Sejarah Tragedi Tanjung Priok 1984 - Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut.
![]() |
Sejarah Tragedi Tanjung Priok 1984 |
Penyebab Kerusuhan Tanjung Priok 1984
Di sekitar Masjid Rawabadak
terpasang pamflet dan poster yang menghasut bersifat SARA. Karena imbauan
petugas agar pamflet-pamflet dan poster-poster itu dihapus atau dicabut tidak
dihiraukan, seorang petugas, pada hari jumat tanggal 7 September 1984, menutup
tulisan-tulisan yang bersifat menghasut itu dengan warna hitam. Selain itu,
Sersan Hermanu melakukan pengotoran mushala dengan menggunakan air comberan dan
memasuki mushola tanpa terlebih dahulu melepas sepatu. Hal ini dikarenakan,
Hermanu masih melihat poster-poster yang menghujat pemerintah ditempel di
Masjid, Penyiraman tersebut menyulut kemarahan dari umat Islam di sekitar
mushala. Akibat dari provokasi ini, warga menuntut Hermanu untuk meminta maaf
dan mengakui kesalahannya. Akan tetapi Hermanu tetap bersikukuh tidak mengakui
perbuatannya, dan pada saat yang sama sebagian masyarakat sudah sangat emosi
oleh sikap Hermanu, motor dinas Babinsa yang dikendarai Hermanu dibakar.
Hermanu berhasil diamankan oleh pengurus Masjid.
Sejarah Terjadinya Kerusuhan Tanjung Priok 1984
Tanjung Priok, sebuah daerah di
Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh, termasuk sa-lah satu daerah miskin dan
kumuh. Daerah ini menjadi tempat orang-orang desa dan pulau-pulau yang
berdekatan guna mencari penghidupan, supaya mereka dapat hidup di kota Jakarta.
Tempat ini penuh sesak oleh penduduk. Berdasarkan sensus kependudukan, Tanjung
Priok merupakan dae-rah paling padat, di mana setiap meter persegi dihuni oleh
sembilan orang. Apakah sensus ini benar atau salah, yang pasti daerah ini
dipadati oleh penduduk yang aktivitasnya non stop dua puluh empat jam.
Warung-warung dan barbar buka setiap malam. (Tim PeduliTapol,: 13).
Koja, sebuah lokasi di mana
peristiwa Tanjung Priok terjadi, merupakan daerah hunian kaum buruh galangan
kapal, buruh-buruh pabrik, bangunan dan buruh-buruh harian yang dikenal dengan
“pekerja serabutan”. Kerja perbaikan kapal merupakan kerja pokok di tempat ini.
Tanjung Priok sangat terpengaruh oleh gejolak ekonomi dan mudah sekali tersulut
berbagai issu. Penduduknya yang sangat padat, perputaran barang-barang keluar
masuk yang dikirim ke tempat- tempat lain di pulau Jawa demikian banyak. Selain
itu, tempat yang sangat miskin ini berdampingan pula dengan rumah-rumah mewah
yang dijaga oleh anjing- anjing galak. Padahal daerah ini dihuni oleh berbagai
golongan penduduk yang berbeda-beda kulturnya, seperti Banten, Jawa Barat,
Madura, Bugis, Sulawesi. Dan semua daerah yang telah disebutkan, sangat
dipengaruhi oleh kultur Islam. Di daerah semacam Tanjung Priok, masjid
merupakan barometer kehidupan, tempat berkumpulnya orang-orang tua dan
anak-anak serta tempat melepas lelah dari kepenatan kerja di jalan-jalan dan
lorong-lorong. Segala keruwetan masalah menjadi pusat pembicaraan dan omongan
diantara para jama’ah masjid. Pada pertengahan 1984, beredar issu tentang RUU
organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan asas tunggal. Hal ini
menimbulkan implikasi yang luas. Di antara pengunjung masjid di daerah ini,
terdapat seorang muballigh terkenal, menyampaikan ceramah pada para jama’ah-nya
dengan menjadikan masalah tersebut sebagai topik pembahasan, sebab rancangan
undang-undang tersebut telah lama menjadi masalah yang kontroversial.
Pada
suatu hari, 7 September 1984, seorang Babinsa datang ke mushalla kecil bernama
“Mushalla As-Sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisikan
tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum muslimin, dan disertai pengumuman
tentang jadual pengajian yang akan datang. Tidak heran jika kemudian
orang-orang yang hadir disitu menjadi marah melihat tingkah laku Babinsa itu.
Keesokanharinya, Seorang oknum ABRI beragama Katholik, Sersan Satu Hermanu,
mendatangi mushala As-Sa’adah untuk menyita pamflet berbau ‘SARA’. Namun
tindakan Sersan Hermanu sangat menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke
dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got,
bahkan menginjak Al-Qur’an. Warga marah dan motor motor Hermanu
dibakar.(kesaksianAbdul QadirDjaelani)
Pada
tanggal 10 September 1984, Beberapa anggotajamaah Mushala As - Sa'adah
berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka.
Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang
kebetulan lewat. Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang takmir masjid
“Baitul Makmur” yang berdampingan dengan mushalla As-Sa’adah, berusaha
menenangkan suasana dan mengajak kedua tentara itu masuk ke sekretariat Takmir
masjid guna membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka berbicara di
dalam kantor, massa di luar telah berkumpul. Kedua pengurus Takmir masjid ini menyarankan
kepada kedua perajurit tadi supaya persoalannya disudahi dan dianggap selesai
saja, tetapi mereka menolak saran tersebut. Para jama’ah yang berada di luar
mulai kehilangan kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah seorang dari kerumunan
massa menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata seorang
marinir, kemudian dibakar. Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan
Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut
ditangkap juga Ahmad Sahi, pimpinan mushalla As-Sa’adah dan seorang lain lagi
yang ketika itu berada di tempat kejadian. Selanjutnya, Muhammad Nur, salah
seorang yang ikut membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan keempat orang
tersebut kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang kemudian memunculkan
tuntutan agar membebaskan mereka-mereka yang ditangkap itu.
Pada
hari berikutnya, para tetangga mushalla yang masih menyimpan kemarahan datang
kepada salah seorang tokoh daerah itu,
bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal memiliki hubungan baik dengan
beberapa perwira di Jakarta. Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib
untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang
diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan,
karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya
semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara
penguasa (militer) dan masyarakat.Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan
ternyata sia-sia.
Pada
tanggal 12 September 1984, beberapa orang muballigh menyampaikan ceramahnya di
tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya
adalah kasus yang baru saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara
dengan keras yang isinya menyam-paikan ultimatum agar membebaskan para tahanan
paling lambat pk. 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan
massa mengadakan demonstrasi. Di saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar
1500 orang demonstran bergerak menuju kantor Polsek dan Koramil setempat.
Sebelum massa tiba di tempat yang dituju, sekonyong-konyong mereka telah
dikepung dari dua arah oleh pasukan bersenjata berat. Massa demonstran
berhadapan dengan tentara yang sudah siaga tempur. Pada saat sebagian pasukan
mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari
segala penjuru.
Lalu terdengar suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong bedilnya kepada kerumunan massa demonstran. Dari segenap penjuru berdentuman suara bedil, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Di saat sebagian korban berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, pada saat yang sama mereka diberondong lagi atau dicabik- cabik dengan bazoka, sehingga dalam beberapa detik saja jalanan dipenuhi jasad manusia yang telah mati dan bersimbah darah. Sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah beru-saha lari dan berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya. Sembari tentara-tentara mengusung korban yang telah mati dan luka- luka ke dalam truk-truk militer, tembakan terus berlangsung tanpa henti. Semua korban dibawa ke RS militer di tengah kota Jakarta. Sedangkan RS lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok. Setelah seluruh korban diangkut, datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalan dari genangan darah korban. Satu jam setelah pembantaian besar-besaran ini terjadi, Pangab Jenderal Beny Murdani datang mengininspeksi tempat kejadian, dan untuk selanjutnya, sebagaimana diberitakan oleh berbagai sumber, daerah tersebut dijadikan daerah operasi militer.
Lalu terdengar suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong bedilnya kepada kerumunan massa demonstran. Dari segenap penjuru berdentuman suara bedil, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Di saat sebagian korban berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, pada saat yang sama mereka diberondong lagi atau dicabik- cabik dengan bazoka, sehingga dalam beberapa detik saja jalanan dipenuhi jasad manusia yang telah mati dan bersimbah darah. Sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah beru-saha lari dan berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya. Sembari tentara-tentara mengusung korban yang telah mati dan luka- luka ke dalam truk-truk militer, tembakan terus berlangsung tanpa henti. Semua korban dibawa ke RS militer di tengah kota Jakarta. Sedangkan RS lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok. Setelah seluruh korban diangkut, datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalan dari genangan darah korban. Satu jam setelah pembantaian besar-besaran ini terjadi, Pangab Jenderal Beny Murdani datang mengininspeksi tempat kejadian, dan untuk selanjutnya, sebagaimana diberitakan oleh berbagai sumber, daerah tersebut dijadikan daerah operasi militer.
Versi Pemerintah
Pemerintahan
Soeharto, di luar keberhasilannya dalam bidang ekonomi, banyak diwarnai
peristiwa-peristiwa yang memakan korban jiwa, terutama mengarah terhadap umat
Islam. Ini tentu tidak lepas dari “pesan” dan intervensi asing tentang apa yang
disebut “politik menekan Islam”.
Kasus
Tanjung Priok ini menjadi hal yang menarik. Karena tidak ada pernyataan tentang
cita-cita Negara Islam yang disampaikan dalam ceramah- ceramah di Tanjung
Priok. Yang disampaikan oleh para mubaligh di sana hanyalah ceramah-ceramah
tajam dengan satu dua kata menyentil kebijakan penguasa. Mereka mengecam
kebijakan pemerintah yang dirasa menyudutkan umat Islam. Diantaranya adalah
larangan memakai jilbab dan penerapan asas tunggal Pancasila, serta masalah
kesenjangan sosial antara pribumi dengan nonpribumi.
Dalam
bukunya Tanjung Priok Berdarah : Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Data dan Fakta
(PSPI, 1998 :26) dijelaskan bahwa proses terjadinya tragedi Priok pada hari
senin, 10 September 1984 ketika seorang petugas yang sedang menjalankan
tugasnya di daerah Koja, dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang.
Petugas keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya dibakar
oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap empat orang pelakunya untuk
keperluan pengusutan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk mengatahui
nasib keempat orang yang ditahan, masyrakat sepakat bergerak ke kantor Kodim.
Tetapi permintaan mereka ditolak.
Peristiwa
ini terjadi pada hari rabu, 12 September 1984. Pada saat itu, di Masjid
Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat menghasut.
Penceramahnya antara lain Amir Biki, Syarifin Maloko, M.Nasir, tidak pernah
diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam itu. Kemudian, aparat keamanan
menerima telepon dari Amir Biki yang berisi ancaman pembunuhan dan perusakan
apabila keempat tahanan tidak dibebaskan.
Setelah
itu, sekitar 1500 orang menuju Polres dan Kodim. Hal ini senada dengan apa yang
dijelaskan dalam buku Perjalanan Sang Jenderal Besar Soeharto 1921-2008
(Santosa, 2008:170) yang menjelaskan bahwa Amir Biki yang memimpin massa menuju
Kodim untuk menuntut pembebasan mereka yang ditahan. Ia juga berpesan agar
selama perjalanan massa jangan membuat anarkis. Tapi kegiatan ini tidak diikuti
oleh para mubaligh karena mereka sudah diingatkan agar tidak keluar dari pusat pengajian.
Sampai di depan Polres Jakarta Utara massa dihadang aparat bersenjata. Jarak
antara massa dengan aparat sangat dekat, kira-kira lima meter. Tidak ada dialog
antara Amir Biki dengan aparat. Lima belas orang petugas keamanan menghambat
kerumunan atau gerakan massa tersebut. Regu keamanan berusaha membubarkan massa
dengan secara persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang
membangkitkan emosi dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan
keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit.
Tak
berapa lama ada komando untuk mundur. Pasukan terlihat mundur kira-kira 10
meter. Lalu ada komando “tembak”. Dalam jarak yang sudah membahayakan, regu
keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan
diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari.
Setelah datang pasukan keamnanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka
membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek.
Sekitar
tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali petugas keamanan,
sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis dan terpaksa melakukan
penembakan-penembakan untuk mencegah usaha perusuh merebut senjata dan
serangan-serangan dengan celurit dan senjata tajam lainnya. Terjadilah tragedi
pembantaian itu. Aparat yang bersenjata itu menghujani tembakan terhadap ribuan
massa dengan leluasa. Teriakan minta tolong tidak dihiraukan. Mereka yang berada
di barisan depan bertumbangan bersimbah darah. Yang masih selamat melarikan
diri. Ada juga yang tiarap, menghindari sasaran-sasaran peluru. Beberapa truk
datang untuk mengangkut tubuh-tubuh korban dan menguburkannya di suatu tempat.
Versi Abdul Qadir Djaelani
Abdul
Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan
sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap
dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat
Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa
Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya
berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”. Hari
Sabtu tanggal 8 September 1984, dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa
membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok,
Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala
dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian
remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.
Hari
Minggu tanggal 9 September 1984, peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di
Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak
yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Hari
Senin tanggal 10 September 1984, beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah
berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka.
Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah
Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta
penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung,
orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan
permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang
diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan.
Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.
Hari
Selasa tanggal 11 September 1984, Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang
berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim,
yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan,
karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya
semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara
penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata
sia-sia.
Hari
Rabu tanggal 12 September 1984, dalam suasana tantangan yang demikian, acara
pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh
sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya
tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau
naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari
sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi
petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita
buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka
tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung
jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau
mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki
berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di
tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan
dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian
menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah
sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang
oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata
otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar
militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut
oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur
dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para
jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh
menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris;
beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer
yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!”
Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih
bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak
lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam
kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu
dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah
yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir- pinggir jalan. Lebih
mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang
tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum
tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh
mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas
mobil truk besar terdengarjelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di
got-got/selokan-selokan di sisi jalan. Setelah itu, truk-truk besar itu
berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang
bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung
goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau
orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni. Sesudah
mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama
kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang
bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya,
sampai bersih. Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin
langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah
pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang
boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di
antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3
orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari
senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu
jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian
yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau
melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang
jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara
Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang
beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa
menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD). Sesampainya di rumah sakit,
mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara
Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat,
saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan
mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya
peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi
apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau
berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering
sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian
sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu
saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat
berbincang- bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian
tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut
pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap
tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984,
kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel
Jaya.
Dampak dari Peristiwa Tanjung Priok 1984
Tragedi
Tanjung Priok yang telah menimbulkan pertumpahan darah, jiwa yang melayang.
Sebagian besar berasal dari kalangan umat Islam, terutama mereka yang dianggap
melakukan tindakan subversi dengan statemen-statemen cita-cita Negara Islam.
Jumlah korban dalam tragedi masih simpang siur. Pemerintah dalam laporan
resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan
bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Menurut hasil
investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa
TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang
luka-luka dan cacat. Sementara menurut Komnas HAM dalam laporannya yang dimuat
di Tempo Interaktif menyatakan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari
korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang. Sementara keterangan
resmi pemerintah korban hanya 28 orang. Sampai dua tahun setelah peristiwa
pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang
menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang,
akan berurusan dengan aparat.
Hingga
kini, peristiwa Tanjung Priok massih menyisakan misteri. Korban yang meninggal
tidak diketahui pemakamannya. Sedangkan mereka yang ditahan mengalami cacat
seumur hidup, juga tidak jelas kesalahannya,banyak diantara mereka yang menjadi
koban, padahal tidak mengetahui apa-apa.
Demikianlah materi tentang Sejarah Tragedi Tanjung Priok 1984 yang sempat kami berikan dan jangan lupa juga untuk
menyimak materi seputar Sejarah Kerusuhan Sosial Di Tasikmalaya 1996 yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan
dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.