Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit, Majapahit
adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia yang pernah
berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga1550 M. Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di
Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350
hingga1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang
menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam
sejarah Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra,
Semenanjung, Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah
kekuasaannya masih diperdebatkan. Hanya terdapat sedikit bukti fisik dari
sisa-sisa Kerajaan Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas.Sumber utama yang
digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa
Kawai dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton terutama
menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa
bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit.
Sejarah Lengkap Kerajaan Majapahit |
Sementara
itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan
Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa iCtu, hal yang
terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa
Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.
A. Sejarah Berdirinya Kerajaan Majapahit
Sebelum
berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa.
Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia
mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti.
Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar
upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong
telinganya. Kubilai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa
tahun 1293.
Ketika
itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara.
Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden
Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Kemudian, Wiraraja
mengirim utusan ke Daha, yang membawa surat berisi pernyataan, Raden Wijaya
menyerah dan ingin mengabdi kepada Jayakatwang. Jawaban dari surat di atas
disambut dengan senang hati. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia
membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang
namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut.
Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk
bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden
Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik
pulang kembali pasukannya secara kalangkabut karena mereka berada di negeri asing.
Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson
agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu enam bulan lagi di pulau
yang asing.
Tanggal
pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215
saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama
resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang
terpercaya Kertarajasa, termasuk 4 Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak
melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan
Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran Waha, Ra
Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik, dan Ra Tati. Semua ini tersebut disebutkan dalam
Pararaton. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan
konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai
posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak
terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.
Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Putra
dan penerus Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang
berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun
pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone
mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh
tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya
menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana
dan menjadi bhiksuni. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana
Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana
menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan
kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan
Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di
kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya
pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
B. Letak dan Wilayah Kerajaan Majapahit
Majapahit
adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah
berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan Majapahit Didirikan
tahun 1294 oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana yang
merupakan keturunan Ken Arok raja Singosari.
Peta wilayah kekuasaan Majapahit berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan wilayah kekuasaan Majapahit menurut penggambaran orang Jawa masih diperdebatkan |
Kerajaan
Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam 5 sejarah Indonesia.
Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan,
hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
C. Sumber-sumber Sejarah
Sumber
sejarah mengenai berdiri dan berkembangnya kerajaan Majapahit berasal dari
berbagai sumber yakni :
1.
Prasasti Butok (1244 tahun). Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah
ia berhasil naik tahta kerajaan. Prasasti ini memuat peristiwa keruntuhan kerajaan
Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan
2.
Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama, kedua kidung ini menceritakan
Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari kediri dan tahuntahun awal
perkembangan Majapahit
3.
Kitab Pararaton, menceritakan tentang emerintahan raja-raja Singasari dan
Majapahit
4.
Kitab Negarakertagama, menceritakan tentang perjalanan Rajam Hayam Wuruk ke
Jawa Timur.
D. Silsilah Raja-raja Majapahit
Silsilah Raja-raja Majapahit |
Berikut
adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan
antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yg
mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yg memecahkan keluarga kerajaan
Majapahit menjadi dua kelompok.
1.
Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2.
Kalagamet bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3.
Sri Gitarja bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4.
Hayam Wuruk bergelar Sri Rajasanagara
(1350 - 1389)
5.
Wikramawardhana (1389 - 1429)
6.
Suhita (1429 - 1447)
7.
Kertawijaya bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8.
Rajasawardhana bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9.
Purwawisesa atau Girishawardhana bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10.
Pandanalas atau Suraprabhawa bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11.
Kertabumi bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12.
Girindrawardhana bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498) 13. Hudhara bergelar
Brawijaya VII (1498-1518)
E. Prasasti – Prasasti Kerajaan
Majapahit
Prasasti
adalah bukti sumber tertulis yang sangat penting dari masa lalu yang isinya
antara lain mengenai kehidupan masyarakat misalnya tentang administrasi dan
birokrasi pemerintahan, kehidupan ekonomi, pelaksanaan hukum dan keadilan,
sistem pembagian bekerja, perdagangan, agama, kesenian, maupun adat istiadat
(Noerhadi 1977: 22). Seperti juga isi prasasti pada umumnya, prasasti dari masa
Majapahit lebih banyak berisi tentang ketentuan suatu daerah menjadi daerah
perdikan atau sima.
Meskipun
demikian, banak hal yang menarik untuk diungkapkan di sini, antara lain, yaitu:
1. Prasasti Kudadu (1294 M)
Mengenai
pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi Raja Majapahit yang telah ditolong oleh
Rama Kudadu dari kejaran balatentara Yayakatwang setelah Raden Wijaya menjadi
raja dan bergelar Krtajaya Jayawardhana Anantawikramottunggadewa, penduduk desa
Kudadu dan Kepala desanya (Rama) diberi hadiah tanah sima.
2. Prasasti Sukamerta (1296 M) dan
Prasasti Balawi (1305 M)
Mengenai
Raden Wijaya yang telah memperisteri keempat putri Kertanegara yaitu Sri Paduka
Parameswari Dyah Sri Tribhuwaneswari, Sri Paduka Mahadewi Dyah Dewi
Narendraduhita, Sri Paduka Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri
Paduka Rajapadni Dyah Dewi Gayatri, serta menyebutkan anaknya dari permaisuri
bernama Sri Jayanegara yang dijadikan raja muda di Daha.
3. Prasasti Waringin Pitu (1447 M)
Mengungkapkan
bentuk pemerintahan dan sistem birokrasi Kerajaan Majapahit yang terdiri dari
14 kerajaan bawahan yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre, yaitu Bhre
Daha, Bhre Kahuripan, Bhre Pajang, Bhre 8 Wengker, Bhre Wirabumi, Bhre Matahun,
Bhre Tumapel, Bhre Jagaraga, Bhre Tanjungpura, Bhre Kembang Jenar, Bhre
Kabalan, Bhre Singhapura, Bhre Keling, dan Bhre Kelinggapura.
4. Prasasti Canggu (1358 M)
Mengenai pengaturan tempat-tempat
penyeberangan di Bengawan Solo. Prasasti Biluluk (1366 M0, Biluluk II (1393 M),
Biluluk III (1395 M). Menyebutkan tentang pengaturan sumber air asin untuk
keperluan pembuatan garam dan ketentuan pajaknya.
5. Prasasti Karang Bogem (1387 M)
Menyebutkan
tentang pembukaan daerah perikanan di Karang Bogem. Prasasti Marahi Manuk (tt)
dan Prasasti Parung (tt) Mengenai sengketa tanah, persengketaan ini diputuskan
oleh pejabat kehakiman yang menguasai kitabkitab hukum adat setempat.
6. Prasasti Katiden I (1392 M)
Menyebutkan
tentang pembebasan daerah bagi penduduk desa Katiden yang meliputi 11 wilayah
desa. Pembebasan pajak ini karena mereka mempunyai tugas berat, yaitu menjaga
dan memelihara hutan alang-alang di daerah Gunung Lejar.
7. Prasasti Alasantan (939 M)
Menyebutkan
bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok Sri
Isanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan
Kabayan.
8. Prasasti Kamban (941 M)
Meyebutkan
bahwa apada tanggal 19 Maret 941 M, Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikrama
Dyah Matanggadewa meresmikan desa Kamban menjadi daerah perdikan.
9. Prasasti Hara-hara (Trowulan VI) (966
M)
Menyebutkan
bahwa pada tanggal 12 Agustus 966 M, mpu Mano menyerahkan tanah yang menjadi
haknya secara turun temurun kepada Mpungku Susuk Pager dan Mpungku Nairanjana
untuk dipergunakan membiayai sebuah rumah doa (Kuti).
10. Prasasti Wurare (1289 M)
Menyebutkan
bahwa pada tanggal 21 September 1289 Sri Jnamasiwabajra, raja yang berhasil
mempersatukan Janggala dan Panjalu, menahbiskan arca Mahaksobhya di Wurare. Gelar
raja itu ialah Krtanagara setelah ditahbiskan sebagai Jina (dhyani Buddha).
11. Prasasti Maribong (Trowulan II)
(1264 M)
Menyebutkan
bahwa pada tanggal 28 Agustus 1264 M Wisnuwardhana memberi tanda pemberian hak
perdikan bagi desa Maribong.
12. Prasasti Canggu (Trowulan I)
Mengenai
aturan dan ketentuan kedudukan hukum desa-desa di tepi sungai Brantas dan Solo
yang menjadi tempat penyeberangan. Desa-desa itu diberi kedudukan perdikan dan
bebas dari kewajiban membayar pajak, tetapi diwajibkan memberi semacam
sumbangan untuk kepentingan upacara keagamaan dan diatur oleh Panji Margabhaya
Ki Ajaran Rata, penguasa tempat penyeberangan di Canggu, dan Panji Angrak saji
Ki Ajaran Ragi, penguasa tempat penyeberangan di Terung.
F. Kehidupan di Kerajaan Majapahit
1. Kehidupan Politik
Kehidupan
politik Kerajaan Majapahit berhubungan pemerintahan dan kepemimpinan rajanya.
Raja-raja itu antara lain:
a.
Raden
Wijaya
Berdirinya
Kerajaan Majapahit sangat berhubungan dengan runtuhnya Kerajaan Singasari.
Kerajaan Singasari runtuh setelah salah satu raja vasalnya yaitu Jayakatwang
mengadakan pemberontakan. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya yang
merupakan menantu dari Raja Singasari terakhir yaitu Kertanegara. Raden Wijaya
beserta istri dan pengikutnya dapat meloloskan diri ketika Singasari diserang
Jayakatwang. Raden Wijaya meloloskan diri dan pergi ke Madura untuk menemui dan
meminta perlindungan Bupati Sumenep dari Madura yaitu Aryawiraraja. Berkat
Aryawiraraja juga, Raden Wijaya mendapat pengampunan dari Jayakatwang, bahkan
Raden Wijaya sendiri diberi tanah di hutan Tarik dekat Mojokerto yang kemudian
daerah itu dijadikan sebagai tempat berdirinya kerajaan Majapahit.
Raden
Wijaya kemudian menyusun kekuatan di Majapahit dan mencari saat yang tepat
untuk menyerang balik Jayakatwang. Untuk itu, dia mencoba mencari dukungan
kekuatan dari raja-raja yang masih setia pada Singasari atau raja yang kurang
senang pada Jayakatwang. Kesempatan untuk menghancurkan Jayakatwang akhirnya
muncul setelah tentara Mongol mendarat di Jawa untuk menyerang Kertanegara.
Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya dengan cara memperalat
mereka untuk menyerang Jayakatwang. Raden Wijaya bersama-sama dengan pasukan
Kubhilai Khan berhasil mengalahkan pasukan Jayakatwang. Begitu pula Jayakatwang
berhasil ditangkap dan lalu dibunuh oleh pasukan Kubhilai Khan.
Setelah
Jayakatwang terbunuh, lalu Raden Wijaya melakukan serangan balik terhadap
pasukan Kubhilai Khan. Raden Wijaya berhasil memukul mundur pasukan Kubhilai
Khan, sehingga mereka terpaksa menyelamatkan diri keluar Jawa. Setelah berhasil
mengusir pasukan Kubhilai Khan, Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Majapahit
pada tahun 1293 M dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Sebagai
seorang raja yang besar, Raden Wijaya memperistri empat putri Kertanegara
sebagai permaisurinya. Dari Tribuana, ia mempunyai seorang putra yang bernama
Jayanegara. Sedangkan dari Gayatri, ia mempunyai dua orang putri, yaitu
Tribuanatunggadewi dan Rajadewi Maharajasa.
Para
pengikut Raden Wijaya yang setia dan berjasa dalam mendirikan kerajaan
Majapahit, diberi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Tetapi ada saja
yang tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya. Hal ini menimbulkan
pemberontakan di sana-sini. Pada tahun 1309 M, Raden Wijaya meninggal dunia dan
didarmakan di Antahpura, dekat Blitar. Setelah Raden Wijaya meninggal dunia,
Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Jayanegara dengan gelar Sri Jayanegara.
b. Jayanegera
Pada
masa pemerintahannya, Jayanegara dirongrong oleh serentetan pemberontakan.
Pemberontakan-pemberontakan ini datang dari Ranggalawe (1309), Lembu Sora
(1311), Juru Demung dan Gajah Biru (1314), Nambi (1316), dan Kuti (1320).
Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya karena Kuti
berhasil menduduki ibu kota Majapahit, sehingga raja Jayanegara terpaksa
melarikan diri ke daerah Badandea.
Jayanegara
diselamatkan oleh pasukan Bhayangkari di bawah pimpinan Gajah Mada. Berkat
ketangkasan dan siasat jitu dari Gajah Mada, pemberontakan Kuti berhasil
ditumpas. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi
Patih di Kahuripan pada tahun 1321 M dan Patih di Daha (Kediri). Pada tahun
1328, Jayanegara tewas dibunuh oleh Tabib Israna Ratanca, ia didharmakan di
dalam pura di Sila Petak dan Bubat. Jayanegara tidak mempunyai putra, maka
takhta kerajaan digantikan oleh adik perempuannya yang bernama
Tribhuanatunggadewi. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar
Tribhuanatunggadewi Jaya Wisnu Wardhani.
c. Tribhuanatunggadewi
Pada
masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta pada tahun 1331.
Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Sebagai penghargaan atas
jasanya, Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih di Majapahit oleh
Tribhuanatunggadewi. Di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, Gajah Mada
mengucapkan sumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa. Isi sumpahnya, ia
tidak akan Amukti Palapa sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun,
Seran, Panjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.
Dalam
rangka mewujudkan cita-citanya, Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1334,
kemudian Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa
daerah di Semenanjung Malaka. Seperti yang tercantum dalam kitab
Negarakertagama, wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit sangat luas, yakni
meliputi daerah hampir seluas wilayah Republik Indonesia sekarang.
Tribhuanatunggadewi memerintah selama dua puluh dua tahun. Pada tahun 1350, ia
mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh putranya yang bernama
Hayam Wuruk. Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi
raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara dan ia didampingi oleh Mahapatih
Gajah Mada.
d. Hayam Wuruk
Kerajaan
Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Nusantara. Pada saat itulah
cita-cita Gajah Mada dengan Sumpah Palapa berhasil diwujudkan. Usaha Gajah Mada
dalam melaksanakan politiknya, berakhir pada tahun 1357 dengan terjadinya
peristiwa di Bubat, yaitu perang antara Pajajaran dengan Majapahit. Pada waktu
itu, Hayam Wuruk bermaksud untuk menikahi putri Dyah Pitaloka.
Sebelum
putri Dyah Pitaloka dan ayahnya beserta para pembesar Kerajaan Pajajaran sampai
di Majapahit, mereka beristirahat di lapangan Bubat. Di sana terjadi
perselisihan antara Gajah Mada yang menghendaki agar putri itu dipersembahkan
oleh raja Pajajaran kepada raja Majapahit. Para pembesar Kerajaan Pajajaran
tidak setuju, akhirnya terjadilah peperangan di Bubat yang menyebabkan semua
rombongan Kerajaan Pajajaran gugur. Pada tahun 1364 M, Gajah Mada meninggal
dunia. Hal itu merupakan kehilangan yang sangat besar bagi Majapahit. Kemudian
pada tahun 1389 Raja Hayam Wuruk meninggal dunia. Hal ini menjadi salah satu
penyebab surutnya kebesaran Kerajaan Majapahit di samping terjadinya
pertentangan yang berkembang menjadi perang saudara.
Setelah Hayam Wuruk meninggal, takhta Kerajaan
Majapahit diduduki oleh Wikramawardhana. Ia adalah menantu Hayam Wuruk yang
menikah dengan putrinya yang bernama Kusumawardhani. Ia memerintah Kerajaan
Majapahit selama dua belas tahun. Pada tahun 1429 M, Wikramawardhana meninggal
dunia.
Selanjutnya
raja-raja yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah:
1)
Suhita (1429 M 1447 M), putri Wikramawardhana;
2)
Kertawijaya (1448 M 1451 M), adik Suhita;
3)
Sri Rajasawardhana (1451 M 1453 M);
4)
Girindrawardhana (1456 M 1466 M), anak dari Kertawijaya;
5)
Sri Singhawikramawardhana (1466 M 1474 M);
6)
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
2. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Majapahit
Majapahit
merupakan negara agraris dan juga sebagai negara maritim. Kedudukan sebagai
negara agraris tampak dari letaknya di pedalaman dan dekat aliran sungai.
Kedudukan sebagai negara maritim tampak dari kesanggupan angkatan laut kerajaan
itu untuk menanamkan pengaruh Majapahit di seluruh nusantara. Dengan demikian,
kehidupan ekonomi masyarakat Majapahit menitikberatkan pada bidang pertanian
dan pelayaran.
Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen
padi terjadi dua kali dalam setahun, butir berasnya amat halus. Terdapat pula
wijen putih, kacang hijau, rempah-rempah, dan lain-lain kecuali gandum.
Buah-buahan banyak jenisnya, antara lain pisang, kelapa, delima, pepaya,
durian, manggis, langsa, dan semangka. Sayur mayur berlimpah macamnya. Jenis
binatang juga banyak. Untuk membantu pengairan pertanian yang teratur,
pemerintah Majapahit membangun dua buah bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk
persawahan dan Bendungan Trailokyapur untuk mengairi daerah hilir.
Majapahit
memiliki mata uang sendiri yang bernama gobog. Gobog merupakan uang logam yang
terbuat dari campuran perak, timah hitam, timah putih, dan tembaga. Bentuknya
koin dengan lubang di tengahnya. Dalam transaksi perdagangan, selain
menggunakan mata uang gobog, penduduk Majapahit juga 14 menggunakan uang kepeng
dari berbagai dinasti. Menurut catatan Wang Tayuan seorang pedagang dari
Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan
burung kakak tua. Sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak,
sutra, barang keramik, dan barang dari besi.
3. Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan
Majapahit
Pola
tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan masyarakat yang
perbedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta
seperti di India, yang lebih dikenal dengan catur warna, tetapi hanya bersifat
teoritis dalam literatur istana. Pola ini dibedakan atas empat golongan
masyarakat, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Namun terdapat pula
golongan yang berada di luar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang
merupakan golongan terbawah dari lapisan masyarakat Majapahit.
Brahmana
(kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma, yaitu: mengajar;
belajar; melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain; membagi dan
menerima derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup; dan bersatu dengan
Brahman (Tuhan). Mereka juga mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan, yang
berada pada bidang keagamaan dan dikepalai oleh dua orang pendeta tinggi, yaitu
pendeta dari agama Siwa (Saiwadharmadhyaksa) dan agama Buddha
(Buddhadarmadyaksa). Saiwadyaksa mengepalai tempat suci (pahyangan) dan tempat
pemukiman empu (kalagyan). Buddhadyaksa mengepalai tempat sembahyang (kuti) dan
bihara (wihara). Menteri berhaji mengepalai para ulama (karesyan) dan para
pertapa (tapaswi).
Semua
rohaniawan menghambakan hidupnya kepada raja yang disebut sebagai wikuhaji.
Para rohaniawan biasanya tinggal di sekitar bangunan agama, yaitu: mandala,
dharma, sima, wihara, dan sebagainya. Kaum Ksatria merupakan keturunan dari
pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu, yang mempunyai tugas memerintah tampuk
pemerintahan. Keluarga raja dapat dikatakan merupakan keturunan dari kerajaan
SingasariMajapahit yang dapat dilihat dari silsilah keluarganya dan
keluarga-keluarga kerabat raja tersebar ke seluruh pelosok negeri, karena
mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang disebut sebagai wargahaji
atau sakaparek. Semua anggota keluarga raja masing-masing diberi nama atas
gelar, umur, dan fungsi mereka di dalam masyarakat.
Pemberian
nama pribadi dan nama gelar terhadap para putri dan putra raja didasarkan atas
nama daerah kerajaan yang akan mereka kuasai sebagai wakil raja. Waisya
merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan. Mereka
bekerja sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah, dan beternak. Kemudian
kasta yang paling rendah dalam catur warna adalah kaum sudra yang mempunyai
kewajiban untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama pada golongan
brahmana.
Golongan
terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut sebagai
pancama (warna kelima), yaitu:
a.
Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki (golongan
sudra) dengan wanita (dari ketiga golongan lainnya: brahmana, waisya, dan
waisya). Sehingga sang anak mempunyai status yang lebih rendah dari ayahnya.
b.
Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan warna
kulit, yaitu para pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll.)
yang tidak menganut agama Hindu.
c.
Tuccha ialah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya adalah
para penjahat. Ketika mereka diketahui melakukan tatayi, maka raja dapat
menjatuhi hukuman mati kepada pelakunya. Perbuatan tatayi adalah membakar rumah
orang, meracuni sesama, mananung, mengamuk, merusak, dan memfitnah kehormatan
perempuan.
Dari
aspek kedudukan dalam masyarakat Majapahit, wanita mempunyai status yang lebih
rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka untuk melayani
dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak boleh ikut campur
dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur rumah tangga mereka. Dalam
undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak boleh
bercakap-cakap dengan lelaki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk
menghindari pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.
Pada
masa Majapahit bidang seni budaya berkembang pesat, terutama seni sastra. Karya
seni sastra yang dihasilkan pada masa zaman awal Majapahit, antara lain sebagai
berikut:
a.
Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada tahun 1365. Isinya
menceritakan hal-hal sebagai berikut:
1)
Sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit dengan masa pemerintahannya.
2)
Keadaan kota Majapahit dan daerah-daerah kekuasaannya.
3)
Kisah perjalanan Raja Hayam Wuruk ketika berkunjung ke daerah kekuasaannya di
Jawa Timur beserta daftar candi-candi yang ada.
4)
Kehidupan keagamaan dengan upacara-upacara sakralnya, misalnya upacara Srrada
untuk menghormati roh Gayatri dan menambah kesaktian raja.
b.
Kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi riwayat Sutasoma,
seorang anak raja yang menjadi pendeta Buddha.
c.
Kitab Arjunawijaya karangan Empu Tantular. Kitab tersebut berisi tentang
riwayat raja raksasa yang berhasil ditundukkan oleh Raja Arjunasasrabahu.
d.
Kitab Kunjarakarna dan Parthayajna, tidak jelas siapa pengarangnya. Kitab itu
berisi kisah raksasa Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia, dan pengembaraan
Pandawa di hutan karena kalah bermain dadu dengan Kurawa.
Sedangkan,
karya seni sastra yang dihasilkan pada zaman akhir Majapahit antara lain,
sebagai berikut:
a.
Kitab Pararaton, isinya menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit.
b.
Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat.
c.
Kitab Sorandakan, isinya tentang pemberontakan Sora.
d.
Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe.
e.
Kitab Panjiwijayakrama, isinya riwayat R.Wijaya sampai dengan menjadi Raja
Majapahit.
f.
Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar.
g.
Kitab Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau Jawa oleh
Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Di
samping seni sastra, seni bangunan juga berkembang pesat. Bermacam-macam candi
didirikan dengan ciri khas Jawa Timur, yaitu dibuat dari bata, misalnya Candi
Panataran, Candi Tigawangi, Candi Surawana, Candi Jabung, dan Gapura Bajang
Ratu.
4. Kehidupan Agama Kerajaan Majapahit
Pada
masa Kerajaan Majapahit berkembang agama Hindu Syiwa dan Buddha. Kedua umat
beragama itu memiliki toleransi yang besar sehingga tercipta kerukunan umat
beragama yang baik. Raja Hayam Wuruk beragama Syiwa, sedangkan Gajah Mada
beragama Buddha. Namun, mereka dapat bekerja sama dengan baik.
Rakyat
ikut meneladaninya, bahkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua agama itu
merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa–Buddha. Hal itu ditegaskan lagi
dalam Kitab Sutasoma dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma
Mangrwa. Artinya, walaupun beraneka ragam, tetap dalam satu kesatuan, tidak ada
agama yang mendua. Urusan keagamaan diserahkan kepada pejabat tinggi yang
disebut Dharmmaddhyaksa.
Jabatan
itu dibagi dua, yaitu Dharmmaddhyaksa Ring Kasaiwan untuk urusan agama Syiwa
dan Dharmmaddhyaksa Ring Kasogatan untuk urusan agama Buddha. Kedua pejabat itu
dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang disebut dharmmaupatti. Pejabat itu,
pada zaman Hayam Wuruk yang terkenal ada tujuh orang yang disebut sang upatti
sapta. Di samping sebagai pejabat keagamaan, para upatti juga dikenal sebagai
kelompok cendekiawan atau pujangga. Misalnya, Empu Prapanca adalah seorang
Dharmmaddhyaksa dan juga seorang pujangga besar dengan kitabnya
Negarakertagama. Untuk keperluan ibadah, raja juga melakukan perbaikan dan
pembangunan candi-candi.
G. Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Sesudah
mencapai puncak pada abad ke-14 kekuasaan Majapahit berangsurangsur melemah.
Tampak terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406 antara
Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja
yg dipertengkarkan pada tahun 1450-an dan pemberontakan besar yg dilancarkan
oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam
tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yg berbunyi sirna ilang
kretaning bumi. Sengkala ini konon adl tahun berakhir Majapahit dan harus
dibaca sebagai 0041 yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini
adl “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yg sebenar digambarkan
oleh candrasengkala tersebut adl gugur Bre Kertabumi raja ke-11 Majapahit oleh
Girindrawardhana.
Ketika
Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai
memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15 pengaruh
Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan sebuah
kerajaan perdagangan baru yg berdasarkan agama Islam yaitu Kesultanan Malaka
mulai muncul di bagian barat nusantara. Catatan sejarah dari Tiongkok Portugis
(Tome Pires) dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi
perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati
Unus penguasa dari Kesultanan Demak antara tahun 1518 dan 1521 M.