Masyarakat Baduy
yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci
bersih.
Bagi
suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam.
Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya
terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai.
Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak
diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping
memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat
dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan
mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy
adalah amat penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika
hendak bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik
pinggangnya serta dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang
dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan,
untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar
tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna
pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung
warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya
dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah,
biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis
buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy
memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong,
kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan
bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk
memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang
dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen,
dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna
pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan
putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam
dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang
dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual
tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat
setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung,
kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang
dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja,
yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
2. Kepercayaan Suku Badui
Kepercayaan
Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan
yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin
berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan
Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan
adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada
perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting
bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan
dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan
pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun
dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di
daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat
pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan
panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh
pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
3. Mata Pencaharian Suku Badui
Mata
pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka
dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih
rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa
setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang
erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka
diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar
wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah
yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan
mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya
dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy
menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga
membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi
orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung,
dan Ciboleger.
Kehidupan
orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan kaampat kalender
Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar
untuk menyiapkan ladang. Ada 4 jenis lading untuk padi gogo yaitu humas serang,
merupakan suatu lading suci bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtu
merupakan lading yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam yang meliputi Huma
tuladan atau huma jaro. Huma penamping merupakan ladang yang dikerjakan oleh
orang Baduy diluar kawasan tradisional. Pola Pertanian Tradisional Masyarakat
Baduy didalam Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah
dipraktekkan selama berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal
di wilayah tropika dan subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman
pangan dalam waktu dekat (pada umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti
dengan fase regenerasi atau masa bera yang lebih lama (pada umumnya 10 – 20
tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat sederhana, dilakukan secara
tradisional, dan menggunakan cara tebang bakar (Nair, 1993).
Pada waktu
hutan dibuka maka tumbuhan alam yang berguna biasanya dibiarkan atau sedikit
disiangi dan dimanfaatkan hasilnya. Lama waktu perladangan dan masa bera atau
masa lahan diistirahatkan adalah sangat bervariasi, dan lama masa bera
merupakan faktor kritis bagi regenerasi kesuburan tanah, keberlanjutan, dan
hasil pertanian yang didapatkan. Regenerasi kesuburan tersebut melibatkan
tumbuh kembalinya tanaman tahunan atau tumbuhan asli (Nair, 1993).
Masyarakat
Baduy yang masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan Sunda
(Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak
kurang lebih 600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi
selama 1 sampai 2 tahun, dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan
meninggalkan huma tersebut dan membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam
yang mereka peruntukkan bagi kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada
suatu saat akan diolah kembali dan periode masa bera tersebut pada awalnya 7
sampai 10 tahun.
Namun
demikian, karena wilayah Baduy yang semakin sempit ditambah dengan pertambahan
penduduk, maka lahan huma yang tersedia juga semakin sempit sehingga dari tahun
ke tahun masa bera ladang menjadi semakin pendek, yaitu 3 sampai 5 tahun. Hal
tersebut merupakan indikator terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan daya
dukung secara ekologis. Pada saat penelitian dilakukan, wilayah Baduy yang tersisa
adalah 5.101 hektar, dengan pembagian peruntukan tanah pertanian 2.585 ha atau
51% (709 ha atau 14% ditanami dan sisanya bera yaitu 1.876,25 ha atau 37%);
lahan pemukiman 24,5 ha atau 0,48%; hutan tetap atau hutan lindung yang tak
boleh digarap 2.492 ha atau 49% (Purnomohadi, dalam Permana, 2001). Luas tanah
yang digunakan untuk bertani dan luas tanah bera bervariasi dari tahun ke
tahun.
Secara
tradisional masyarakat Baduy membedakan enam jenis perladangan atau huma
berdasarkan fungsi, pemilikan, dan proses mengerjakannya (Garna, 1993). Keenam
huma tersebut adalah:
1) Huma
serang, yaitu ladang yang dianggap suci yang ada di wilayah Baduy dalam, yang
hasilnya digunakan untuk kepentingan upacara adat.
2) Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.
3) Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.
4) Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk keperluan desa.
5) Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.
6) Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan orang Baduy luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-masing.
2) Huma puun, yaitu ladang khusus milik puun di Baduy dalam.
3) Huma tangtu, ladang yang digarap warga Baduy dalam.
4) Huma tuladan, ladang komunal di Baduy luar yang hasilnya untuk keperluan desa.
5) Huma panamping, ladang warga masyarakat Baduy luar.
6) Huma urang baduy, yaitu ladang di luar wilayah baduy yang dikerjakan orang Baduy luar dan hasilnya diambil untuk kepentingan keluarga masing-masing.
Kepemilikan
lahan pertanian adalah komunal, terutama untuk wilayah Baduy Dalam, artinya
setiap warga dapat menggarap tanah di wilayah ladang yang manapun dalam luasan
yang tak dibatasi, namun hanya sesuai kekuatan tenaga yang mengerjakannya.
Sedangkan bagi warga Baduy Luar, selain mengerjakan huma panamping, mereka juga
dapat menyewa lahan pertanian milik penduduk non Baduy untuk digarap sesuai
adat Baduy. Apabila lahan garapan tersebut kemudian dibeli, maka akan menjadi
Huma urang Baduy, yang sepenuhnya menjadi hak milik orang tersebut.
Pekerjaan di
huma serang yang hanya terdapat di wilayah Baduy Dalam, yang merupakan huma
adat milik bersama dikerjakan secara bersama-sama pula, baik oleh masyarakat
Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Pekerjaan di huma serang dilakukan dalam satu
hari karena dikerjakan oleh banyak orang dan sarat dengan berbagai upacara
adat. Menurut Anas, salah seorang penduduk Cibeo, pekerjaan di huma serang
tersebut mengawali pekerjaan di huma lainnya.
Pengolahan
ladang di Baduy dapat dibagi menjadi beberapa tahap. Kegiatan pertanian padi
tersebut merupakan bagian sakral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy,
sehingga setiap kegiatan pada masing-masing tahapan dilakukan dengan upacara
adat Tahapan pengolahan ladang tersebut adalah sebagai berikut:
* Narawas
Narawas
adalah merintis, memilih lahan untuk dikerjakan menjadi huma pada tahun
tersebut, oleh setiap kepala keluarga. Lahan yang dipilih untuk dijadikan huma
biasanya berupa reuma (bekas huma yang diberakan cukup lama) ataupun hutan
sekunder. Lahan yang dipilih oleh sebuah keluarga biasanya ditandai dengan cara
meletakkan batu, batu asahan, ataupun menanam koneng (kunyit). Selama proses
memilih lahan maka mereka mengikuti pantangan untuk tidak berbicara kasar,
kentut, memakai baju yang bersih dan memakai ikat kepala.
* Nyacar
Nyacar
berarti menebas rumput, semak belukar, dan pepohonan kecil yang tumbuh tanpa
ditanam, serta memotong beberapa dahan pohon besar agar lahan mendapatkan sinar
matahari yang cukup. Kegiatan ini dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dan
biasanya dilakukan pada bulan Kalima (bulan urutan kedua pada kalender Baduy).
* Nukuh
Nukuh
berarti mengeringkan rerumputan atau dedaunan hasil tebangan pada proses
sebelumnya (nyacar). Pada proses ini hasil tebangan dikeringkan secara alami
dengan sinar matahari, dan setelah kering kemudian dikumpulkan menjadi onggokan
untuk kemudian dibakar pada proses berikutnya Apabila pada lahan yang dijadikan
huma terdapat pohon yang besar (tua usianya), maka penebangan tidak boleh
dilakukan sembarangan, dan biasanya tidak dilakukan pada saat nyacar, melainkan
menunggu sampai proses nukuh. Penebangan diawali dengan upacara adat (pembacaan
mantera dan pemberian sesaji) yang dilakukan oleh puun dengan maksud agar
makhluk halus penghuni pohon tersebut tidak marah karena tempatnya diganggu
manusia.
* Ngaduruk
Ngaduruk
atau ngahuru adalah proses membakar sisa daun dan ranting pepohonan yang
dibersihkan pada saat nyacar dan dikumpulkan pada saat nukuh. Saat ngaduruk
juga berpatokan dengan kehadiran bintang kidang. Dalam istilah mereka : “kidang
ngarangsang kudu ngahuru”, yaitu pada saat bintang kidang bercahaya terang
waktu subuh, yang umumnya terjadi pada tanggal ke 18 bulan katujuh, adalah
waktu yang tepat untuk membakar. Selama pembakaran yang dilakukan untuk setiap
onggokan, api selalu dijaga agar tak merambat dan menimbulkan kebakaran hutan.
Setelah selesai membakar, maka mereka akan selalu memastikan bahwa api telah
benar-benar mati sebelum meninggalkan huma. Abu bekas pembakaran dibiarkan di
ladang sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba.
* Nyoo Binih
Tahap
penanaman dan pemeliharaan huma diawali dengan kegiatan nyoo binih, ngaseuk,
ngirab sawan, dan ngored. Awal penanaman sesuai dengan datangnya musim hujan
dan berpatokan pada posisi bintang kidang. Pertanda awal mulai penanaman adalah
apabila bintang kidang mencapai titik zenith atau titik puncak pada waktu
subuh, yang diistilahkan sebagai kidang muhunan.
Nyoo binih
adalah kegiatan mempersiapkan benih yang dilakukan 1 hari sebelum penanaman
atau ngaseuk. Kegiatan tersebut dimulai dengan menurunkan benih padi dari
lumbung, yang dilakukan oleh para wanita. Pelaku harus mengenakan selendang
putih, sabuk putih, dan rambutnya disanggul, dan melakukan kegiatan tersebut
dengan suasana hening dan khidmad, tanpa bercakap-cakap, dan dengan mengucapkan
mantra tertentu. Kegiatan menurunkan benih dari lumbung, yang dipimpin oleh
istri girang seurat, dimaknai sebagai membangunkan Nyi Pohaci, yaitu dewi pelindung
pertanian dari tidurnya.
Setelah
menurunkan padi maka padi tersebut diletakkan di tempat yang lapang untuk
diinjak-injak dengan telapak kaki di atas tampah agar butir-butirnya terlepas
dari tangkai padi, kemudian benih tersebut disimpan di dalam bakul. Pada malam
hari salah satu dari bakul tersebut, yang secara simbolis mewakili bakul-bakul
lainnya dibawa ke tengah lapangan untuk diberi mantra oleh para tetua kampung
(baris kolot) diiringi serombongan pemain angklung yang semuanya pria dan
disaksikan oleh seluruh warga. Benih pada bakul tersebut biasanya kemudian
ditaman di huma serang yang merupakan huma komunal masyarakat Baduy.
* Ngaseuk
Kata ngaseuk
berarti menugal atau menanam dengan tugal, yaitu dengan cara membuat lubang
kecil dengan sepotong kayu atau bambu yang diruncingkan ujungnya, dan menanam
benih padi ke dalamnya. Kegiatan penugalan tersebut dilakukan para pria dewasa,
dan penanamannya dibantu oleh anggota keluarga lainnya.
* Ngirab Sawan
Arti ngirab
sawan secara harafiah adalah membuang sampah atau penyakit. Dalam kegiatan
tersebut dilakukan pembersihan ranting dan daun atau tanaman lain (gulma) yang
mengganggu pertumbuhan padi. Kegiatan lain yang berhubungan dengan ngirab sawan
adalah ‘pengobatan’ padi, yang dilakukan dengan cara berpantun atau membacakan
pantun, dan menebarkan ramuan ‘obat padi’. Ramuan tersebut terdiri dari
campuran daun mengkudu (Morinda citrifolia), jeruk nipis, beuti lajo, karuhang,
gembol, areuy beureum, hanjuang, dan kelapa muda. Semua bahan tersebut ditumbuk
halus, dicampurkan dengan abu dapur, dan disebarkan ke seluruh lahan.
Pengobatan tersebut adalah tindakan pemupukan tanaman, dan dilakukan sebanyak
10 kali selama pertumbuhan padi.
* Ngored dan Meuting
Ngored
adalah membersihkan atau menyiangi rumput dan gulma lain yang timbuh di antara
tanaman padi, 2 sampai 4 kali setiap bulan selama pertumbuhan padi. Adapun
meuting adalah kegiatan menginap di saung huma atau gubug yang dibangun di huma
dengan jangka waktu tertentu dalam rangka mengurus dan memelihara tanaman.
* Mipit
Mipit adalah
kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu musim, dan dilakukan di huma
serang. Pemetikan padi secara simbolis yang pertama tersebut dilakukan oleh
istri dari girang seurat. Padi kemudian diikat dengan tali kulit pohon teureup
pada bagian tangkainya menjadi satu ikatan. Ikatan padi kemudian dikumpulkan di
saung huma serang, dan setelah kering kemudian dibawa ke kampung untuk disimpan
di leuit atau lumbung padi huma serang. Setelah panen di huma serang selesai,
kemudian dilanjutkan dengan panen di huma puun, kemudian dilanjutkan dengan
panen di huma tangtu, dan akhirnya di huma tuladan dan huma panamping.
* Dibuat
Istilah
dibuat dalam pertanian Baduy adalah memotong atau memanen padi dengan
mempergunakan etem atau ani-ani, yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita.
Pelaksanaannya adalah setelah upacara mipit dan harus dilakukan segera. Apabila
terlambat maka hama walang sangit (kungkang) akan muncul. Kegiatan tersebut
dilakukan oleh seluruh keluarga, dan selama kegiatan tersebut sampai dengan
padi menjadi kering dijemur, seluruh anggota keluarga menginap di huma.
* Ngunjal
Ngunjal
adalah mengangkut hasil panen padi dari huma ke kampung untuk kemudian disimpan
dalam leuit atau lumbung. Padi yang telah beberapa hari dikeringkan atau
dilantay, disimpan dengan cara menumpuk secara teratur (dielep). Sebelum
diangkut ke kampung, tali pengikat padi diganti dengan tali baru. Pengangkutan
hasil padi dilakukan secara bertahap oleh seluruh keluarga. Para pria
mengangkutnya dengan cara mengikat padi menjadi dua ikatan besar dan kemudian
dipikul dengan menggunakan bambu, sedangkan para wanita membawa padi dengan
cara menggendong dengan menggunakan kain.
* Nganyaran
Nganyaran
adalah kegiatan upacara memakan atau mencicipi nasi baru, atau nasi pertama
kali hasil dibuat di huma serang. Upacara nganyaran dimulai dengan mengambil 5
ikat padi dari leuit huma serang. Padi tersebut kemudian dibawa ke saung
lisung, yaitu tempat menumbuk padi yang digunakan secara komunal, untuk
ditumbuk oleh 5 orang wanita, yaitu para istri dari puun, girang seurat, jaro
tangtu, baresan, dan bekas puun. Alu penumbuk padi sebelumnya diusap dengan
ludah masing-masing penumbuknya. Beras hasil tumbukan disimpan dalam bakul
tempat nasi dan ditutup dengan kain putih yang diberi wewangian, dibawa ke
rumah girang seurat untuk dibuat nasi tumpeng. Keesokan harinya, nasi tumpeng
yang telah siap dibawa ke rumah puun untuk diberi mantra dan doa, kemudian di
alun-alun nasi tumpeng tersebut dibagi-bagikan kepada seluruh warga yang hadir.
Sebelum pulang ke rumah masing-masing, warga mengambil beberapa bulir padi
hasil panen dari huma serang yang disediakan di depan golodog bale. Jika padi
masih banyak tersisa setelah diambil para warga, maka hal tersebut merupakan
suatu pertanda bahwa hasil panen di seluruh wilayah Baduy akan berlimpah.
Selanjutnya padi hasil pertanian mereka adalah terlarang untuk dijual atau
diperdagangkan.
2. Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan
yaitu:
1. Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
2. saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
3. setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
4. Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
5. Akikah yaiotu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun
(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
F. Sistem Pengetahuan Suku Baduy
Sistem
pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat
peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang
Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa social, dan teknik bertani
yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih
tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang
Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini
ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara).
Sebagai
penutup dan catatan penulis, kemungkinan bahwa budaya lama telah banyak
digantikan dengan budaya baru menandakan sebetulnya budaya sangat relatif dan
adaptif di lingkungan Suku Baduy, terutama Baduy luar. Namun, sebagai pelengkap
yang lebih akurat dibandingkan foklore (cerita rakyat) dan narasumber lainnya,
adalah peninggalan sejarah dan prasejarah yang tertinggal sebagai bukti
terkuat, bahwa mereka termasuk komunitas masyarakat yang tertua di Banten.