Sejarah Banten - Nama Banten dalam sumber lokal tercatat pada naskah Carita
Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1580 dan menyebutkan adanya sebuah
tempat yang disebut Wahanten Girang yang dapat dihubungkan dengan nama Banten.
Dalam Tambo Tulangbawang dari Primbon Bayah, serta berita Cina
hingga abad ke-13, orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Kota
Banten awal mulai tumbuh sekitar abad ke-11 atau abad ke-12 Masehi. Ketika itu
Banten diduga sudah menjadi pemukiman urban penting, yang dilengkapi dengan
parit dan benteng. Masyarakat dalam pemukiman itu melakukan kegiatan kerajinan,
dari pakian sampai tembikar, peleburan besi dan perunggu, perhiasan emas, dan
manik-manik. Proses Berdiri dan Perkembangan Kesultanan Banten
![]() |
Sejarah Banten |
Pada awal abad ke-15 Masehi, di pesisir utara teluk Banten telah
tumbuh kantong-kantong pemukiman orang-orang muslim. Saat itu Banten telah
menjadi salah satu Bandar penting Kerajaan Sunda yang ibu kota kerajaannya
terletak di dekat Kota Bogor sekarang. Selain Banten, beberapa Bandar penting
Kerajaan Sunda pada awal abad ke-16, sebagaimana disebut oleh Tome Pires (1513)
adalah Pondam (Pontang), Tamgaram (Tanara), Cheguide (Cigede), Calapa (Kalapa),
dan sebagainya. Sebenarnya menjelang abad ke-16 beberapa Bandar yang terletak
di utara Jawa seperti Gresik, Demak, dan Banten telah menjadi jalur dan pusat
sosialisasi Islam di Jawa yang dilakukan oleh para wali. Penguasaan
bandar-bandar ini merupakan upaya menuntaskan Islamisasi pantai utara Pulau
Jawa. Banten sebagai kota pelabuhan antarpulau dan antarnegara kemudian tumbuh
pesat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan Kesultanan Banten sebagai
kerajaan Islam yang didirikan oleh Syarif Hidayatullah bersama anaknya
Hasanuddin.
Islamisasi Banten, menurut cerita tradisi sebagaimana disebutkan
dalam berbagai babad, dilakukan oleh Syarif Hidaytullah (Sunan Gunung Jati)
bersama 98 orang muridnya dari Cirebon yang datang ke Banten. Ia berusaha
mengislamkan Banten Ilir dan berhasil (Ambary, 1995: 2). Dalam Babad Banten diceritakan
bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin), hasil
pernikahannya dengan Dewi Kawunganten, datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk
mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Mula-mula mereka datang di Banten
Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari, tempat bersemayamnya 800 ajar
yang kemudian semuanya menjadi pengikut Hasanuddin. Di lereng Gunung
Pulosari itu, Sunan Gunung Jati mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan keislaman
kepada anaknya. Setelah ilmu yang dikuasai Hasanuddin dianggap cukup, Sunan
Gunung Jati memerintahkan supaya anaknya itu berkelana sambil menyebarkan agama
Islam kepada penduduk negeri.
Setelah Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon, menurut Babad
Banten, Islamisasi dilanjutkan oleh Hasanuddin dengan berdakwah daru satu
daerah ke daerah lain, mulai dari Gunung Pulosari, Gunung Karang, Gunung Lor,
sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Setelah tujuh tahun melakukan tugasnya
itu, Hasanuddin bertemu kembali dengan ayahnya, yang kemudian membawanya pergi
menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Dalam
menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin menggunakan
cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyambung ayam
ataupun mengadu kesaktian. Diceritakan
bahwa dalam acara menyabung ayam di Gunung Lancar yang dihadiri oleh banyak
pembesar negeri, dua orang ponggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo disebut
juga Ki Jongjo memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.
![]() |
Peta Banten |
Babad Banten selanjutnya
menyebutkan bahwa usahs Islamisasi berhasil secara menakjubkan. Hasanuddin
berhasil mengislamkan masyarakat Banten yang di dalamnya terdapat 800 orang
resi (pertapa). Setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umum di Wahanten
Girang (Banten Girang) pada tahun 1525, Hasanuddin atas petunjuk Sunan Gunung
Jati, pada tanggal 8 Oktober 1526, memindahkan pusat pemerintahan Banten, yang
tadinya berada di pedalaman Banten Girang (tiga kilometer dari Kota Serang), ke
dekat pelabuhan Banten. Dalam pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir
tersebut, Sunan Gunung Jati pulalah yang menentukan posisi dalem (istana),
benteng, pasar, dan alun-alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai Banten
yang kemudian diberi nama Surasowan. Tempat ini kemudian menjadi ibu kota
Kerajaan Banten sejak tahun 1526 Masehi.
Pemilihan Surasowan sebagai ibu kota Kesultanan Banten sebagai
pusat administrasi politik kesultanan Islam, nampaknya didasarkan atas
perimbangan antara lain karena Surasowan lebih mudah dikembangkan sebagai
bandar pusat perdagangan. Oleh karena Banten semakin besar dan maju, maka pada
tahun 1552 Masehi, Banten yang tadinya hanya sebuah kadipaten diubah menjadi
Negara bagian Demak dengan dinobatkannya Hasanuddin sebagai raja di Kesultanan
Banten dengan gelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surasowan. Kesultanan
Banten dirintis pendiriannya oleh tiga unsur kekuatan, yaitu kekuatan-kekuatan
dari Cirebon, Demak, dan Banten sendiri sejak awal abad ke-16 Masehi.
Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian
pembentukan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer
(1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu
pemerintahan yang berdiri sendiri diberi nama Kesultanan Banten.
Sebagai penguasa Islam baru di Banten ia bersikap sebagai bawahan Demak.
Wilayah kekuasaannya meliputi Banten, Jakarta dan Cirebon. Pada masanya usaha
untuk menjarah Pakuan Pajajaran masih belum terencana hal ini karena disamping
jangkauannya agak jauh dari pantai juga disibukkan oleh usaha pembenahan
kekuasaan barunya terutama dalam mengantisipasi masa transisi budaya dari Hindu
ke Islam bahkan untuk kepentingan ini ia harus berpindah-pindah tempat,
kadang-kadang di Banten kadang di Cirebon. Baru setelah Pangeran Pasareyan
dijadikan vvakilnya di Cirebon tugasnya sedikit berkurang. Pangeran Pasareyan
hanya sebentar berkuasa, ia meninggal dalam usia yang relatif muda pada tahun
1552. Kematiannya memaksa Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon untuk
selama-lamanya.
Adapun Banten dan Jayakarta penguasaannya diserahkan kepada
putranya Hasanudin. Ada satu persoalan yang patut dipaparkan di sini ialah
setelah pelabuhan Sunda Kelapa direbut Sunan Gunung Jati pada tahun 1527, orang
Portugis yang telah mengadakan perjanjian dengan Sang Hyang dari Pajajaran
tahun 1522 datang ke Sunda Kelapa untuk mendirikan perkantoran dagang mereka
tidak mengerti kalau daerah tersebut telah dikuasai oleh Islam. Terang saja
kehadiran mereka disambut dengan kekerasan senjata.
Hasanudin, penguasa kedua Banten, melanjutkan cita-cita ayahnya untuk
meluaskan pengaruh Islam. Banvak tindakan progresif yang ia lakukan dalam
rangka memberikan arah terhadap kesultanan yang baru muncul tersebut. Membangun
tempat tempat ibadah (masjid agung Banten dan Pacinan) dan sarana pendidikan
berupa pesantren di Sasunyatan (pengembangannya terjadi pada masa pemerintahan
Maulana Yusuf) adalah karya nyata Maulana Hasanudin yang menumental terhadap generasi
penerusnya. Tercatat kekuasaan Banten saat itu meliputi seluruh Banten, Jayakarta,
Krawang, Lampung dan Bengkulu. Banten yang dulunya hanya merupakan Kadipaten,
pada tahun 1552 berubah menjadi negara bagian Demak dan Pangeran Hasanudin
ditunjuk sebagai Sultannya bahkan tatkala kesultanan Demak runtuh dan di ganti
Pajang pada tahun 1568 Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai
kesultanan yang merdeka dan indipenden tanpa terkait dengan penguasa Pajang. Pusat
pemerintahan yang semula berada di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor
(Surosowan). Inisiatif Syarif Hidayatullah ini dimaksudkan agar secara politis
dan ekonomis memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dengan pesisir
Sumatra Barat, Selat Sunda dan Malaka.
Pada sekitar tahun 1570 M Sultan pertama Banten wafat dan digantikan
putra sulungnya, Pangeran Yusuf. Setelah meninggal Maulana Hasanuddin terkenal
dengan nama anumertanya "Pangeran Saba Kingking" Dibavvah kuasa
Pangeran Yusuf, kharisma Banten naik selangkah lebih tinggi. Proses Islamisasi
pun nampak tambah sempurna. Seluruh wilayah Banten, baik di pusat kota Banten
Girang, Banten Surowowan maupun daerah selatan telah mengikuti agama Islam, hal
ini disebabkan karena Adipati Pucuk Umum (penguasa tertinggi Banten Hindu)
telah menyerahkan kekuasaanya kepada penguasa Islam. Pesantren Kasunyatan yang
telah dirintis oleh Sultan Hasanuddin dikembangkannya secara intensif sehingga
mampu mengorbitkan kaderkader agama yang handal dan bertanggungjawab. Salah
satu karya nyata dari kegiatan ilmiah di pesantren Kasunyatan ialah sebuah
Al-Qur'an dengan tulisan tangan yang kini tersimpan di cungkup makam Maulana Yusuf.
Masjid Agung Banten bukan saja sebagai sarana ibadah mahdah tetapi sifungsikan
sebagai tempat dakwah dan bahsul masa'il ad-dien (diskusi problematika
agama) bagi ulama-ulama saat itu.
Dalam
upaya perluasan wilayah Islam Maulana Yusuf, yang dicatat Babad Banten sebagai
penguasa yang gagah perkasa dan memilik ketrampilan ïstimewa dalam berperang,
dengan dibantu prajurit dan tokoh agama telah mampu meruntuhkan secara pasti
kerajaan 'kafir' tua Pajajaran dan merebut Pakuan (Ibukota Kerajaan). Sukses
besar lainnya yang dicapai selama ia berkuasa ialah perhatiannya terhadap
pertanian, langkah ini ternyata membuat peri kehidupan rakyat Banten menjadi
lebih makmur. Waduk atau danau buatan yang disebut "Tasikardi"
merupakan inisiatifnya untuk mengairi persawahan-persawahan sekaligus
dimanfaatkan untuk kebutuhan istana dan kota sekitarnya.
Maulana Yusuf wafat tahun 1580 dimakamkan di Pekalongan Gede dekat
Kasunyatan maka ia terkenal dengan nama anumertanuya "Pangeran Panembahan
Pekalongan Gede" atau "Pangeran Pasareyan". Meninggalnya Maulana
Yusuf menimbulkan intrik politik di istana Banten yang baru merambah kejenjang
suksesinya. Pangeran Arya Jepara (adik Maulana Yusuf yang dididik di Jepara
oleh Ratu Kalinyatat) datang ke Banten untuk meminta supaya dirinya diangkat
sebagai pengganti saudaranya sementara menunggu sampai pangeran pewaris tahta menjadi
dewasa. Saat itu usia Pangeran Muhammad (putra mahkota) baru 9 tahun. Akan
tetapi Kadli dan pejabat besar istana lainnya memutuskan untuk tetap menobatkan
Pangeran yang masih belum dewasa itu sebagi Sultan Banten untuk mengganti
ayahnya. Adapun masalah jalannya pemerintahan sepenuhnya diperwalikan kepada
Mangkubumi sampai sang Pangeran dewasa.
Merasa kehendaknya tidak terkabul, maka tersinggunglah Pangeran Arya
Jepara dan terjadilah bentrokan senjata antara kedua belah pihak. Dalam
pertempuran itu Pangeran Jepara kalah dan akhirnya ia kembali ke Jepara dengan
tangan hampa. Setelah dewasa Maulana Muhammad terkenal sebagai seorang yang shalih
dan memiliki ghirah yang kuat untuk menyebarluaskan Islam, ia banvak mengarang
kitab serta membangun sarana-sarana ibadah sampai ke pelosok desa. Menjadi imam
dan Khatib adalah kebiasaannya. Walaupun kemajuan yang diperoleh Maulana
Muhammad tidak setinggi ayahnya namun ada suatu peristiwa menonjol yang terjadi
pada masa kekuasaannya, yaitu penyerbuan atas Palembang. Ekspedisi penyerangan
ini bermula dari bujukan Pangeran Mas (putra Aria Tangin) yang berambisi
menjadi raja di Palembang untuk menganeksasi daerah tersebut sebagai upaya
perluasan daerah Islam. Sayang dalam pada itu Sultan Banten yang relatif masih
muda itu gugur di medan tempur pada tahun 1596 dengan meninggalkan seorang
pewaris tahta yang baru berusia 5 bulan.
Pengganti Maulana Muhammad putranya Sultan Abdul Mufakhir Mahmud
Abdul Kadir (1596-1651). Karena saat penobatannya sebagai Sultan Banten keempat
ia masih balita. maka untuk yang kedua kalinya kesultanan Banten diserahkan
kuasanya (sebagai wali) kepada Mangkubumi Jayanegara, ia termasuk abdi yang
memiliki loyalitas tinggi sehingga ketika Banten berada dalam kuasanya. Baik
periode Maulana Muhammad maupun periode Abdul Mufakhir tetap dalam kondisi
stabil dan tenteram. Semenjak Mangkubumi Jayanegara wafat tahun 1602, suasana Banten
mulai dirundung oleh kemelut yang menyeret kelembah kesuraman. Iri dan ambisi
mewarnai pangeran-pangeran Banten - mereka mulai bertindak sendiri-sendiri -
kontrol pun terasa mulai mengendor. Pemberontakan bermunculan di sana-sini
sehingga boleh dikatakan periode ini merupakan periode terburuk bagi Banten
saat itu. Diluar istana (pada sisi lain) pengaruh Asing mulai terasa akibat kebijaksanaan-kebijaksanaan
Mangkubumi (pengendali kesultanan) pengganti Jayanagara, yakni ayah tiri
Pangeran sendiri yang begitu terbuka terhadap mereka.
Suasana bertambah mendung, kekacauan terus memperburuk keadaan.
Mangkubumi sudah tidak mampu lagi mengendalaikan dan mengantisipasi keadaan,
kekuasaannya hanya sebatas lingkup istana, sedangkan di luar istana para
pangeranlah yang berkuasa. Keadaan seperti ini berawal dari kehadiran
Mangkubumi yang memancing rasa curiga dan iri hati beberapa pangeran lain yang
akhirnya pengkhianatan pun terjadi dimana-mana. Aksi pengkhianatan itu berhasil
melumpuhkan Mangkubumi dan membunuhnya. Terbunuhnya Mangkubumi ini bukan
berarti menghentikan kemelut yang merundung Banten, akan tetapi justru menarik minat
dan ambisi untuk menduduki jabatan terhormat tersebut atau bahkan merebut sama
sekali tahta kesultanan Banten. Sikap demikian ini ditunjukkan oleh Pangeran
Kulon (cucu Maulana Yusuf) yang di bantu pangeran Singaraja dan Tubagus
Prabangsa yang berambisi menduduki tahta kesultanan.
Aksi pemberontakan bisa dipadamkan berkat kerja sama antara pasukan
Sultan, pasukan Pangeran Ranumanggala dan bantuan Pangeran Jayakarta dan
berakhir dengan perdamaian. Sebagai pengganti jabatan Mangkubumi diangkatlah
Pangeran Arya Ranumanggala (putra Maulana Yusuf dari isteri selir). Setelah
memangku jabatan ia segera mengadakan penertiban-penertiban, baik keamanan dalam
negeri maupun merekonstruksi kebijaksanaan Mangkubumi sebelumnya terhadap
pedagang-pedagang Eropa. Pajak ditingkatkan terutama untuk Kompeni. Tindakan
ini diambil agar para pedagang Asing enyah dari bumi Banten karena ia telah
menangkap maksud-maksud mereka yang bukan hanya berniaga tetapi hendak
mencampuri urusan dalam negeri. Tindakan tegas Arya Ranumanggala ini akhirnya
memaksa Kompeni untuk memalingkan orientasi niaganya ke Jayakarya. Di Jayakarta
mereka disambut ramah oleh Pangeran Wijayakrama dengan suatu dalih kedatangan mereka
akan meramaikan pelabuhan Sunda Kelapa yang nantinya mampu mengimbangi
pelabuhan Banten.
Melihat hubungan intim Pangeran Jayakarta dengan Kompeni terusiklah
hati Mangkubumi Arya Ranumanggala sebagai pemegang kendali Banten yang
membawahi Jayakarta untuk menghancurkan benteng-benteng asing baik Belanda
maupun Inggris yang ada dikawasan Banten. Maka diutuslah Pangeran Upapatih
untuk mengemban amanat ini. Dalam pada itu orang-orang Inggris dapat didesaknya
hingga kembali ke kapal mereka selanjutnya pasukan juga bisa mendesak Belanda, sementara
Belanda tetap defensif dan tidak mau menyerah. bantuan dari Maluku tiba. Setelah
bantuan itu datang (dipimpin J .P. Coon) pada bulan Maret 1619 kepungan
prajurit Banten tak ada artinya lagi dan mereka kembali dengan membawa
kekecewaan. Saat itulah secara resmi Jayakarta dikuasai oleh Kompeni dan dirubah
namanya menjadi Batavia. Sejak peristiwa itu kontak senjata antara Banten
dengan Kompeni agak tenang, walaupun secara kecil-kecilan masih tetap
berlanjut.
Hal ini disebabkan karena faktor intern istana; peralihan kekuasaan
dari Mangkubumi Arya Ranumanggala ( sebagai wali Sultan selama belum dewasa )
kepada Sultan Abdul Mufakhir yang sudah menjadi dewasa serta adanya usaha
Mataram untuk menganeksasi Banten melalui perantaraan Cirebon. Kontak senjata
antara Banten-Cirebon yang terjadi tahun 1650 yang kemudian terkenal dengan
"peristiwa Pagarage" atau "peristiwa Pacerebonan"' walau
dapat dimenangkan fihak Banten namun cukup membuat Banten mencurahkan segala
perhatiannya. Kontak senjata antara Banten-Kompem menjadi aktif kembali setelah
Sultan Ageng Tirtayasa menggantikan kakeknya yang meninggal pada tahun 1651. Ia
berkuasa di Banten (Sorosowan) mulai tahun 1651-1676 setelah itu karena ada
perbedaan dengan putranya Sultan Haji ia terpaksa pindah ke Tirtayasa dan
menyusun kekuatan di sana untuk mengadakan penyerangan terhadap Kompeni.
Keadaan Banten semenjak diperintah Sultan Ageng Tirtayasa lebih baik
lagi, baik di bidang politik, sosial budaya, terutama perekonomiannya. Dalam
bidang perdagangan Banten mengalami perkembangan yang pesat. Hubungan dagangnya
dengan Persia, Surat, Mekkah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin dan China
cukup mengancam kedudukan VOC yang bermarkas di Batavia. Sebagai seorang yang
taat dalam beragama ia sangat antipati kepada Belanda. Penyerangan secara
gerilya beliau lancarkan melalui darat dan laut untuk mematahkan kubu
pertahanan Belanda yang bermarkas di Batavia. Aksi teror dan sabotase yang
diarahkan kepada kapal-kapal dagang Kompeni merupakan kendala yang sangat
membahayakan bagi Belanda.
Kurang lebih dua puluh tahun lamanya Banten merasakan suasana aman
dan tentram dibawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa menjadi berubah setelah
putra sulungnya Sultah Abu Nas'r Abdul Kahar atau Sultan Haji kembali dari
tanah suci (1676) sebab ia lebih berpihak kepada Kompeni dibanding orang-orang
yang dekat dengan ayahnya. Ia semakin mudah dipengaruhi Kompeni, model hidupnya
pun mencerminkan kehidupan orang Eropa pada umumnya. Konsekuensinya rakyat jadi
korban.
Pada tahun 1680 Sultan Ageng Tirtayasa benar-benar mengalami kesulitan
sebab putranya telah membelokkan serta memotong politiknya. Akhirnya karena
dirasa sulit untuk meluruskan jalan pikiran anaknya yang telah terseret
negosiasi yang dilakukan Kompeni ia memutuskan untuk hijrah ke Tirtayasa dan
membentuk front di sana beserta pengikut setianya. Karena itulah nama Abu Fath
Abdul Fattah terkenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa. Akan tetapi
bagaimanapun sulitnya (harus berhadapan dengan putranya sendiri), ia tetap
tegar pada pendiriannya. Ia beserta para pengikut setianya terus melancarkan
serangan kepada Kompeni yang kian intensif pengaruhnya terhadap istana
Surosowan. Pada 27 Pebruari 1682, Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa baru
berhenti setelah ia ditangkap dan dipenjarakan oleh Kompeni sampai wafatnya
tahun 1692. Dengan ditanda tanganinya perjanjian antara Kompeni dan Sultan Haji
pada Agustus 1682, maka kekuasaan mutlak Sultan Banten atas daerahnya berakhir,
sedang penguasa sebenarnya adalah Kompeni. Sultan di sini hanya simbol belaka. Pengauruh
Belanda semakin terasa intensif setelah Daendeles menganeksasi Banten pada
tahun 1808. Sultan dan alat-alat politiknya dipertahankan akan tetapi berada
dibawah pengawasan ketat pemerintah Belanda. Para penguasa Banten diperbolehkan
menggunakan gelar Sultannya, akan tetapi hakekatnya mereka hanya boneka belaka,
sebab Banten sudah termasuk ke dalam wilayah Belanda.
A. Sistem Politik Keslutanan Banten
Sebagaimana kerajaan tradisional lainnya, kekuasaan Sultan di sini mempunyai
otoritas tertinggi serta mempunyai hak prerogratif penuh atas segala urusan,
baik politik atau lainnya. Pengakuan dan pengukuhan atas jabatan Sultan
ditetapkan berdasarkan warisan. Dalam melaksanakan tugasnya (bidang
administratif pemerintahan) Sultan dibantu seorang Mangkubumi dan beberapa
pejabat bawahannya; mereka ini terdiri dari golongan elite yang kebanyakan
bukan golongan pangeran atau kaum bangsawan lain. Adapun khusus untuk kerabat
Sultan atau kaum bangsawan menempati strata lebih rendah di bawah Sultan dan
lebih tinggi di atas pejabat administratif.
Untuk urusan birokrasi pusat dikepalai oleh seorang patih (wazir besar)
yang dibantu dua orang kliwon yang juga disebut Patih, sedang pengadilan dan
keagamaan diserahkan kepada Fakih Hajamuddin. Setingkat di bawahnya adalah para
punggawa yang menangani bidang administrasi dan pengawasanterhadap perekonomian
negara. Syahbandar adalah pejabat negara yang ditugasi untuk mengawasi
perdangan luar negeri di kota-kota pelabuhan. Sejajar dengan pejabat-pejabat di
kotakota pelabuhan ialah para kepala daerah. Untuk mencermati perjalanan
sejarah perpolitikan kerajaan Banten, internal maupun eksternal marilah kita
simak fase-fase berikut ini.
1.
Fase Perintisan
Pada mulanya penaklukan atas Banten
oleh Syarif Hidayatullah tahun 1525 atau 1526 hanya bermotifkan politik,
perluasan wilayah Demak dan penyebaran agama Islam dikawasan Jawa Barat yang
masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Pajajaran akan tetapi setelah Sunan
Gunung Jati pindah ke Cirebon dan Banten diserahkan kepada putranya, Maulana
Hasanuddin, Banten diberi hak penuh untuk membentuk kesultanan bawahan Demak
dengan Maulana Hasanudin sebagai sultan pertamanya bahkan tatkala kekuasaan
Demak pindah ke Pajang (Jaka Tingkir) Banten yang dependen pada Demak
diproklamasikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin sebagai kesultanan yang
independen.
Selama 18 tahun lamanya ia berkuasa
di Banten(1552-1570) banyak sekali kemajuan yang dicapai. Pusat pemerintahan
yang dulunya Banten Girang karena kepentingan strategi politik dan perdagangan
ia pindahkan ke Surosowan. Kekuasaan Banten saat itu meliputi seluruh Banten, Jayakarta,
Krawang, Lampung dan Bengkulu. Ini suatu bukti bahwa Banten yang baru saja
tampil di permukaan telah memiliki sistem politik yang bagus.
2.
Fase
Perkembangan
Fase ini diwarnai dengan tampilnya
Maulana Yusuf menggantikan ayahnya. Berada di bawah kuasanya BAnten memperoleh
popularitas dan gengsi yang tinggi di percaturan politik. Kerajaan Hindu
Pajajaran yang merupakan simbol kejayaan Pasundan saat itu bisa diruntuhkan
oleh kekuatan Maulana Yusuf yang bahu membahu dengan ulama. Dengan demikian
maka lingkup kekuasaan Banten menjadi semakin luas.
3.
Fase Krisis
Politik dan penuh intrik
Meninggalnya Maulana Yusuf tahun
1580 merupakan awal terjadinya intrik politik di lingkungan istana, sebab
ketika beliau wafat putra mahkota Pangeran Muhammad baru berusia 9 tahun.
Momentum ini dimanfaatkan oleh Pangeran Arya Jepara (adik Maulana Yusuf) untuk menampilkan
dirinya sebagai pengganti kakaknya. Ia menuntut kepada pembesar kerajaan Banten
untuk menobatkan dirinya sebagai penguasa Banten sampai pangeran yang berwenang
mencapai dewasa. Karena kehendaknya tidak dikabulkan kadli sebagai wali Sultan
maka pertempuran pun tidak dapat dihindarkan lagi. Dalam pertempuran itu Pangeran
Jepara dan prajuritnya kalah, akhirnya ia kembali ke Jepara dengan tangan
hampa. Setelah intrik politik yang ditimbulkan Pangeran Arya Jepara usai, suhu
politik Banten mengalami perubahan yang serius; musyawarah kadli memutuskan
sebagai pelaksana pemerintahan darurat sementara menunggu usia Sultan dewasa adalah
Mangkubumi.
Perubahan sistem ini kemudian
membawa pengaruh yang besar bagi perjalanan politik di kesultanan Banten karena
bagaimanapun tampilnya Mangkubumi sebagai pucuk pelaksana pemerintahan telah
memancing rasa cemburu dan iri keluarga bangsawan, terutama kalangan pangeran. Suasana
politik Banten menjadi semakin suram setelah gugurnya Maulana Muhammad dalam
ekspedisi penyerangan Palembang dalam usia yang relatif muda. Karena putra
mahkota masih 5 bulan usianya, maka untuk yang kedua kalinya kendali
pemerintahan Banten dipegang oleh Mangkubumi. Secara otomatis jabatan mangkubumi
menjadi incaran, banyak pangeran yang berambisi menduduki jabatan bergengsi
itu. Sebagai akibatnya terjadilah pemberontakan-pemberontakan disana-sini yang membuat
situasi politik menjadi melemah.
Upava ekspansi tidak mungkin bisa
dilaksanakan saat itu karena untuk menyelesaikan persoalan intern sendin cukup
banvak menyita waktu sementara di luar istana Kompeni dan orang Eropa lainnya
mulai bersiap untuk memasang politik adu dombanya. Yang sangat tragis (akibat
suhu politik yang tidak sehat) ialah Jayakarta, yang merupakan pelabuhan
andalan, terpaksa jatuh ketangan Belanda pada tahun 1619.
4.
Fase Rekonstruksi
Naik tahtanya Sultan Ageng Tirtayasa
sebagai Sultan Banten menggantikan kakeknya Sultan Abdul Mufakhir merupakan
angm segar bagi kehidupan politik di Banten. Pembenahan ke dalam serta penataan
aparatur pemerintahan secara tertib adalah langkah awalnya untku mengembalikan
Banten menjadi kesultanan yang berwibawa, terutama di mata Kompeni yang mulai
berani macam-macam di Banten. Setelah itu baru diantisipasi faktor-faktor lain yang
seolah-olah menjadikan Banten lumpuh tak berdaya. Jawaban yang ditemukan ialah
adanya penetrasi dan infiltrasi orang asing di bumi warisan Sunan Gunung Jati.
Karenanya jika Banten ingin mempunyai pengaruh yang kuat sebagaimana
periode-periode awal, maka harus mampu mengusir Kompeni dari wilayah Banten.
Segera Sultan yang anti campur
tangan asing itu melancarkan serangan-serangannya terhadap Kompeni. Teror
sabotasi dan gerilya adalah taktik strategi politiknya untuk membuat repot
Belanda. Kontak senjata antara kedua belah pihak baik di darat maupun di laut
sering terjadi tanpa dapat dihindari sehingga amatlah wajar apabila Belanda mengangap
Banten saat itu sebagai musuh yang amat berat.
5.
Fase Lepasnya
Kesultanan Banten Dianeksasi Belanda
Sistem perlawnan Sultan Ageng
Tirtayasa v ang sudah mulai menciut nyali Belanda akhirnya mendapat hambatan
setelah anaknya Sultan Haji yang baru saja tiba dari tanah suci memotong arah
politiknya serta kompromi dengan Kompeni untuk menghancurkan ayahnya sendiri. Kerjasama
antara Sultan Haji dengan Kompeni akhirnya bisa memadamkan perlawanan-perlawanan
Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikut setianya akhirnya ditangkap dan
dipenjarakan kompeni hingga wafatnya tahun 1692. Surutnya perlawanan Sultan
Ageng Tirtayasa dan naik tahtanya Sultan Haji pada dasarnya adalah kemenangan
Kompeni vang berhasil mengadu domba antara dua Sultan yang bertalian darah.
Terlebih setelah ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Haji dengan Kompeni
(1682) maka Banten betul-betul menjadi kekuasaan Kompeni sebab Sultan hanya simbol
belaka.
6.
Fase Perlawanan
Rakyat yang dipelopori Ulama
Setelah Banten dikuasai Kompeni,
sementara sultan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti kebijaksanaan
Kompeni maka muncullah pergerakan perlawanan serta pemberontakan yang terjadi
di seluruh pelosok Banten yang tidak puas terhadap Belanda yang telah mencaplok
hak asasi rakyat Banten. Rata-rata pimpinan pergerakan perlawanan itu adalah
ulama (elite agama) seperti Kiai Wakhia, Kiai Wasyid dan lain-lain. Mereka
itulah yang menyadarkan umat untuk merebut harga diri dan hak asasi rakyat Banten
yang dirampas orang-orang kafir dari dunia Barat.
B. Kedudukan dan Peran Serta Ulama dalam Kesultanan Banten
Kedudukan sultan-sultan Banten diakui bukan saja sebagai kepala pemerintahan
yang memiliki otoritas tertinggi tetapi juga sebagai kepala agama di wilayahnya
dengan demikian maka lembaga-lembaga keagamaan mendapat perhatian, pengakuan
serta perlindungan penuh dari sulta, terutama ulamanya. Mereka termasuk
kelompok kelas elite yang memiliki pengaruh besar terhadap jalannya
pemerintahan ataupun masyarakat. Tidak sedikit kaum ulama yang ditempatkan di
posisi terhormat sebagai suatu sistem dalam kerangka umum administrasi negara,
baik pusat maupun di tingkat lokal (daerah) disamping kelas administrasi sekuler
bahkan terdapat suatu lembaga tinggi pemenntah yang secara spesifik
pengelolaannya diserahkan kepada kaum ulama yaitu "Mahkamah Agung"
dengan gelar resminya Fakih Hajamuddin.
Disamping kaum elite agama yang terlibat langsung dalam kerangka sistem
administrasi pemerintah juga terdapat kelas elite agama partikelir (tidak
memiliki kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan) mereka juga mendapat
perlindungan dan Sultan. Melihat kedudukan ulama begitu terhormat, bukan saja
sebagai kaum rohaniawan tetapi juga menduduki jabatan tinggi pemerintahan, maka
peranannya pun dalam ikut serta menjaga stabilitas dan harmonisasi pemerintahan
sangatlah besar.
Ketika terjadi peristiwa penyerbuan atas Pakuan Pajajaran Hindu pada
masa pemerintahan Maulana Yusuf, peran ulama sangat besar, bukan saja sebagai
pemberi spirit tetapi juga terlibat dalam pertempuran. Suasana harmonis antara
ulama dan umara’ Berjalan dari masa kemasa hingga terjadinya aneksasi Belanda
atas Banten. Kesempatan ulama (kaum elite agama) untuk berpartisipasi dalam
soal-soal kebijaksanaan pemerintah sudah tidak ada peluang, semuanya sudah
diatur oleh Belanda. Peranan Pejabat-pejabat agama seperti penghulu, personil
masjid semakin dipersempit dan bahkan banvak didudukan pejabat-pejabat biasa dengan
pengawasan ketat dan pemenntah Belanda. Pembatasan terhadap jama'ah haji juga
dilakukan. tetapi jumlah peserta dalam setiap tahunnya terus meningkat. Sebagai
akibat dari kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mendiskreditkan kaum elite agama
(ulama) itu serta adanya pemnnatan hak asasi rakyat, maka bangkitlah
ulama-ulama Banten untuk mengadakan perlawanan terhadap Kompeni Belanda.