Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia - Keinginan masyarakat Indonesia
untuk memiliki hukum perkawinan secara tertulis yang isinya merupakan wujud
dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di dalam masyarakat tersebut,
baik itu hukum perkawinan adat maupun hukum perkawinan menurut ketentuan agama
yang ada. Keinginan ini sudah muncul
pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai
pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru
dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
![]() |
beberapa adat perkawinan di indonesia |
Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia
A. Masa Kerajaan di Indonesia
Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa
dahulu di Indonesia pernah
berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera
dan Bali , sedangkan di daerah lain mendapat
pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang
kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba
kesaktian. Pada zaman Hindu ini tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh
hukum agama Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang
(khususnya dari Cina).
Diantara kerajaan-kerajaan tersebut adalah
kerajaan Sriwijaya, Singosari dan Majapahit. Pada zaman Majapahit
hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada,
diantara usaha yang dilakukan patih Gajah Mada yaitu : membagi bidang-bidang
tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal : soal perkawinan, peralihan
kekuasaan, ketentaraan Negara. Keputusan pengadilan pada masa itu disebut :
Jayasong (Jayapatra), Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab
Hukum Gajah Mada”.
Setelah kerajaan-kerajan bercorak hindu dan
budha tersebut runtuh, kemudian di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak
Islam. Agama Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke – 7
masehi atau bertepatan dengan abad ke- 1 hijriah, ada juga yang berpendapat
pada tahun ke-30 hijriah atau bertepatan dengan tahun 650 masehi. Ketika wilayah
Nusantara dikusai oleh para sultan, hukum Islam diberlakukan di dalam wilayah
kekuasaanya dan sultan sendiri sebagai penanggung jawabnya. Sultan berperan
aktif sebagai piñata agama Islam dengan cara mengangkat penghulu sebagai kadi
syariah dan pemberi fatwa – fatwa agama. Manifestasi dari ketentuan ini dapat
dilihat dari bentuk pemerintahan pada waktu itu, yaitu adanya alun-alun yang
dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung dan Lembaga Pemasyarakatan.
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri
telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia . Bahwa kerajaan-kerajaan
Islam yang berdiri di Indonesia
telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di
Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15 dan 16
M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak,
Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada
penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat
dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum
keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian Timur Indonesia
berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate ,
Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.
B. Masa
Penjajahan di Indonesia
Ketika Belanda
masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde
Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para
sultan tetap dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan
hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui
sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan
dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya.
Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku
hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus
perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar” di Semarang,
“Shirathal Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar- Raniry di Kota Raja Aceh
dan kitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin” yang diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan Kadi di
Banjar Masin, kemudian kitab “Sajirat al- Hukmu” yang digunakan
oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan Mataram.
Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang
disebut dengan Compendium Freijer, mengikuti nama penghimpunnya.
Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon , Semarang ,
dan Makasar (Bone dan Gowa).
Pada awalnya Belanda
melalui VOC masuk ke Indonesia
dengan membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka
sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk
menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka
bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak
dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada
dalam masyarakat terus ber jalan, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan
sebagaimana mestinya.
Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800- 1811.
Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda,
pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia
dengan hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat
Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C.
Van Den Berg bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah
undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan
nama teori “Recepcio in Complexu”
yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).
Dalam perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak
sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat Indonesia
bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan
nama teori “Receptie”.
Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi
mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia , melainkan hukum adatlah
yang diakui. Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis :
”sebelum
hukum untuk bangsa Indonesia
ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku yang
sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat”
Pada saat itu walaupun wewenang Penghoeluegerecht
(Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat
(perkawinan) tidak turut dihapus, namun dengan lahirnya peraturan ini jelas
sangat merugikan umat Islam Indonesia .
Seandainya ajaran Islam telah menjadi adat kebiasaan di suatu daerah, maka
tentu tidak terlalu banyak menjadi persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa
melangsungkan pernikahan melalui Penghoeluegerecht.
Namun bagimana dengan seorang muslim atau muslimah yang tinggal di lingkungan
yang tidak agamis atau tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya non muslim,
maka apakah juga harus melangsungkan pernikahan menurut adat daerah tersebut
yang mungkin bertentangan dengan hukum Islam?
Dalam Indesche Staatsregeling
(IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; ”Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur
Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah
peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk
Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka,
baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan...”. Kemudian
dalam ayat 4
disebutkan; ”Orang Indonesia
asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu
peraturan bersama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan menundukkan diri pada
hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa...”
Menurut peraturan ini siapapun bisa menundukkan diri terhadap
undang-undang Eropa, baik karena kehendak mereka sendiri maupun secara bersama.
Ini artinya seorang muslim atau muslimah boleh menikah dengan menggunakan BW
sebagai landasan hukumnya, sementara BW/ KUH-Perdata sendiri tidak mengatur
tentang hukum
nikah beda agama. Maka dapat disimpulkan bahwa undang-undang yang ada ketika
itu tidak protektif terhadap umat Islam, karena membuka peluang bagi terjadinya
nikah beda agama dan pemurtadan melalui pernikahan, baik untuk muslim maupun
muslimah.


Jika di amati secara seksama sebenarnya
dari dua pasal di atas nampak jelas bagaimana upaya kolonoal Belanda berupaya
menundukkan masyarakat dengan hukum mereka, tidak bisa secara paksa karena
dikhawatirkan pemberontakan yang besar maka diupayakan jalan halus.
Walaupun wewenang Penghoeluegerecht
(Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat
(perkawinan) tidak turut dihapus, namun tidak ada peraturan yang bersifat
megikat dan memaksa bahwa umat Islam harus mengurus masalah pernikahannya
melalui penghoeluegerecht. Yang ada
malah kelonggaran untuk menundukan diri pada hukum Belanda/BW/ KUH Perdata
sendiri adalah kitab undang-undang yang secara asal dibuat untuk golongan warga
negara bukan asli (Indonesia), yaitu untuk golongan warga yang berasal dari
Tionghoa dan Eropa yang mana perundang-undangannya disesuaikan dengan
undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda. Dalam Indesche Staatsregeling
pasal 131 diantaranya berbunyi; ”Untuk golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh)
perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi)”. Sementara Belanda sendiri mayoritas penduduknya
beragama Kristen, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung, kebijakan
hukumnya pasti terpengaruh/ mendukung dengan ajaran Kristen.
Sebagai contoh kita bisa lihat dalam Bab IV
(Tentang Perkawinan) dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagian Kedua
(tentang acara yang harus mendahului perkawinan), pasal 53 berbunyi;
”...Pengumuman tidak boleh dilangsungkan pada hari Minggu; dengan hari Minggu
dalam hal ini dipersamakan: hari Tahun Baru, hari Paskah dan Pantekosta kedua,
kedua-duanya hari Natal
dan hari Mikhrad Nabi”. Contoh lain adalah pada pasal 27 dalam bab yang sama
pada bagian pertama (tentang syarat-syarat perkawinan) yang intinya sama sekali
melarang poligami.
Pada Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal
22-25 Desember 1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar
segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu
kekompakan dalam mengusir penjajah.
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan
Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie
op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut:
Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu
pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang
diputuskan oleh hakim. Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya
diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan
yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak
oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan
dengan hukum Islam. Suara perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang setuju ternyata
tidak cukup kuat hingga rencana ordonansi tersebut tidak jadi dibicarakan dalam
Volksraad (Dewan Rakyat).
Sampai berakhirnya masa penjajahan,
Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membuat undag-undang yang berisi hukum
material tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia . Perturan hukum materiil
tentang perkawinan yang dibuat dan ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial,
hanyalah berupa perturan hukum perkawinan yang berlaku untuk golongan-golongan
tertentu yaitu : Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi
orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen, Kitab undang-undang Hukum
Perdata (BW) yang berlaku bagi warga keturunan Eropa dan Cina, kemudian
peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR. Sedangkan
peraturan hukum perkawinan bagi ummat Islam yang sempat ditinggalkan oleh
Pemerintah Kolonial hanyalah berupa peraturan hukum formal yang mengatur tata
cara perkawinan sebagai mana terdapat dalam kitab-kitab fikih yang karang oleh
ulama-ulama di kalangan ummat Islam.
C. Masa Setelah
Kemerdekaan.
1. Masa Orde Lama
Pemerintahan dimasa pasca
kemerdekaan adalah pemerintahan dalam kepemimpinan orde lama (1945 – 1965), di
era orde lama ini keinginan memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku bagi
seluruh bangsa Indonesia ,
ternyata belum juga terwujud. Beberapa peraturan hukum perkawinan peninggalan
pemerintah Kolonial Belanda masih tetap diberlakukan bagi bangsa Indonesia
menurut golongannya masing-masing. Hukum perkawinan yang berlaku adalah sebagai
berikut :
1.
Bagi orang-orang Indonesia asli
berlaku hukum Adat.
2.
Bagi orang-orang Indonesia
asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam.
3.
Bagi orang-orang Indonesia asli
beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI).
4.
Bagi warga Negara keturunan
Eropa dan Cina berlaku Kitab
undang-undang Hukum Perdata (BW).
5.
Bagi perkawinan campuran
berlaku peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.
Karena golongan Kristen dan warga Negara
keturunan (Eropa dan Cina) telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan, maka
dalam peraktik, jarang dijumpai permasalahan-permaslahan yang sulit dalam
perkawinan mereka. Ini berbeda dengan golongan Islam yang belum memiliki
kodofikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani oleh ummat Islam
masih tersebar dalam beberapa kitab fikih munakahat
karya mujtahid dari Timur Tengah
seperti imam Syafi’I misalnya. Pemahaman ummat Islam Indonesia terhadap kitab-kitab
fikih munakahat tersebut sering tidak
seragam, sehingga muncul kasus-kasus perkawinan seperti misalnya, perkawinan
anak-anak, kawin paksa, serta penyalah gunaan hak talak dan poligami.
Keadaan demikian rupanya mendapat perhatian
dari pemerintah Republik Indonesia, sehingga pada tahun 1946 atau tepatnya satu
tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan
Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang
berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di
Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera. Dalam pelaksanaan
Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1947
yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain
berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 juga berisi tentang keharusan
PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan
kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi
pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Kemudian pada tahun 1954 melalui
undaang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan
berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar
Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana
undang-undang perkawinan. Oleh karena desakan tersebut akhirnya pemerintah RI, pada
akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1
Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan,
Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini menyusun suatu
Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena
keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum
umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku
Hasan.
Tahun
1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang- Undang Perkawinan
yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama
dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan
agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia
menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi
pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau
pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari
1953. Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan
unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan
antara lain :
- Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua
belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18
bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan
- Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
- Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama
yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga
dapat memenuhi syarat keadilan;
- Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan
menjadi milik bersama;
- Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri,
berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur
dalam peraturan Hukum Islam;
- Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan
mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan
kekuasaan orang tua dan perwalian.
Tanggal 24 April 1953 diadakan
hearing oleh Panitia
Nikah, Talak dan
Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam
rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk
menyusun
Undang-Undang
Perkawinan menurut sistem yang berlaku :
- Undang-Undang Pokok yg
berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama.
- Undang-Undang Organik,
yang
mengatur
soal
perkawinan
menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan;
- Undang-Undang untuk
golongan
netral,
yaitu yang tidak
termasuk
suatu golongan agama
agama.
Tahun 1954 akhirnya panitia
telah berhasil membuat
Rancangan Undang- Undang tentang Perkawinan
Umat
Islam
yang
kemudian
disampaikan
oleh
Menteri Agama
kepada Kabinet akhir bulan September
1957 dengan penjelasan masih akan ada amandemen-amandemen yang
menyusul. Tetapi
sampai
permulaan tahun
1958 belum ada tindakan-tindakan apapun
dari
pemerintah mengenai soal undang-undang perkawinan itu.
Pemerintah juga selama
bertahun-tahun tidak memberikan tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa
anggota wanita parlemen
di bawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan
inisiatif terpenting diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia
sebuah masalah yang menggemparkan bahwa didalam
usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu
keharusan untuk menjalankan monogami. Pemerintah pada waktu
itu sudah memberikan reaksi dengan
mengemukakan suatu
rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional terdapat keraguan apakah bagi
orang-orang Islam diperlukan hukum perkawinan. Bukankah
peraturan-peraturan yang sekali telah diberikan
Tuhan, sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat diperuntukkan untuk segala
zaman
dan
negara.
Bahan-bahan
baru
untuk
didiskusikan
yakni rencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober
1959, Rancangan Undang-Undang Soemari tersebut
ditarik
kembali
oleh
para pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang
besar
dari
sejumlah
anggota
DPR, Rancangan tersebut
sepertinya
tidak
bepeluang
untuk
dibicarakan.
Para anggota Partai Islam mengadakan
perlawanan, terutama terhadap asas monogami
yang dikandung dalam Rancangan
tersebut. Sudah barang tentu sebagai organisasi kaum perempuan memprotes
argumentasi yang dipergunakan
untuk membenarkan poligami.
Hal tersebutlah sebagai faktor internal yang menyebabkan gagalnya RUU tersebut
untuk diundangkan. Selain faktor tersebut, ada pula faktor ekternal yang kemudian muncul, yaitu terjadinya
perubahan system ketatanegaraan RI akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sampai pemerintahan orde lama berakhir,
undang-undang perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga
terbentuk, kendatipun tuntutan untuk segera dibentuk undang-undang perkawainan
terus bermunculan, baik yang dating dari pihak pemerintah sendiri maupun yang
datang dari organisasi kemasyarakatan seperti misalnya dari Kongres Wanita
Indonesia, Musyawarah Nasional Untuk Pekerja Sosial (1960), Musyawarah
Kesejahteraan Keluarga (1960), dan Konferensi BP4 Pusat (1962).
1.
Masa Orde Baru.
Pada periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971
Parlemen (DPR-GR) membahas kembali RUU perkawinan, yaitu :
1.
RUU
Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang diajukan kepada
DPR-GR bulan Mei 1967.
2.
RUU
ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman, yang diajukan
kepada DPR-GR bulan September 1968.
Pembahasan kedua RUU inipun pada
akhirnya mengalami kemacetan, karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu
RUU yang menyangkut hukum agama. Menurut fraksi Katolik dalam “pokok-pokok
pikirannya mengenai RUU Perkawinan” itu yang dimuat dalam harian Operasi
edisi (14 s/d 18 April 1969).
“…..tjara
pengaturan perkawinan sebagaimana ditentukan oleh kedua Rantjangan
undang-undang adalah tidak sesuai dengan hakekat Negara Pantjasila, hal jang
demikian berarti bahwa ada perubahan dasar Negara. Negara tidak lagi berdasar
pantjasila tetapi berdasarkan agama ; hal mana tjotjok dengan perinsip jang
terkandung dalam Piagam Djakarta”.
Pendirian Fraksi
katolik tersebut mendapatkan tanggapan dari umat Islam, antaranya dari
Hasbullah Bakry (waktu itu bertugas sebagai Kepala PUSROH Islam POLRI) di
harian Pedoman (1-8-1969) sebagai berikut :
“Dan apabila
Undang-undang ini tidak djadi, maka partai Katolik tidaklah mentjapai tudjuan
politiknya djuga. Undang-undang jang mengatur perkawinan dengan predikat aagama
jang dianut warganja itu memang sudah ada sejak sebelum pantjasila diresmikan
dan telah diperkuat oleh Negara Pantjasila. Dan ini tidak perlu diartikan
Pepublik Indonesia
lalu telah berobah menjadi Negara Agama. Sebaliknja dengan penolakan partai
Katholik itu, warga Indonesia jang berakal sehat, dapat menganggap sikap itu
akan mengchianati kepentingan social bangsa Indonesia, menentang perbaikan
nasib kaum Ibu jang kebetulan beragama Islam.
Pada bulan Juli
1973, pemerintah melalui Departemen Kehakiman yang telah merumuskan RUU
Perkawinan, mengajukan kembali RUU tersebut kepada DPR hasil pemilu tahun 1971,
yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal.
Kemudian Prisiden Soeharto dengan Amanatnya menarik kembali kedua RUU perkawinan yang disampaikan kepada DPR-GR
dalam tahun 1967 tersebut di atas.
RUU perkawinan 1973
itu ternyata mendapat perlawanan dari kalangan Islam. Segenap organisasi dan
tokoh Islam yang lama berkecimpung dalam soal-soal yang menyangkut bidang
agama, berpendapat bahwa RUU Perkawinan itu bertentangan dengan agama dan
karenanya bertentangan pula dengan Pansasila dan UUD 1945. Meskipun pada waktu itu
pemerintah dan DPR belum melakukan pembahasan internal, baik membentuk pansus
maupun panja. Menurut Amak FZ, kalau
dinilai dari segi komposisi kekuatan fraksi-fraksi di DPR, dimana fraksi PPP
yang merupakan satu-satunya fraksi yang menentang RUU karena bertentangan
dengan ajaran Islam.
Gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan
berdatangan dari pelbagai komunitas, baik masyarakat, ulama dan pemerintah
sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua fraksi PPP KH. Yusuf
Hasyim yang telah mencatat pelbagai kekeliruan dalam RUU Perkawinan
dan bertentangan dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam negara yang berdasarkan
pancasila yang berketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian.
Apa yang disampaikan KH. Yusuf Hasyim tersebut bukan
tanpa alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari amanat Presiden RI Nomor
R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU Perkawinan dari DPR yang tujuannya
lebih memperhatikan kemaslahatan umat. Sejalan dengan pendapat KH. Yusuf Hasyim, Buya HAMKA juga
menolak tegas draf RUU Perkawinan tersebut yang dinilai bertentangan dengan
ajaran Islam. HAMKA menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy bahwa yang
dipelihara dalam syariat itu lima
perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Dalam konteks pemeliharaan keturunan, memelihara agar
jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan sampai musnah karena
kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah sunah rasul dan zina adalah
perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat Islam diharamkan kawin
dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di dalam draf RUU Perkawinan disahkan,
maka perkawinan semacam itu disahkan negara. Anak yang dikandung di luar nikah
gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah, dengan draf RUU tersebut boleh
menjadi anak yang sah, walaupun Islam memandang anak itu adalah anak zina.
Suara dari perguruan tinggi Islam juga dominan dalam
menyikapi draf RUU Perkawinan, IAIN Sunan Kalijaga menyampaikan pendapat
akademisnya terkait proses penggodokan RUU Perkawinan inisiatif pemerintah.
Dalam penelitian Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terdapat 14
pasal RUU Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan Hukum Islam, antara lain
tentang definisi perkawinan, peluang poligami dan poliandri, tidak ada
penegasan pembatasan poligami, pembatasan izin pengadilan kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang, jangka waktu istri pergi tanpa kabar, soal
wali, larangan perkawinan karena hubungan pengangkatan anak, soal perbedaan
agama dalam perkawinan, waktu tunggu (iddah),
soal larangan kawin lagi bagi suami istri yang sudah bercerai untuk kedua
kalinya, soal pertunangan dan soal putusnya perkawinan.
Dari 73 Pasal RUU Perkawinan, terdapat sejumlah Pasal
yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut sebagian Ulama pada masa
itu, sebenarnya secara hukum negara tidak bertentangan mutlak karena masih
melihat kemaslahatan umat, antara lain penulis nukilkan pasal 2 ayat (1) RUU
Perkawinan yang sekarang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat Indonesia,
pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi: "Perkawinan adalah syah
apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam
daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut
ketentuan Undang-Undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak
yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.
Dalam pandangan para ulama, sahnya
perkawinan adalah pada saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali mempelai wanita dengan
mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, Islam tidak menolak
adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih dari sekedar menuruti
kebutuhan administratif pemerintahan dan tidak menentukan sah atau tidaknya
suatu perkawinan.
Kemudian, yang menarik untuk disimak adalah ketentuan
Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi :"1) Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya. 2) Anak yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dapat diakui oleh
ayahnya. 3) Anak yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini, dapat disyahkan dengan
perkawinan”. Menyikapi draf RUU
Perkawinan inisiatif pemerintah tersebut, dalam musyawarah para ulama tanggal
24 Rajab 1393 H/22 Agustus 1973 di Denanyar Jombang atas prakarsa KH. M. Bisri
Sjansuri, memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan.
Suatu RUU yang sudah nyata bertentangan dengan hukum
Islam apabila tetap dipaksakan juga menjdi undang-undang, resikonya adalah
undang-undang tersebut sulit untuk bisa berlaku efektif dalam masyarakat yang
mayoritas beragama Islam : sebab, bagi ummat Islam menaati suatu undang-undang
yang bertentangan dengan hukm Islam, sama artinya dengan melakukan perbuatan haram.
Selain itu bila dilihat dari segi huk ketatanegaraan, suatu undang-undang yang
bertentangan dengan hukum (agama) Islam, merupakan pengingkaran atas jaminan
yang telah diberikan oleh UUD 1945 pada
Pasal 29, yaitu jaminan bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan ajaran agamanya
masing-masing. Atas dasar inilah umat Islam menolak RUU Perkawinan tersebut.
Penolakan umat Islam atas RUU tersebut, ternyata mendapat
perhatian dari pemerintah. Presiden Soeharto sendiri ketika menerima delegasi
partai / Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang dipimpin oleh KH. Bisri
Syamsuri (Ketua DPP-PPP) dan KH. Masykur (Ketua F-PP), sebagaimana yang
diberitakan dalam harian Abadi (26-11-1973), memberikan perhatian terhadap
pokok-pokok pikiran kelompok ini. Serangkaian lobbying-lobying kemudian
diselenggarakan oleh penguasa-penguasa tingkat tinggi dengan Fraksi Persatuan
Pembangunan bersama-sama Fraksi ABRI sebagai realisasi dari pertemuan dari
pertemuan antara delegari Fraksi PP tersebut dengan Presiden Soeharto tersebut.
Sehingga akhirnya dicapailah suatu konsensus antara kedua Fraksi tersebut. Konsensus tersebut yang pada pokoknya memuat
bahwa semua Hukum agama Islam tentang yang telah termuat dalam RUU tersebut
tidak akan dikurangi, kemudian sebagai konsekuensinya maka semua peraturan
pelaksananya juga tidak akan diubah, tidak hanya itu saja semua hal-hal yang
bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU
tersebut dihilangkan. Dengan adanya Konsensus tersebut maka draft RUU tersebut
mau tidak mau harus diubah dengan mengacu kepada hal-hal yang telah disepakati
dalam Konsensus.
Adanya perubahan terhadap RUU tersebut sebagai
pelaksanaan dari hasil Konsensus di atas, ternyata kurang disukai oleh kelompok
Nasrani. Dalam pandangannya kelompok Nasrani berpendapat bahwa antara hukum
negara dan hukum agama harus dipisahkan. Atau dengan kata lain kelompok ini
tidak menyetujui pentransformasian norma hukum agama menjadi norma
perundang-undangan negara. Pandangan ini
sesuai dengan doktrin Gereja, yang menganut faham pemisahan antara urusan agama
(gereja) dengan urusan Negara. Urusan negara diatur oleh hukum Negara dan
urusan agama (gereja) diatur oleh hukum agama (gereja).
Sedemikian alotnya perdebatan mengenai RUU perkawinan
tersebut, dimana pada saat itu pembicaraan mengenai RUU tersebut merupakan
topik yang sangat hangat, dari semua kalangan baik itu dari Islam, Kristen,
Organisasi Masyarakat, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Kewanitaan dan tokoh –
tokoh tingkat tinggi menaruh perhatian yang sangat besar sebelum RUU tersebut
disahkan menjadi Undang-undang.
Jika dilihat dari sejarahnya pada waktu maka pembicaraan
RUU perkawinan 1973 di DPR sesuai dengan tata tertib, dilakukan melalui empat
tingkat. Tingakat pertama, merupakan penjelasan pemerintah atas RUU tersebut.
Tingkat kedua, merupakan pemandangan umum masing-masing Fraksi atas RUU
tersebut dan tanggapan Pemerintah atas pandangan umum itu. Tingakat tiga,
berupa rapat Komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) ntuk membahas RUU
tersebut, yang dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama
panitia kerja RUU perkawinan. Tingkat empat, pengambilan keputusan (pengesahan
RUU perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari masing-masing Fraksi.
Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang
masuk dalam panitia kerja maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh
pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 tersebut diteruskan dalam Sidang
Paripurna DPR-RI, sebagaimana pembicaraan tingkat empat di atas, untuk disahkan
menjadi undang-undang. Dalam sidang tersebut semua Fraksi mengemukakan
pendapatnya, demikian juga pemerintah yang diwakili menteri Kehakiman meberikan
kata akhirnya. Pada hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh
DPR-RI setelah memakan waktu pembahasan tiga bulan lamanya. Pada tangga 2
Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974, tambahan LN Nomor 3019/1974.
Untuk terlaksananya UU tersebut
maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana
dari UU perkawinan tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya ternyata Pengadilan
Agama sebagai lembaga yuridis yang menangani masalah perkawinan antara
orang-orang Islam ternyata dalam putusannya banyak yang disparitas dalam
menerapkan hukum, oleh karena ada hal-hal yang tidak tercover dalam UU
perkawinan dan PP peraturan pelaksananya, untuk menghendel hal tersebut maka melaui
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam sebagai
acuan baku bagi para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara.
2.
Masa Reformasi.
Pada tahun
1998 Rezim Orde Baru berakhir, dengan mundurnya Presiden Soeharto sebagai
Presiden, akibat desakan dari mahasiswa. Dari sejak lengsernya pemerintahan
orde lama tersebut maka pemerintahan berikutnya mendapat istilah dengan “era
reformasi” sampai dengan sekarang ini.
Pada era reformasi hukum perkawinan
mendapat suatu perubahan yang sangat fenomenal dengan diubahnya bunyi pasal 43
ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi.
Tepatnya Jumat 17 Februari 2012
Masehi, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1433 Hijriah, Mahkamah
Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang revolusioner sepanjang sejarah MK di
Republik ini. Sebagaimana dilangsir vivanews.com, Mahfud menilai putusan MK ini
sangat penting dan revolusioner. Sejak MK mengetok palu, semua anak yang lahir
di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah
mereka. Di luar pernikahan resmi yang dimaksud Mahfud ini termasuk kawin siri,
perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen leven.
Sebelumnya, pihak
Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad
Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) juga mengajukan uji materil terhadap Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinilai
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Namun, MK hanya mengabulkan sebagian dari
permohonan Pemohon tersebut.
Dalam pandangan Prof.
Mahfud MD, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat
tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Putusan ini lantas mengundang
pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum,
akademisi,
LSM,
MUI,
bahkan
masyarakat.
Putusan
MK mengenai
pengakuan anak di luar perkawinan begitu “mengejutkan”. Walaupun melegakan
sejumlah pihak, tapi
akan
ada
permasalahan baru
yang
timbul dari
putusan mahkamah konstitusi tersebut. Ditambah lagi pernyataan Mahfud MD di media massa sebagai mana yang
utarakan di atas.
Permaslahan perkawinan yang
fenomenal berikutnya adalah dengan menikahnya Bupati Garut “Aceng Fikri” secara
di bawah tangan atau nikah sirri dan
menceraikan isterinya tersebut dengan SMS, yang berakibat dipecatnya Aceng
Fikri dari kursi Bupati. Permasalahan tersebut menurut sebahagian ahli hukum
bukan merupakan perbuatan pidana karena tidak unsur zina didalamnya sebagaimana
yang diatur KUHP, akan tetapi mengapa Aceng Fikri tetap juga dipecat dari
jabatan Bupati.
Dari masalah-maslah yang muncul
seperti di atas menurut para pemulis,
undang-undang perkawinan yang telah ada sekarang ini sudah kurang sesuai
dengan perkembangan zaman di Negara ini. Oleh karenanya merumuskan kembali
revisi Undang-Undang Perkawinan adalah sebuah keniscayaan dalam konteks
kekinian dimana hukum bersifat dinamis selalu berubah-ubah dalam ruang dan
waktu.
Dalam
daripada itu pemerintah sebagai penggagas sejak enam tahun yang lalu telah
mengusulkan RUU tentang
Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan dan baru dimasukkan dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010. RUU tentang Hukum Materiil
Peradilan Agama (RUU HMPA) terdiri dari 25 BAB dan 156 pasal, yang pada
pokoknya mengatur tentang Perkawinan, dalam RUU ini akan terjadi perubahan yang
cukup signifikan karena ada beberapa hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 tahun 1975 tetapi diatur dalam RUU tersebut.
Demikianlah Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia yang sempat kami paparkan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi Sejarah Perkembangan Satanisme (Pemuja Setan) yang kami bagikan sebelumnya.