Sejarah Wali Songo - Sejarah masuknya Islam di
Indonesia sungguh penuh dengan carut-marut karena sejak dahulu bangsa Indonesia
memang lemah dalam sistem dokumentasi. Akibatnya, sejarah Indonesia sebelum
datangnya bangsa Belanda selalu ada beberapa versi karena selalu ada distorsi
dari pelaku sejarah maupun dari masyarakat yang meneruskan cerita tersebut
kepada generasi berikutnya.
![]() |
Sejarah Wali Songo |
Sungguh suatu hal sangat memprihatinkan, bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia yang terjadi pada abad ke-7 Masehi dan lahirnya Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam [581 M], wafat [632 M] dan penggantinya Abu Bakar [632-634 M], Umar Bin Khotob [634-644 M], Usman Bin Affan [644-656 M], Ali Bin Abi Thalib [656-661 M] serta perkembangan Islam selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas. Namun sejarah masuknya Islam di Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru tidak terdokumentasi secara pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah tentang walisongo juga penuh dengan carut-marut.
Kisah-kisah
individu walisongo penuh dengan nuansa mistik, bahkan
tidak hanya nuansa mistik yang menyelimuti kisah walisongo tetapi
juga penuh dengan berita-berita bohong. Mistik dan bohong adalah dua
hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi mengapa keduanya justru
menjadi warna utama kisah para wali yang telah berjasa besar dalam menyebarkan
ajaran islam di Indonesia?
Sebagai umat
Islam tentu saja kita harus mengembangkan metode berpikir dialektis untuk
mengambil hikmah yang sesungguhnya dan meluruskan sejarah yang sebenarnya berdasarkan
sumber yang benar.
Berikut adalah
dokumen-dokumen yang dipastikan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah
Walisongo;
1. “Het book van Bonang”,
buku ini ada di perpustakaan Heiden-Belanda, yang menjadi salah satu dokumen
langka dari jaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang
amat penting itu sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15
yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam.
2. “Suluk Linglung”,
buku karya Sunan Kalijogo. Buku ini berbeda dengan buku ‘Suluk Linglung’ karya
Imam Anom yang banyak beredar.
3. “Kropak
Farara”, buku yang amat penting tentang walisongo ini diterjemahkan
oleh Prof.Dr. GJW Drewes ke dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Wahyudi
ke dalam bahasa Indonesia.
4. “Kitab Walisana”,
kitab yang disusun oleh Sunan Giri ini berisi tentang ajaran Islam dan beberapa
peristiwa penting dalam perkembangan masuknya agama Islam di tanah Jawa.
Istilah walisongo
memang masih kontroversial dan tidak ada dokumen yang dapat dijadikan rujukan
untuk menentukan mana yang benar. Istilah walisongo adalah nama sebuah
dewan yang beranggotakan 9 orang [A. Wahyudi dan Abu Khalid; Widji
Saksono,1995].
Anggota
walisongo merupakan orang-orang pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa
dinamakan wali. Istilah wali berasal dari bahasa arab aulia, yang artinya orang
yang dekat dengan Allah SWT karena ketakwaannya. Sedangkan istilah songo
merujuk kepada penyebaran agama Islam ke segala penuru. Orang jawa mengenal
istilah kiblat papat limo pancer untuk menggambarkan segala penjuru, yaitu
utara-timur-selatan-barat disebut keblat papat dan empat arah diantaranya
ditambah pusat disebut limo pancer.
Dalam kitab
Kanzul Ulum karya IBNUL BATHUTHAH yang masih
tersimpan di perpustakaan istana kasultanan Ottoman di Istambul, pembentukan
Walisongo ternyata pertama kali dilakukan oleh sultan Turki, MUHAMMAD I yang
menerima laporan dari para saudagar Gujarat {India} bahwa di pulau Jawa jumlah
pemelukm agama Islam masih sangat sedikit. Berdasarkan laporan tersebut Sulatn
MUHAMMAD I membentuk sebuah tim yang beranggotakan 9 orang, yaitu :
1. MAULANA MALIK IBRAHIM, berasal
dari Turki, ahli irigasi dan tata pemerintahan
2. MAULANA ISHAQ, berasal dari Samarkan ahli pengobatan
3. MAULANA AHMAD JUMADIL KUBRO, berasal dari Mesir
4. MAULAN MUHAMMAD AL MAGHROBI, berasal dari Maroko
5. MAULANA MALIK ISRO’IL, berasal dari Turki, ahli tata
pemerintahan
6. MAULANA MUHAMMAD ALI AKBAR, berasal dari Iran, ahli
pengobatan
7. MAULANA HASANUDDIN, dari Palestina
8. Maulana ALIYUDDIN, dari Palestina
9. Syekh SUBAKIR, dari Iran, ahli kemasyarakatan
Inilah walisongo
angkatan pertama yang datang ke pulau Jawa pada saat yang tepat,
karena Majapahit sendiri pada saat itu sedang dilanda perang saudara, yaitu
perang paregreg, sehingga kedatangan mereka tidak begitu mendapat perhatian.
Perlu diketahui bahwa tim pertama tersebut bukanlah para ahli agama atau bisa
dikatakan bahwa mereka belum mempunyai ilmu agama yang mumpuni. Sultan Muhammad
I tidak pernah menyebut tim tersebut dengan nama walisongo. Barangkali istilah
walisongo berasal dari masyarakat atau dari tim itu sendiri setelah bekerja beberapa
pulh tahun. Adapula kemungkinan bahwa istilah walisongo muncul setelah wali
pribumi dari kalangan bangsawan yang masuk kedalam tim.
Karena Maulana
Malik Ibrahim sebagai ketua walisongo wafat pada tahun 1419 M, maka pada tahun
1421 M dikirim seorang penyebar Islam baru yang bernama AHMAD ALI
RAHMATULLAH dari Champa yang juga keponakan MAULANA
ISHAK. Beliau adalah anak IBRAHIM ASMARAKANDI yang
menjadi menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah yang nantinya
sering dipanggil RADEN RAHMAT adalah keputusan yang
sangat tepat, karena Raden Rahmat dianggap mempunyai kelebihan [ilmu agama yang
lebih dalam] dan putra Mahkota kerajaan Majapahit pada saat itu menikah dengan
bibi Raden Rahmat. Oleh karena itu dengan Raden Rahmat menjadi ketua, walisongo
berharap agar Prabu KertaWijaya dapat masuk Islam, atau setidak-tidaknya tidak
menghalangi penyebarah Islam. Dialog antara Raden Rahmat yang mengajak Prabu
KertaWijaya masuk Islam tertulis dalam Kitab Walisana dengan langgam Sinom
pupuh IV bait 9-11 dan bait 12-14.
Karena masih
kerabat istana, maka Raden Rahmat diberi daerah Ampeldento oleh Raja Majapahit
yang kemudian dijadikan markas untuk mendirikan pesantren. Selanjutnya Raden
Rahmat dikenal dengan nama SUNAN AMPEL. Menurut Widji Saksono [1995:23-24], kedatangan
Raden Rahmat di pulau jawa disertai dua pemuda bangsawan Champha yaitu
Raden SANTRI ALI dan ALIM ABU HURAIRAH serta
40 orang pengawal. Selanjutnya Raden Santri Ali dan Alim Abu Hurairah bermukim
di Gresik dan dikenal dengan SUNAN GRESIK dan SUNAN
MAJAGUNG. Dengan kedatangan Raden Rahmat, maka dapat dikatakan bahwa
susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kedua.
Pada tahun 1435
ada dua orang wali yang wafat, yaitu Maulana Malik Isro`il dan Maulana Muhammad
Ali Akbar. Dengan meninggalnya dua orang itu, dewan mengajukan permohonan
kepada Sultan Turki [tahun 1421 Sultan Muhammad I digantikan oleh sultanMURAD
II, yang memimpin sampai tahun 1451 {Barraclough, 1982:48}] untuk
dikirimkan dua orang pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam.
Permohonan tersebut dikabulkan
dan pada tahun 1436 dikirim dua orang juru dakwah, yaitu :
1. SAYYID JA`FAR SHODIQ, berasal dari Palestina, yang
selanjutnya bermukin di Kudus dan dikenal dengan nama SUNAN KUDUS. Dalam buku
Babad Demak karya Atmodarminto {2001, disebutkan bahwa Sayyid Ja`far Shodiq
adalah satu-satunya anggota walisongo yang paling menguasai Ilmu Fiqih.
2. SYARIF HIDAYATULLAH, berasal dari Palestina yang
merupakan ahli strategi perang. Menurut buku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon
karya PS Sulendraningrat {tanpa tahun}, Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu
Siliwangi dari Pajajaran hasil perkawinan Rara Santang dan Sultan Syarif
Abdullah dari Mesir. Selanjutnya Syarif Hidayatullah bermukim di Cirebon dan
dikenal dengan nama SUNAN GUNUNG JATI.
Dengan
kedatangan wali muda tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali
dapat kita sebut angkatan ketiga. Nampak dari informasi diatas bahwa ada tiga
wali muda yang tentu mempunyai kedalaman ilmu agama yang lebih dibandingkan
dengan angkatan sebelumnya.
Pada tahun
1462 dua orang anggota walisongo wafat, yaitu Maulana Hasanuddin dan Maulana
Aliyuddin. Sebelum itu ada dua orang anggota wali yang meninggalkan tanah Jawa,
yaitu Syekh Subakir pulang ke Persia dan Maulana Ishak berdakwah di Pasai.Dalam
sidang walisongo di Ampeldento, diputuskan bahwa ada empat orang yang masuk
dalam dewan walisongo, yaitu:
1.
Raden MAKHDUM IBRAHIM, putra Sunan Ampel yang bermukim di desa
Mbonang, Tuban. Selanjutnya dikenal
dengan nama SUNAN MBONANG.
2.
Raden QOSIM, putra Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal
dengan nama SUNAN DRAJAT.
3.
Raden PAKU, putra Maulana ISHAQ yang bermukim di Gresik dan
selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN GIRI.
4.
Raden Mas SAID, putra Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak.
Selanjutnya dikenal dengan nama SUNAN KALIJOGO.
Dengan
perubahan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita
sebut angkatan keempat. Dalam dewan walisongo angkatan keempat ini masih ada
dua orang yang bersal dari angkatan pertama, sehingga pada tahun 1463 mereka
sudah bertugas di tanah Jawa selama 59 tahun. Dua orang itu adalah Maulana
Ahmad Jumadil Qubro yang meninggal pada tahun 1465 dan Maulana Muhammad Al
Maghrobi [tidak diketahui tahun berapa wafatnya].
Dalam kitab
walisana disebutkan bahwa pada saatRaden FATAH menghadapi SYEKH
SITI JENAR, Maulana Muhammad Al Maghrobi masih merupakan tokoh
sentral, kuat dugaan bahwa beliau yang mengambil keputusan tentang masalah
Syekh Siti Jenar.
Perlu diperhatikan
bahwa mulai angkatan keempat ini banyak anggota walisongo yang merupakan putra
bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu, orientasi ajaran islam mulai berubah
dari Arab Sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisongo
mulai terbelah antara kelompok futi`a dan aba`ah, barangkali pada saat itu pula
muncul istilah Walisongo. Isi kitab walisana yang ditulis oleh Sunan Giri II
pun yang ditulis pada awal abad 16 banyak berbeda dengan buku-buku sunan
Mbonang yang masih menjelaskan ajaran Islam yang murni.
Dengan
meninggalnya dua orang wali yang paling tua itu, maka pada tahun 1466 diadakan
sidang yang memutuskan memasukkan anggota baru dan mengganti ketua dewan yang
sudah berusia lanjut. Ketua dewan yang dipih dalam siding tersebut adalahSunan
GIRI, sedangkan anggota dewan yang masuk adalah :
1. Raden FATAH, putra Raja Majapahit Brawijaya V yang
merupakan Adipati Demak.
2. FATHULLAH KHAN, putra Sunan Gunung Jati yang
dimaksudkan untuk membantu tugas ayahandanya yang sudah berusia lanjut.
Dengan perubahan tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut angkatan kelima.
Setelah Raden Fatah dinobatkan
menjadi Sultan Demak Bintara, maka pada tahun 1478, dilakukan perombakan lagi
dalam tubu dewan walisongo. Selain Raden Fatah, Sunan Gunung Jati pun lengser
karena usianya lang lanjut. Posisi Sunan Gunung Jati digantikan oleh Fathullah
Khan yang memang sudah ada dalam dewan walisongo. Dua posisi yang kosong diisi
oleh :
1.
Raden UMAR SAID, putra Sunan Kalijogo yang lebih dikenal sebagai SUNAN
MURIA
2.
Sunan PANDANARAN, murid Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga
dikenal sebagai SUNAN
TEMBAYAT.
Menurut kitab walisana karya
Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai wali
penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab walisana juga tidak tidak
pernah menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo, barangkali hal
itu terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo, Fathullah Khan
langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk ayahandanya.
Setelah masa walisongo angkatan
keenam, masih banyak orang yang pernah mendapat gelar sebagai wali, namun kapan
mereka itu diangkat dan menggantikan siapa, tidak ada bukti dan keterangan yang
dapat dijadikan patokan dan kebenarannyapun masih banyak diragukan. Mereka itu
misalnya SYEKH SITI JENAR, Sunan GESENG, sunan
NGUDUNG, Sunan PADUSAN, Sunan KALINYAMAT, Sunan
MURYAPODO, dan ada beberapa orang yang juga dianggap sebagai wali
misalnya Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Pengging.
E.A. Indrayana
Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa
Tinggal di Bekasi
Ditulis ulang
dari http://nyimaspakungwati.blogspot.com/2009/05/carut-marut-hikayat-walisongo.html
SEJARAH SYEH SITI JENAR
Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani
Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali
Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat
gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah
tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang
atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan
dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan
’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin
bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi
'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin
Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin
Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin
Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi
bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal
'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia,
Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an
dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12
tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia
bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya,
yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka
dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka
adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani.
Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara
Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus
pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh
Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan
istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu
Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid
Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus
Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan
ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada
saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1. Maulana
Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad
sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali,
Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid
Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah
Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid
Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat,
Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara.
4. Sayyid
Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin
Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India,
Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada
Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil
karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah
Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli,
Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid
Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru
kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan
Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat
untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah
dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah:
Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai,
Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.
Kesalahan
Sejarah Tentang Syaikh Siti Jenar Yang Menjadi Fitnah adalah:
1. Menganggap bahwa Syaikh Siti
Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia
dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar
berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik,
Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa
Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara
tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,
sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun
Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal
dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat
jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2. “Ajaran
Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh
beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias
ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk
Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’
sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’
Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu
syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan
binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid
Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam
beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa
Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri
halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar
selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah
pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti
Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya
berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak
pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah
saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis
bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah
menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah,
seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut
Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis
menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori
Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan
wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat
para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka
berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di
Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru
mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh
Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu
hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku
bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak
Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan
bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh
membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah.
Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan
membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam
Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah
umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’
Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah
mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera
[Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1)
Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2)
Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3)
Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita
harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry
yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau
kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya
pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat
Islam.