Saturday, June 10, 2017

Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia

Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia - Keinginan masyarakat Indonesia untuk memiliki hukum perkawinan secara tertulis yang isinya merupakan wujud dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di dalam masyarakat tersebut, baik itu hukum perkawinan adat maupun hukum perkawinan menurut ketentuan agama yang ada. Keinginan  ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 


sejarah perkawinan indonesia
beberapa adat perkawinan di indonesia

Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia

A. Masa Kerajaan  di Indonesia
Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa dahulu di Indonesia pernah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. Pada zaman Hindu ini tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang (khususnya dari Cina).

Diantara kerajaan-kerajaan tersebut adalah kerajaan Sriwijaya, Singosari dan Majapahit. Pada zaman Majapahit hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada, diantara usaha yang dilakukan patih Gajah Mada yaitu : membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal : soal perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan Negara. Keputusan pengadilan pada masa itu disebut : Jayasong (Jayapatra), Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”.

Setelah kerajaan-kerajan bercorak hindu dan budha tersebut runtuh, kemudian di Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Agama Islam masuk ke bumi Nusantara ini secara damai pada abad ke – 7 masehi atau bertepatan dengan abad ke- 1 hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 hijriah atau bertepatan dengan tahun 650 masehi. Ketika wilayah Nusantara dikusai oleh para sultan, hukum Islam diberlakukan di dalam wilayah kekuasaanya dan sultan sendiri sebagai penanggung jawabnya. Sultan berperan aktif sebagai piƱata agama Islam dengan cara mengangkat penghulu sebagai kadi syariah dan pemberi fatwa – fatwa agama. Manifestasi dari ketentuan ini dapat dilihat dari bentuk pemerintahan pada waktu itu, yaitu adanya alun-alun yang dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung dan Lembaga Pemasyarakatan.

Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.

Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.

B.   Masa Penjajahan di Indonesia
Ketika Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar” di Semarang, “Shirathal Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar- Raniry di Kota Raja Aceh dan kitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin” yang diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan Kadi di Banjar Masin,  kemudian kitab “Sajirat al- Hukmu” yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan Mataram.

Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freijer, mengikuti nama penghimpunnya. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).

Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus ber jalan, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya.

Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800- 1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in Complexu” yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).

Dalam perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan nama teori “Receptie”.

Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah yang diakui. Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis :
”sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat”

Pada saat itu walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun dengan lahirnya peraturan ini jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia. Seandainya ajaran Islam telah menjadi adat kebiasaan di suatu daerah, maka tentu tidak terlalu banyak menjadi persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa melangsungkan pernikahan melalui Penghoeluegerecht. Namun bagimana dengan seorang muslim atau muslimah yang tinggal di lingkungan yang tidak agamis atau tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya non muslim, maka apakah juga harus melangsungkan pernikahan menurut adat daerah tersebut yang mungkin bertentangan dengan hukum Islam?

Dalam Indesche Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; ”Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan...”. Kemudian dalam ayat 4 disebutkan; ”Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa...”

Menurut peraturan ini siapapun bisa menundukkan diri terhadap undang-undang Eropa, baik karena kehendak mereka sendiri maupun secara bersama. Ini artinya seorang muslim atau muslimah boleh menikah dengan menggunakan BW sebagai landasan hukumnya, sementara BW/ KUH-Perdata sendiri tidak mengatur tentang hukum nikah beda agama. Maka dapat disimpulkan bahwa undang-undang yang ada ketika itu tidak protektif terhadap umat Islam, karena membuka peluang bagi terjadinya nikah beda agama dan pemurtadan melalui pernikahan, baik untuk muslim maupun muslimah.

Jika di amati secara seksama sebenarnya dari dua pasal di atas nampak jelas bagaimana upaya kolonoal Belanda berupaya menundukkan masyarakat dengan hukum mereka, tidak bisa secara paksa karena dikhawatirkan pemberontakan yang besar maka diupayakan jalan halus.

Walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun tidak ada peraturan yang bersifat megikat dan memaksa bahwa umat Islam harus mengurus masalah pernikahannya melalui penghoeluegerecht. Yang ada malah kelonggaran untuk menundukan diri pada hukum Belanda/BW/ KUH Perdata sendiri adalah kitab undang-undang yang secara asal dibuat untuk golongan warga negara bukan asli (Indonesia), yaitu untuk golongan warga yang berasal dari Tionghoa dan Eropa yang mana perundang-undangannya disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda. Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 diantaranya berbunyi; ”Untuk golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi)”. Sementara Belanda sendiri mayoritas penduduknya beragama Kristen, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung, kebijakan hukumnya pasti terpengaruh/ mendukung dengan ajaran Kristen.
 Sebagai contoh kita bisa lihat dalam Bab IV (Tentang Perkawinan) dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagian Kedua (tentang acara yang harus mendahului perkawinan), pasal 53 berbunyi; ”...Pengumuman tidak boleh dilangsungkan pada hari Minggu; dengan hari Minggu dalam hal ini dipersamakan: hari Tahun Baru, hari Paskah dan Pantekosta kedua, kedua-duanya hari Natal dan hari Mikhrad Nabi”. Contoh lain adalah pada pasal 27 dalam bab yang sama pada bagian pertama (tentang syarat-syarat perkawinan) yang intinya sama sekali melarang poligami.

Pada Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.

Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim. Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Suara perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang setuju ternyata tidak cukup kuat hingga rencana ordonansi tersebut tidak jadi dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat).

Sampai berakhirnya masa penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membuat undag-undang yang berisi hukum material tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Perturan hukum materiil tentang perkawinan yang dibuat dan ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial, hanyalah berupa perturan hukum perkawinan yang berlaku untuk golongan-golongan tertentu yaitu : Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen, Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi warga keturunan Eropa dan Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR. Sedangkan peraturan hukum perkawinan bagi ummat Islam yang sempat ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial hanyalah berupa peraturan hukum formal yang mengatur tata cara perkawinan sebagai mana terdapat dalam kitab-kitab fikih yang karang oleh ulama-ulama di kalangan ummat Islam.

C. Masa Setelah Kemerdekaan.
     1. Masa Orde Lama
            Pemerintahan dimasa pasca kemerdekaan adalah pemerintahan dalam kepemimpinan orde lama (1945 – 1965), di era orde lama ini keinginan memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, ternyata belum juga terwujud. Beberapa peraturan hukum perkawinan peninggalan pemerintah Kolonial Belanda masih tetap diberlakukan bagi bangsa Indonesia menurut golongannya masing-masing. Hukum perkawinan yang berlaku adalah sebagai berikut :
1.      Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat.
2.      Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam.
3.      Bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI).
4.      Bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku  Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW).
5.      Bagi perkawinan campuran berlaku peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR.

Karena golongan Kristen dan warga Negara keturunan (Eropa dan Cina) telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan, maka dalam peraktik, jarang dijumpai permasalahan-permaslahan yang sulit dalam perkawinan mereka. Ini berbeda dengan golongan Islam yang belum memiliki kodofikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani oleh ummat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab fikih munakahat karya mujtahid dari Timur Tengah seperti imam Syafi’I misalnya. Pemahaman ummat Islam Indonesia terhadap kitab-kitab fikih munakahat tersebut sering tidak seragam, sehingga muncul kasus-kasus perkawinan seperti misalnya, perkawinan anak-anak, kawin paksa, serta penyalah gunaan hak talak dan poligami.

Keadaan demikian rupanya mendapat perhatian dari pemerintah Republik Indonesia, sehingga pada tahun 1946 atau tepatnya satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. Kemudian pada tahun 1954 melalui undaang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.

            Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Oleh karena desakan tersebut akhirnya pemerintah RI, pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku Hasan.

            Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang- Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953. Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
  1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan
  2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
  3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan;
  4. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama;
  5. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam;
  6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.
Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan,  yang dalam rapatnya bulan Mei  1953  Panitia  memutuskan  untuk  menyusun  Undang-Undang  Perkawinan menurut sistem yang berlaku :
  1. Undang-Undang  Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama  (uniform), dengan tidak menyinggung agama.
  2. Undang-Undang  Organik,  yang  mengatur  soal  perkawinan  menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan;
  3. Undang-Undang  untuk  golongan  netral,  yaitu  yang  tidak  termasuk suatu golongan agama agama.
Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat Rancangan Undang- Undang  tentang  Perkawinan  Umat  Islam  yang  kemudian  disampaikan  oleh Menteri  Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan masih   akan   ada    amandemen-amandemen    yang   menyusul.   Tetapi   sampai permulaan  tahun  1958  belum  ada  tindakan-tindakan  apapun  dari  pemerintah mengenai soal undang-undang perkawinan itu.

Pemerintah  juga  selama  bertahun-tahun   tidak  memberikan  tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa didalam usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan untuk menjalankan monogami. Pemerintah  pada  waktu  itu  sudah  memberikan  reaksi  dengan  mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional terdapat keraguan apakah  bagi orang-orang Islam diperlukan hukum perkawinan.  Bukankah  peraturan-peraturan  yang  sekali  telah  diberikan  Tuhan, sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat diperuntukkan untuk  segala  zaman  dan  negara.  Bahan-bahan  baru  untuk  didiskusikan  yakni rencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.

Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959, Rancangan  Undang-Undang  Soemari  tersebut  ditarik  kembali  oleh  para pengajunya, kendati  memperoleh  perhatian  yang  besar  dari  sejumlah  anggota DPR, Rancangan  tersebut  sepertinya  tidak  bepeluang  untuk  dibicarakan.  Para anggota Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah barang tentu sebagai organisasi kaum          perempuan memprotes argumentasi  yang  dipergunakan untuk membenarkan poligami. Hal tersebutlah sebagai faktor internal yang menyebabkan gagalnya RUU tersebut untuk diundangkan. Selain faktor tersebut, ada pula faktor ekternal  yang kemudian muncul, yaitu terjadinya perubahan system ketatanegaraan RI akibat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Sampai pemerintahan orde lama berakhir, undang-undang perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga terbentuk, kendatipun tuntutan untuk segera dibentuk undang-undang perkawainan terus bermunculan, baik yang dating dari pihak pemerintah sendiri maupun yang datang dari organisasi kemasyarakatan seperti misalnya dari Kongres Wanita Indonesia, Musyawarah Nasional Untuk Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), dan Konferensi BP4 Pusat (1962).

1.          Masa Orde Baru.
Pada  periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971 Parlemen (DPR-GR) membahas kembali RUU perkawinan, yaitu :
1.          RUU Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang diajukan kepada DPR-GR bulan Mei 1967.
2.          RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September 1968.
Pembahasan kedua RUU inipun pada akhirnya mengalami kemacetan, karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama. Menurut fraksi Katolik dalam “pokok-pokok pikirannya mengenai RUU Perkawinan” itu yang dimuat dalam harian Operasi edisi (14 s/d 18 April 1969).

            “…..tjara pengaturan perkawinan sebagaimana ditentukan oleh kedua Rantjangan undang-undang adalah tidak sesuai dengan hakekat Negara Pantjasila, hal jang demikian berarti bahwa ada perubahan dasar Negara. Negara tidak lagi berdasar pantjasila tetapi berdasarkan agama ; hal mana tjotjok dengan perinsip jang terkandung dalam Piagam Djakarta”.

            Pendirian Fraksi katolik tersebut mendapatkan tanggapan dari umat Islam, antaranya dari Hasbullah Bakry (waktu itu bertugas sebagai Kepala PUSROH Islam POLRI) di harian Pedoman (1-8-1969) sebagai berikut :
            “Dan apabila Undang-undang ini tidak djadi, maka partai Katolik tidaklah mentjapai tudjuan politiknya djuga. Undang-undang jang mengatur perkawinan dengan predikat aagama jang dianut warganja itu memang sudah ada sejak sebelum pantjasila diresmikan dan telah diperkuat oleh Negara Pantjasila. Dan ini tidak perlu diartikan Pepublik Indonesia lalu telah berobah menjadi Negara Agama. Sebaliknja dengan penolakan partai Katholik itu, warga Indonesia jang berakal sehat, dapat menganggap sikap itu akan mengchianati kepentingan social bangsa Indonesia, menentang perbaikan nasib kaum Ibu jang kebetulan beragama Islam.

            Pada bulan Juli 1973, pemerintah melalui Departemen Kehakiman yang telah merumuskan RUU Perkawinan, mengajukan kembali RUU tersebut kepada DPR hasil pemilu tahun 1971, yang terdiri dari 15  bab dan 73 pasal. Kemudian Prisiden Soeharto dengan Amanatnya menarik kembali kedua RUU  perkawinan yang disampaikan kepada DPR-GR dalam tahun 1967 tersebut di atas.

            RUU perkawinan 1973 itu ternyata mendapat perlawanan dari kalangan Islam. Segenap organisasi dan tokoh Islam yang lama berkecimpung dalam soal-soal yang menyangkut bidang agama, berpendapat bahwa RUU Perkawinan itu bertentangan dengan agama dan karenanya bertentangan pula dengan Pansasila dan UUD 1945. Meskipun pada waktu itu pemerintah dan DPR belum melakukan pembahasan internal, baik membentuk pansus maupun panja. Menurut Amak FZ, kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan fraksi-fraksi di DPR, dimana fraksi PPP yang merupakan satu-satunya fraksi yang menentang RUU karena bertentangan dengan ajaran Islam.

            Gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan berdatangan dari pelbagai komunitas, baik masyarakat, ulama dan pemerintah sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan datang dari ketua fraksi PPP KH. Yusuf Hasyim  yang telah mencatat pelbagai kekeliruan dalam RUU Perkawinan dan bertentangan dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam negara yang berdasarkan pancasila yang berketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian.

            Apa yang disampaikan KH. Yusuf Hasyim tersebut bukan tanpa alasan, justru penolakan tersebut bersumber dari amanat Presiden RI Nomor R.02/P.U/VII/1973 perihal penarikan draf RUU Perkawinan dari DPR yang tujuannya lebih memperhatikan kemaslahatan umat. Sejalan dengan pendapat KH. Yusuf Hasyim, Buya HAMKA juga menolak tegas draf RUU Perkawinan tersebut yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. HAMKA menilai, pokok ajaran tasyriul Islamy bahwa yang dipelihara dalam syariat itu lima perkara, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

            Dalam konteks pemeliharaan keturunan, memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan sampai musnah karena kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah sunah rasul dan zina adalah perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat Islam diharamkan kawin dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di dalam draf RUU Perkawinan disahkan, maka perkawinan semacam itu disahkan negara. Anak yang dikandung di luar nikah gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah, dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak yang sah, walaupun Islam memandang anak itu adalah anak zina.

            Suara dari perguruan tinggi Islam juga dominan dalam menyikapi draf RUU Perkawinan, IAIN Sunan Kalijaga menyampaikan pendapat akademisnya terkait proses penggodokan RUU Perkawinan inisiatif pemerintah. Dalam penelitian Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terdapat 14 pasal RUU Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan Hukum Islam, antara lain tentang definisi perkawinan, peluang poligami dan poliandri, tidak ada penegasan pembatasan poligami, pembatasan izin pengadilan kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang, jangka waktu istri pergi tanpa kabar, soal wali, larangan perkawinan karena hubungan pengangkatan anak, soal perbedaan agama dalam perkawinan, waktu tunggu (iddah), soal larangan kawin lagi bagi suami istri yang sudah bercerai untuk kedua kalinya, soal pertunangan dan soal putusnya perkawinan.

            Dari 73 Pasal RUU Perkawinan, terdapat sejumlah Pasal yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut sebagian Ulama pada masa itu, sebenarnya secara hukum negara tidak bertentangan mutlak karena masih melihat kemaslahatan umat, antara lain penulis nukilkan pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan yang sekarang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat Indonesia, pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan berbunyi: "Perkawinan adalah syah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.

            Dalam pandangan para ulama, sahnya perkawinan adalah pada saat akad nikah yang berupa ijab kabul oleh wali mempelai wanita dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, Islam tidak menolak adanya pencatat pernikahan yang fungsinya tidak lebih dari sekedar menuruti kebutuhan administratif pemerintahan dan tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

            Kemudian, yang menarik untuk disimak adalah ketentuan Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan yang berbunyi :"1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. 2) Anak yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, dapat diakui oleh ayahnya. 3) Anak yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini, dapat disyahkan dengan perkawinan”.  Menyikapi draf RUU Perkawinan inisiatif pemerintah tersebut, dalam musyawarah para ulama tanggal 24 Rajab 1393 H/22 Agustus 1973 di Denanyar Jombang atas prakarsa KH. M. Bisri Sjansuri, memutuskan usulan perubahan RUU Perkawinan.

            Suatu RUU yang sudah nyata bertentangan dengan hukum Islam apabila tetap dipaksakan juga menjdi undang-undang, resikonya adalah undang-undang tersebut sulit untuk bisa berlaku efektif dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam : sebab, bagi ummat Islam menaati suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukm Islam, sama artinya dengan melakukan perbuatan haram. Selain itu bila dilihat dari segi huk ketatanegaraan, suatu undang-undang yang bertentangan dengan hukum (agama) Islam, merupakan pengingkaran atas jaminan yang telah diberikan oleh UUD 1945  pada Pasal 29, yaitu jaminan bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Atas dasar inilah umat Islam menolak RUU Perkawinan tersebut.

            Penolakan umat Islam atas RUU tersebut, ternyata mendapat perhatian dari pemerintah. Presiden Soeharto sendiri ketika menerima delegasi partai / Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri (Ketua DPP-PPP) dan KH. Masykur (Ketua F-PP), sebagaimana yang diberitakan dalam harian Abadi (26-11-1973), memberikan perhatian terhadap pokok-pokok pikiran kelompok ini. Serangkaian lobbying-lobying kemudian diselenggarakan oleh penguasa-penguasa tingkat tinggi dengan Fraksi Persatuan Pembangunan bersama-sama Fraksi ABRI sebagai realisasi dari pertemuan dari pertemuan antara delegari Fraksi PP tersebut dengan Presiden Soeharto tersebut. Sehingga akhirnya dicapailah suatu konsensus antara kedua Fraksi tersebut.  Konsensus tersebut yang pada pokoknya memuat bahwa semua Hukum agama Islam tentang yang telah termuat dalam RUU tersebut tidak akan dikurangi, kemudian sebagai konsekuensinya maka semua peraturan pelaksananya juga tidak akan diubah, tidak hanya itu saja semua hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dalam RUU tersebut dihilangkan. Dengan adanya Konsensus tersebut maka draft RUU tersebut mau tidak mau harus diubah dengan mengacu kepada hal-hal yang telah disepakati dalam Konsensus.

            Adanya perubahan terhadap RUU tersebut sebagai pelaksanaan dari hasil Konsensus di atas, ternyata kurang disukai oleh kelompok Nasrani. Dalam pandangannya kelompok Nasrani berpendapat bahwa antara hukum negara dan hukum agama harus dipisahkan. Atau dengan kata lain kelompok ini tidak menyetujui pentransformasian norma hukum agama menjadi norma perundang-undangan negara.  Pandangan ini sesuai dengan doktrin Gereja, yang menganut faham pemisahan antara urusan agama (gereja) dengan urusan Negara. Urusan negara diatur oleh hukum Negara dan urusan agama (gereja) diatur oleh hukum agama (gereja).

            Sedemikian alotnya perdebatan mengenai RUU perkawinan tersebut, dimana pada saat itu pembicaraan mengenai RUU tersebut merupakan topik yang sangat hangat, dari semua kalangan baik itu dari Islam, Kristen, Organisasi Masyarakat, Organisasi Kepemudaan, Organisasi Kewanitaan dan tokoh – tokoh tingkat tinggi menaruh perhatian yang sangat besar sebelum RUU tersebut disahkan menjadi Undang-undang.

            Jika dilihat dari sejarahnya pada waktu maka pembicaraan RUU perkawinan 1973 di DPR sesuai dengan tata tertib, dilakukan melalui empat tingkat. Tingakat pertama, merupakan penjelasan pemerintah atas RUU tersebut. Tingkat kedua, merupakan pemandangan umum masing-masing Fraksi atas RUU tersebut dan tanggapan Pemerintah atas pandangan umum itu. Tingakat tiga, berupa rapat Komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) ntuk membahas RUU tersebut, yang dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama panitia kerja RUU perkawinan. Tingkat empat, pengambilan keputusan (pengesahan RUU perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari masing-masing Fraksi.

            Setelah mengalami perubahan-perubahan atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja maka RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 tersebut diteruskan dalam Sidang Paripurna DPR-RI, sebagaimana pembicaraan tingkat empat di atas, untuk disahkan menjadi undang-undang. Dalam sidang tersebut semua Fraksi mengemukakan pendapatnya, demikian juga pemerintah yang diwakili menteri Kehakiman meberikan kata akhirnya. Pada hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR-RI setelah memakan waktu pembahasan tiga bulan lamanya. Pada tangga 2 Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974, tambahan LN Nomor 3019/1974.

            Untuk terlaksananya UU tersebut maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU perkawinan tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya ternyata Pengadilan Agama sebagai lembaga yuridis yang menangani masalah perkawinan antara orang-orang Islam ternyata dalam putusannya banyak yang disparitas dalam menerapkan hukum, oleh karena ada hal-hal yang tidak tercover dalam UU perkawinan dan PP peraturan pelaksananya, untuk menghendel hal tersebut maka melaui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan baku bagi para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara.

2.          Masa Reformasi.
Pada tahun 1998 Rezim Orde Baru berakhir, dengan mundurnya Presiden Soeharto sebagai Presiden, akibat desakan dari mahasiswa. Dari sejak lengsernya pemerintahan orde lama tersebut maka pemerintahan berikutnya mendapat istilah dengan “era reformasi” sampai dengan sekarang ini.

      Pada era reformasi hukum perkawinan mendapat suatu perubahan yang sangat fenomenal dengan diubahnya bunyi pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi.

          Tepatnya Jumat 17 Februari 2012 Masehi, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1433 Hijriah, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang revolusioner sepanjang sejarah MK di Republik ini. Sebagaimana dilangsir vivanews.com, Mahfud menilai putusan MK ini sangat penting dan revolusioner. Sejak MK mengetok palu, semua anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Di luar pernikahan resmi yang dimaksud Mahfud ini termasuk kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen leven.

Sebelumnya, pihak Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) juga mengajukan uji materil terhadap Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.  Namun, MK hanya mengabulkan sebagian dari permohonan Pemohon tersebut.
Dalam pandangan Prof. Mahfud MD, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

            Putusan ini lantas mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari  kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat. Putusan MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan begitu mengejutkan. Walaupun melegakan sejumlah pihak,  tapi akan ada permasalahan  baru yang timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut. Ditambah lagi pernyataan Mahfud MD di media massa sebagai mana yang utarakan di atas.

            Permaslahan perkawinan yang fenomenal berikutnya adalah dengan menikahnya Bupati Garut “Aceng Fikri” secara di bawah tangan atau nikah sirri dan menceraikan isterinya tersebut dengan SMS, yang berakibat dipecatnya Aceng Fikri dari kursi Bupati. Permasalahan tersebut menurut sebahagian ahli hukum bukan merupakan perbuatan pidana karena tidak unsur zina didalamnya sebagaimana yang diatur KUHP, akan tetapi mengapa Aceng Fikri tetap juga dipecat dari jabatan Bupati.

            Dari masalah-maslah yang muncul seperti di atas menurut para pemulis,  undang-undang perkawinan yang telah ada sekarang ini sudah kurang sesuai dengan perkembangan zaman di Negara ini. Oleh karenanya merumuskan kembali revisi Undang-Undang Perkawinan adalah sebuah keniscayaan dalam konteks kekinian dimana hukum bersifat dinamis selalu berubah-ubah dalam ruang dan waktu.

            Dalam daripada itu pemerintah sebagai penggagas sejak enam tahun yang lalu telah mengusulkan RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan dan baru dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010. RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) terdiri dari 25 BAB dan 156 pasal, yang pada pokoknya mengatur tentang Perkawinan, dalam RUU ini akan terjadi perubahan yang cukup signifikan karena ada beberapa hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 tahun 1975 tetapi diatur dalam RUU tersebut.

Demikianlah Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia yang sempat kami paparkan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi Sejarah Perkembangan Satanisme (Pemuja Setan) yang kami bagikan sebelumnya.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Sejarah Hukum Perkawinan Di Indonesia

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment