Sejarah Kerajaan Dana Mbojo Di Bima - Pada
akhir abad XV sampai awal abad XVI Bima merupakan sebuah kerajaan maritim yang diperhitungkan terutama pada di bidang
perniagaan dan politik. Pada saat itu dipimpin oleh Raja Manggampo Donggo dan
Ma Wa’a Npada. Catatan Tome Pires, seorang berkebangsaan Portugis, menceritakan pada tahun 1513 M Bima dipimpin oleh seorng raja kafir yang memiliki
banyak perahu, bahan makanan dan kayu sopang yang dibawanya ke Malaka untuk
dijual ke Cina.
![]() |
Sejarah Kerajaan Dana Mbojo Di Bima |
Pada
abad XVII M, Bima adalah pusat penyiaran Islam di Nusantara bagian timur bersama
dengan Ternate dan Makassar. Akhir abad XVII peran Bima menjadi lebih besar
dari Ternate dan Makassar. Karena pada awal abad XVII M Belanda sudah berhasil
melunakkan Sultan Mandarsyah Ternate dan kemudian pada tahun 1669 dapat
melumpuhkan kekuatan Makassar sebagai kesultanan yang disegani di Indonesia
bagian timur. Pemerintahan kesultanan Bima ketika itu dipimpin oleh Abil Khair
Sirajudin (sultan Bima ke-2 menjabat pada tahun 1640-1682).
A. Sejarah
Kerajaan Bima
Bima adalah
kabupaten daerah tingkat II di propinsi Nusa Tenggara Barat dan kerajaan yang
terpenting di pulau sumbawa maupun di kawasan pulau-pulau Sunda Kecil pada
kurun waktu abad ke 17-19. Dengan terbentuknya propinsi daerah tingkat I Nusa
Tenggara Barat melalui UU No.64/1958, maka sebagian besar wilayah kerajaan bima
yang pada waktu itu masih berstatus sebagai Swapraja menjadi wilayah Kabupaten
Daerah Tingkat II Bima dengan Ibu kotanya di Raba-Bima.
Kerajaan Bima
merupakan salah satu dianatara 6 kerajaan yang pernah ada di pulau Sumbawa
yaitu Dompu, Sanggar, Tambora, Papekat, Sumbawa dan Bima. Sejak kapan dan bila
mana kerajaan Bima didirikan dan oleh siapa belum ada sumber yang pasti. Dalam
kitab Negara kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 M, disebutkan bahwa
Taliwang, Dompu, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Seram atau Seran, Hutan Kadali
termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Meskipun ahli-ahli
arkeologi dan sejarah berpendapat bahwa nama-nama tersebut berlokasi di pulau
sumbawa ataukah sebagai tempat singgah (pelabuhan) para pelaut yang kemudian di
taklukkan oleh kerajaan Majapahit.
Sumber sejarah
Bima adalah artefak, prasasti dan manuskrip. Sumber-sumber tersebut
menceritakan tentang fase sejarah sejak masa prasejarah hingga masuknya
Islam. Ada dua prasasti yang ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu
berbahasa Sanskerta dan satunya lagi berbahasa Jawa kuno. Ini menunjukkan
bahwa, kedua bahasa tersebut ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain
prasasti, juga banyak terdapat naskah-naskah kuno yang ditulis di era Islam,
sehingga bisa digunakan untuk mengungkap sejarah di era tersebut. Naskah kuno
berbahasa Melayu tersebut menceritakan kehidupan sejak abad ke-17 hingga 20 M.
Selain bahasa Melayu, sebenarnya bahasa Bima juga cukup berkembang, namun,
bahasa ini belum mencapai taraf bahasa tulis.
Bo Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang
ditulis dalam bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada
abad ke-14 M. Ketika itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang
disebut Ncuhi. Pulau Sumbawa tersebut terbagi dalam lima wilayah
kekuasaan Ncuhi: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. Ncuhi
terkuat adalah Ncuhi Dara, wilayahnya disebut Kampung Dara. Struktur Ncuhi
mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud, anak Sang Bima diangkat menjadi
Raja Bima pertama. Selanjutnya, Indra Zamrud menggunakan nama ayahnya, yaitu
Bima untuk menyebut kawasan yang meliputi pulau Sumbawa tersebut.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan
menjadi Sangaji atau Raja yang pertama. Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu
pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia
di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi
Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman
ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan.
Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh
Sangaji atau Raja.
Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama
daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan
Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku. Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur
atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat
serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku
Makasar dan Bugis. Dou Mbojo yang enggan
membaur dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau
pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan.
Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu
disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di
kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal
di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang),
sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang
Donggo Timur).
B. Kejayaan Kerajaan Mbojo Bima
Pada masa pemerintahan sangaji Manggampo Jawa, di
sekitar abad 14 M, kerajaan Mbojo Bima mengalami kemajuan yang amat pesat.
Manggampo Jawa adalah putra sangaji Indra Terati dengan permaisuri yang berasal
dari bangsawan Majapahit. Itulah sebabnya Manggampo Jawa menjalin kerja sama
dengan Majapahit dalam membangun kerajaan. Dalam rangka meningkatkan kemajuan dibidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, Manggampo Jawa mendatangkan para ahli dari
Majapahit, dibawah pimpinan Ajar Panuli. Ajar
Panuli dan kawan-kawannya, mengajarkan sastra jawa kepada para pembesar istana
dan rakyat. Mulai saat itu, rakyat mengenal tulisan, Menurut ahli sejarah, pada
masa itu pula sangaji Manggampo Jawa, merintis penulisan naskah kuno yang
bernama “bo”. Sayang naskah kuno bo yang ditulis pada masa Manggampo Jawa,
sudah tidak ada lagi. Bo yang merupakan sumber sejarah yang masih ada sekarang,
berasal dari bo yang ditulis pada masa kesultanan. Selain berjasa dalam bidang sastra, Ajar Panuli
berhasil memajukan ilmu teknologi. Ia mengajarkan cara pembuatan batu bata dan
pembuatan keris serta tombak.
Pada masa pemerintahan Batara Indra Luka putra
Manggampo Jawa, hubungan dengan Majapahit masih terjalin dengan intim. Begitu
pula pada masa pemerintahan sangaji Maha Raja Indra Seri, putra dari Batara
Indra Luka. Ketika
pemerintahan sangaji Ma Wa’a Paju Longge, putera dari Maha Raja a Indra Seri,
hubungan dengan Majapahit terputus. Sebab pada saat itu Majapahit sudah
mengalami kemunduran. Karena terjadi perang saudara yang berkepanjangan,
setelah wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364. Ma Wa’a Paju Longge yang, memerintah di sekitar abad 15 M, meningkatkan
hubungan dengan kerajaan Gowa. Pada saat itu kerajaan Gowa, sedang berada dalam
jaman kejayaan, di bawah raja Imario Gau Tumi Palangga. Ma Wa’a Paju Longge pergi ke Gowa untuk mempelajari
ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian ia mengirim dua orang
saudaranya, yang bernama Bilmana dan Manggampo Donggo ke Gowa. Sejak itu sistim politik pemerintahan, pertanian,
pertukangan dan pelayaran serta perniagaan, mengikuti sistim yang berlaku di
Gowa. Seni budaya Gowa ikut pula mempengaruhi seni budaya Mbojo Bima. Setelah sangaji Ma Wa’a Paju Longge mangkat, ada satu
peristiwa yang menarik untuk dijadikan contoh bagi generasi muda. Menurut ketentuan yang berlaku, apabila sangaji yang
mangkat tidak mempunyai putera, maka yang menggantikannya adalah saudaranya
yang tertua. Ketentuan itu terpaksa dilanggar oleh Bilmana dan Manggampo
Donggo. Dengan penuh keikhlasan, Bilmana
menyerahkan jabatan sangaji kepada adiknya Manggampo Donggo. Ia sendiri
memegang jabatan Tureli Nggampo (perdana menteri). Hal ini dilakukan demi
rakyat dan negeri. Karena Manggampo Donggo memiliki bakat dan keahlian untuk
menjadi sangaji. Sedangkan Bilmana cocok untuk menjadi Tureli Nggampo.
Kebijaksanaan ini diperkuat dengan sumpah yang bernama sumpah Bilmana dan
Manggampo Donggo. Sejak itu keturunan Manggampo Donggo menjadi raja dan sultan.
Sebaliknya, anak cucu Bilmana menjadi Tureli Nggampo atau Ruma Bicara. Manggampo Donggo bersama Bilmana, bahu membahu
membangun kerajaan. Mereka berjuang tanpa kenal menyerah.
Sistim pemerintahan, disempurnakan dan disesuaikan
dengan sistim yang berlaku di kerajaan Gowa. Selain sangaji dan Tureli Nggampo,
diangkat pula tureli (menteri), jeneli (camat), gelara (kepada desa). Pelayaran dan perniagaan pun berkembang
dengan pesat. Kapal dan perahu ditingkatkan jumlah dan mutunya. Mengikuti ilmu
pelayaran dan perniagaan kerajaan Gowa.
Perkembangan dalam bidang sastra dan seni budaya
pun cukup cerah. Manggampo Donggo memperkenalkan aksara yang dipelajari dari
Gowa. Aksara itu akhirnya menjadi aksara Mbojo. Manggampo Donggo melanjutkan penulisan Bo
dengan aksara Mbojo. Seni budaya dari Gowa, dipelajari dan dikembangkan
ditengah masyarakat. Sehingga lahir seni budaya Mbojo, yang banyak persamaan
dengan seni budaya Makasar dan Bugis.Wilayah kekuasaan kerajaan Mbojo Bima,
terbentang luas dari P. Satonda di sebelah barat sampai ke Alor Solor di
sebelah Timur. Perluasan wilayah dilakukan oleh La Mbila putera Bilmana. Kejayaan kerajaan Mbojo Bima, terus
bertahan sampai pada sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, putera Manggampo Donggo
disekitar abad 16 M.
C. Kemunduran Kerajaan Mbojo Bima
Setelah sangaji Ma Wa’a Ndapa mangkat, maka cahaya
kejayaan kerajaan mulai redup dan akhirnya padam. Pasti ada dikalangan generasi muda yang
bertanya keheranan. Kenapa terjadi petaka di kerajaan yang jaya dan besar itu
?. Apakah karena diserang oleh musuh dari luar atau karena ada pemimpin dan
rakyat yang berkhianat ?. Timbulnya petaka bukan karena serangan musuh dari
luar, tetapi karena ada musuh dalam selimut. Salah seorang putera raja Ma Wa’a
Ndapa yang bernama Salisi berkhianat kepada don labo dana (rakyat dan negeri).
Ia berambisi menjadi Sangaji. Untuk mewujudkan ambisinya, Salisi membunuh
Sangaji Samara kakaknya sendiri. Kemudian, ia membunuh Jena Teke (putera
mahkota) di padang perburuan mpori Wera. Walau demikian Salisi tidak berhasil mewujudkan
cita-citanya. Majelis Hadat bersama seluruh rakyat mengangkat Sawo (Asi Sawo)
menjadi Sangaji. Salisi bertambah kecewa, ia menunggu waktu yang tepat guna
mewujudkan cita-citanya.
Pada masa pemerintahan Sangaji Asi Sawo, untuk
sementara waktu Salisi berdiam diri, guna menyusun kekuatan. Pada tahun 1605,
Salisi menjalin kerja sama dengan Belanda di pelabuhan Ncake (wilayah desa Roka
Kecamatan belo / Pali Belo sekarang). Kerja sama itu dinyatakan dalam satu perjanjian
yang disebut perjanjian Ncake. Saat yang dinanti-nanti oleh Salisi tiba. Ketika
Sangaji Asi Sawo mangkat, Salisi berusaha untuk membunuh putera Asi Sawo yang
bernama La Ka’i, yang sudah diangkat oleh Majelis Hadat sebagai Jena Teke.
Suasana istana dan seluruh negeri kembali kacau. La
Ka’i bersama pengikut Iari meninggalkan istana. Pergi bersembunyi di desa Teke
(Kecamatan Belo / Pali Belo sekarang), kemudian pindah ke dusun Kalodu yang
berada di tengah hutan belantara. Dengan bantuan Belanda, untuk sementara Salisi
berhasil menguasai istana. Kemarahan dan kebencian rakyat kepada Salisi kian
berkobar. Mereka terus menyusun kekuatan untuk mengembalikan La Ka’i ke tahta
kerajaan. Akibat ulah Salisi, akhirnya
kerajaan Mbojo Bima mundur dan kacau. Rakyat menderita lahir bathin. Perjuangan
seluruh sangaji dan rakyat pada masa lalu dikhianati Salisi yang bekerja sama
dengan Belanda.
D. Masuk dan Berkembangnya Islam di Bima
Para ahli sepakat bahwa masuknya islam atau
kedatangan islam di indonesia berawal dari kontak antara penduduk setempat
dengan orang-orang islam melalui perdagangan, kemudian ada di antara mereka
yang bermukim atau sudah ada penduduk setempat yang memeluk agama islam
meskipun jumlahnya kecil. Berkembangnya Islam atau Islamisasi adalah penyebaran
Islam di suatu tempat atau dari satu tempat ke tempat yang lain melalui da’wah
baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan sehingga terbentuk
masyarakat yang bercorak Islam. Konsep-konsep semacam itu semestinya dibedakan
meskipun dalam banyak hal sulit ditarik batas yang tegas.
Para penulis sejarah barat dan indonesia
berpendapat bahwa agama islam masuk ke indonesia dibawa oleh orang arab
sendiri. Prof Snouck Horgronye berpendapat bahwa agama islam masuk ke Indonesia
dari India, dibawa pedagang-pedagang India yang telah memeluk agama Islam pada
waktu itu. Menjelang masa disintegrasi Kerajaan Majapahit
tumbuh bandar perdagangan seperti Gresik, Tuban dan Sedayu. Negeri tersebut
selain menjadi pusat perdagangan juga menjadi penyiaran agama Islam di Jawa dan
daerah-daerah sekitarnya. Bahkan jauh sebelum masa disintegrasi mubaliq Islam
bernama Malik Ibrahim bersama temannya Muhammad Sadik langsung datang ke istana
majapahit untuk mengajak Raja Majapahit memeluk agama Islam, tetapi ajakannya di
tolak. Malik Ibrahim yang dikenal juga dengan nama Maulana Magribi kembali ke
Gresik. Disana ia meninggal pada 12 Rabiul-awal 822 H.
Pada masa selanjutnya penyiaran agama islam di
pulau Jawa dilakukan oleh 9 orang wali atau sebutannya wali songo yakni:
1.
Malik Ibrahim atau di Gresik 6. Sunan Kali Jogo di Adilangu dekat
demak
2.
Sunan Ampel di Surabaya 7.
Sunan Kudus di Kudus
3.
Sunan Bonang di Tuban 8.
Sunan Murio di gunung Murio
4.
Sunan Drajat di Sedayu 9.
Sunan Gunung Jati di Cirebon Jawa Barat
5.
Sunan Giri di Gresik
Sunan Giri menjadi anak angkat seorang wanita
terkaya di Surabaya. Ia belajar agama Islam pada Sunan Ampel, kemudian
mendirikan keraton dan masjid di bukti Giri dekat Gresik. Maka tidak
mengejutkan bila kota Gresik selain menjadi pusat perdagangan juga menjadi
pusat penyiaran dan pengembangan agama Islam. Para pedagang Gresik khususnya
sambil berdagang, mereka menyiarkan agama Islam sebagai pembawa misi Sunan
Prapen anak Sunan Giri.
Dr.E.Utrech dalam bukunya Sejarah
Hukum Internasional di Bali dan Lombok menulis:
“Menurut Babad Tanah Lombok maka
peng-islam-an pulau Lombok terjadi dibawah pemerintahan Sunan Prapen, putera
Susuhunan Ratu Giri yang pernah menaklukan kerajaan-kerajaan Sumbawa dan Bima”
Mungkin bersumber dari Babad Tanah Lombok tersebut atau ada sumber lain
sehingga Zollinger berkesimpulan bahwa agama Islam masuk di Kerajaan Bima sejak
tahun 1450 atau 1540.
E. Tradisi Bima
Inilah uniknya Bima. Dalam satu kawasan dan satu
wilayah, terdapat corak dan warna serta cara berpakaian yang agak berbeda.
Adalah pakaian Adat Donggo dan Sambori memiliki perbedaan corak dan cara busana
dengan masyarakat Bima pada umumnya. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah
warna pakaiannya yang serba hitam. Kenapa Hitam ? Karena dalam tradisi lama,
pakaian-pakaian tersebut sangat melekat dengan upacara-upacara dan ritual
masyarakat Donggo lama terutama ritual kematian.
Busana adat masyarakat Donggo dan Sambori di
kabupaten Bima memang berbeda dengan busana atau pakaian adat masyarakat Bima
pada umumnya. Salah satu ciri yang menonjol adalah corak dan warna pakaiannya
yang serba hitam dan menggunakan Sambolo(Sejenis Penutup Kepala yang terbuat
dari kain kapas dan biasanya bercorak kotak-kotak). Sejak dulu, masyarakat Donggo
yang bermukim di sebelah barat teluk Bima memang punya tata cara dan pengaturan
busana yang sangat apik. Pakaian anak-anak, remaja dan dewasa memang dibedakan.
Meskipun warna dasar busana mereka adalah hitam. Untuk perempuan dewasa menggunakan KABABU
yang terbuat dari benang katun yang disbut baju pendek (Baju Poro seperti baju
adapt Bima yang lengan pendek). Dibawahnya memakai Deko ( sejenis celana
panjang sampai di bawah lutut. Untuk perhiasan memakai kalung dan manik-manik
giwang. Untuk remaja perempuan tetap memakai Kababu atau baju lengan pendek.
Namun dalam cara memaki perhiasan agak berbeda yaitu mereka melilitkan
berkali-kali dan dibiarkan terjuntar dari leher ke dada. Untuk kaum pria, mereka mengenakan baju Mbolo Wo’o
atau baju leher bundar dan berwarna hitam seperti baju kaos.
Dibawahnya mereka mengenakan sarung yang disebut Tembe Me’e Donggo yang
terbuat dari benang kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Lalu
dipinggangnya dipasangkan Salongo sejenis ikat pinggang berwarna merah atau
kuning yang berfungsi sebagai tempat untuk menyematkan pisau atau keris atau
parang. Senjatanya sekaligus asesoris adalah pisau Mone( Pisau kecil) yang
behulu panjang dengan bentuk agak menjorok. Untuk alas kaki atau sandal mereka
menggunakan Sadopa yang terbuat dari kulit binatang dan dibuat sendiri. Dalam
tradisi masyarakat Donggo, mereka juga membedakan pakaian untuk berpergian dan
pakaian sehari-hari. Mereka tetap menggunakan Sambolo dan Tembe Me’e Donggo di
bawahnya. Namun mereka menyertakan Salampe yang terbuat dari kain dan berfungsi
sebagai ikat pinggang juga.
Demikianlah Sejarah Kerajaan Dana Mbojo Di Bima yang sempat kami bawakan dan jangan lupa juga untuk menyimak Sejarah Kerajaan Kediri.