Sunday, January 22, 2017

Sejarah Asal Usul dan Kebudayaan Toraja

Sejarah Asal Usul dan Kebudayaan Toraja, Dari sekian banyak suku bangsa yang ada di Indonesia, ada suku bangsa yang memiliki pola kehidupan yang unik. Yaitu pola kehidupan yang terdapat pada masyarakat suku Tana Toraja. Suku Tana Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk Todolo.

Sejarah Asal Usul dan Kebudayaan Toraja
Sejarah Asal Usul dan Kebudayaan Toraja
Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Seperti daerah-daerah yang lainnya di Indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan tentu saja tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Termasuk pola kehidupan yang tidak kalah menarik dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Tidak hanya peninggalan sejarah, namun juga peninggalan budaya suku Tana Toraja sebagai suku bangsa yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja yang masih terjaga kelestariannya sampai saat ini.

A. Asal-usul Suku Toraja
Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.

letak toraja
letak toraja
Walaupun sampai saat ini belum ada ahli yang bisa memastikan asal-usul nenek moyang orang Toraja, tapi banyak pihak memperkirakan bahwa nenek moyang orang Toraja berasal dari Indo-Cina. Denga menggunakan berbagai macam perahu, kira-kira 2.500 – 1.500 Sebelum Masehi, sewaktu sebagian pesisir Pulau Sulawesi terendam lautan, mereka datang ke pulau yang bentuknya seperti huruf K.

Setelah sampai di Pulau Sulawesi, mereka membangun rumah yang mirip dengan perahu, tempat mereka diam bertahun-tahun di lautan. Bentuk rumah tersebut sampai sekarang masih digunakan sebagai rumah orang Toraja yang senantiasa menghadap ke Utara, dari arah mana nenek moyang mereka datang. Hal ini merupakan pedoman instink, sisa, pikiran yang menghubungkan dengan heredity tempat asalnya. Sebagai contoh, ada satu tiang perahu yang paling dominan sebagai tempat mengikat layar bernama SOMPA, sedangkan tiang rumah adat yang paling dominan tampak di depan rumah juga bernama tulak SOMPA. Ini merupakan persamaan nama dan fungsi antara perahu dan rumah orang Toraja.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Menurut Departemen pendidikan dan kebudayaan di dalam buku Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan (1981-1982:60), penamaan Toraja terbagi atas beberapa pendapat. Diantaranya sebagai berikut:

1.  To-Riaja
Kata Toraja berasal dari kata To-Riaja. Dimana To berarti Orang dan Riaja berarti Utara. Penamaan ini bagi orang yang bertempat tinggal di selatan Tondok Lepongan Bulan.

2.  To-Rajang
Kata Toraja berasal dari kata To-Rajang. Dimana To berarti Orang dan Rajang berarti Barat. Penamaan ini berasal dari orang- orang Luwu menunjuk Tana Toraja di sebelah Barat.

3.  To-Raya
Kata Toraja juga dianggap berasal dari kata To-Raya yang dimana To berarti orang dan Raya berarti Timur. Penamaan ini berasal dari penamaan orang- orang makassar yang menunjuk Tana Toraja di sebelah Timur.

4.  To-Raja
Kata Toraja berasal dari kata To-Raja. To berarti orang dan Raja berarti Selatan. Dalam hal ini adanya pengakuan dari raja Sulawesi Selatan yang mengakui leluhurnya berasal dari Tondok Lepongan Bulan, Tanah Matarik Allo.




B. Hubungan Sosial Masyarakat Toraja
Masyarakat Toraja sejak dari dahulu mengenal pula beberapa tingkatan masyarakat yang dinamakan tana (kasta) seperti pula pada suku –suku bangsa lain di Indonesia yang sangat mempengaruhi pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan Toraja karena sehubungan dengan lahirnya sendi – sendi kehidupan dan aturan dalam Aluk Todolo, dan Tana’ tersebut dikenal dalam 4 (empat) susunan atau tingkatan masing – masing :
1.   Tana’ bulaan (kasta bangsawan tinggi)
2.   Tana’ Bassi (Kasta bangsawan menengah)
3.   Tana’ Karurung (Kasta Rakyat Merdeka)
4.   Tana’ Kua – Kua (Kasta Hamba Sahaya)

Untuk berbicara mengenai Tana’ tersebut diatas sebagai salah satu dalam pembentukan dan pertumbuhan kebudayaan Toraja dan sangat banyak menentukan dalam tata kehidupan masyarakat Toraja, dan kasta – kasta tersebut selalu terdahulu dalam menentukan sesuai masalah – masalah penting antara lain :
1.   Dalam menghadapi perkawinan.
2.   Dalam menghadapi pemakaman/upacara adat pemakaman.
3.   Dalam mengajadapi pengangkatan jabatan adat atau menjadi pemerintah adat.

Untuk memegang suatu tugas adat yang pertama – tama menjadi persoalan pada mencari tahu kasta seseorang karena jabatan – jabatan adat itu sudah terikat dengan adanya pembahagian tugas pada mulanya seperti yang disebutkan sesuai dengan mithos aluk todolo, yang tempat pengenalannya atau emncahari tahu itu dengan mengenal tongkonan atau mencari tahu tongkonannya.

Begitu pula jikalau menghadapi satu perkawinan seseorang yang dalam peminangan itu sudah diperkenalkan lebih dahulu kasta seseorang itu dengan persaksian dari tongkonannya yang mendapat pengakuan dari pemerintah adat dimana pria itu berasal jikalau orangnya memangnya tak dikenal keturunannya.

Hal itu demikian karena menurut adat perkawinan dalam adat Toraja tidak boleh seorang laki – laki dari Tana Karurung atau Tana’ Kua – Kua kawin dengan perempuan dari kasta Tana’ Bulaan atau Tana’ Bassi, kalau toh ini terjadi maka dikenakan hukum adat yang dijuluki Unteka Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk, tetapi sebaliknya dapat saja seorang laki – laki dari Kasta Tana’ Bulaan atau Tana’ Bassi boleh kawin dengan Kasta dibawahnya, hanya saja tidak dapat dikawinkan menurut adat, dan anaknya pun yang lahir dari perkawinan kasta yang tidak sama itu atau yang dilarang itu tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan saudara – saudaranya yang lahir dari kasta yang dapat diterima menurut adat yang hal ini turut pula mempengaruhi kedudukan sebagai pewaris yang tidak sama dengan saudaranya yang kastanya diterima oleh adat.

Dari semua tingkatan tana’ tersebut di atas mempunyai nilai yang bertingkat – tingkat yang maksudnya membedakan tiap – tiap kasta tersebut secara materil dan juga sebagai dasar dalam pelaksanaan hukuman perkawinaan bila diperlukan. Suatu contoh jikalau seseorang Tana’ Bulaan kawin dengan sesamanya Tana’ Bulaan dan terjadi perceraian yang sengaja oleh salah satu pihak maka yang bersalah itu dihukum dengan membayar suatu denda yang dinamakan kapa’ sebanyak kerbau menurut tana’nya yaitu tanaa’ bulaan dengan Kapa’ 24 ekor kerbau yang ukuran tanduknya dikatakan dengan ukuran sang pala’ (satu tapak tangan diatas pergelangan) atau kerbau yang berumur rata – rata 2 s/d 3 tahun.

Penilaian masing – masing tana’, sbb:
a)    Untuk tana’ bulaan (kasta bangsawan tinggi) nilai hukmnya dengan 24 ekor kerbau (tedong sangpala’)
b)    Untuk tana’ bassi (kasta bangsawan menengah) nilai hukumnya dengan 6 ekor kerbau tedong sangpala’.
c)    Untuk Tana’ karurung (kasta rakyat merdeka) nilai hukumnya dengan 2 ekor kerbau tedong sangpala’.
d)    Untuk tana’ kua – kua (kasta hamba sahaya) nilai hukumnya dengan 1 ekor babi betina yang sudah pernah beranak namanya bai doko.

Inilah susunan tana’ yang pertama di Tana Toraja tetapi setelah tersebarnya Aluk Sanda Saratu’ dari Puang Tomanurun Tamboro Langi’ (Monarkhi Agama) maka di daerah adat Kepuangan, Tana’ yang 4 (empat) ini mengalami sedikit perubahan yang pelaksanannya seolah – olah hanya terdapat tiga tana’ saja dalam prakteknya dalam masyarakat, yaitu disesuaikan dengan struktur pemerintahan adat puang dan kedudukan puang atau yang berketurunan bangsawan. Karena kedudukannya dan pemerintahannya yang bersifat monarkhistis itu, maka menurut aluk sanda saratu’, tana’ dalam pengabdian kepada aluk sanda saratu’ susunannya sbb:
a)    Tana’ Bulaan hanya khusus bagi turunan Puang Tomanurun.
b)    Tana’ Bassi untuk bangsawan yang bukan turunan puang to manurun atau    darahnya lebih banyak turunan bukan turunan Tomanurun.
c)    Tana’ Karurung untuk semua rakyat merdeka atau yang tidak berketurunan bangsawan yang kesemuanya digolongkan dalam golongan kasta pengabdi kepada Tana Bassi dan Tana’ bulaan.


Di samping menjadi pedoman dalam hal perkawinan dan pemilihan Pemerintah adat/pemangku adat Tana’, Tana’ tersebut di atas juga menjadi dasar penilaian seseorang di masyarakat pada waktu orang itu meninggal dunia., karena Tana’ ini turut menentukan tingkatan upacara pemakamannya, umpamanya seseorang dari Kasta atau Tana’ Bassi tidak dapat dimakamkan dengan upacara pemakaman Tana’ Bulaan sekalipun keluarganya mampu mengadakan kurban yang mencukupi upacara Tana’ Bulaan yang dinamakan Rapasan, tetapi sebaliknya  pula bahwa seseorang dari Kasta Tana’ bulaan dapat saja dimakamkan dengan upacara apapun sampai serendah-rendahnya karena tidak berkemampuan dalam persiapan kurban dan biaya-biaya pemakaman yang tinggi.

Jadi jelas di sini bahwa peranan dari pada Tana’ dalam masyarakat Toraja sejak dari dahulu sangat menentukan segi-segi tertentu pertumbuhan masyarakat yang peninggalannya masih nyata sampai sekarang ini, dan dalam jabatan-jabatan adat Tana’ pun turut menentukan karena sudah tertentu golongan kasta yang akan menjabat setiap jabatan adat yang garis besarnya sebagai berikut:
1). Kasta atau tana’ Bulaan adalah kasta yang menjabat ketua / pemimpin dan anggota pemerintahan  adat umpamanya jabatan Puang, Ma’dika, dan Sokkong Bayu (Siambe’).
2). Kasta atau tana’ Bassi adalah kasta yang menjabat jabatan pembantu atau anggota pemerintahan adat seperti jabatan – jabatan Anak Patalo/To Bara’ dan To Parengge’ – To Parenge’.
3). Kasta Tana’ Karurung adalah kasta yng menjabat pembantu pemerintahan adat serta menjadi petugas/pembina Aluk Todolo untuk urusan Aluk Patuoan, Aluk Tananan yang dinamakan To Indo’ atau Indo Padang.
4).  Kasta atau Tana’ Kua - Kua adalah kasta yang menjabat jabatan petugas/pengatur pemakaman atau kematian yang dinamakan To Mebalun atau To Ma’kayo (orang yang membungkus orang mati) dan juga sebagai pengabdi kepada kasta Tana’ Bulaan dan Tana’ Bassi.

Kesemua jabatan-jabatan tersebut di atas adalah kesemua jabatan yang merupakan tugas yang turun temurun diwariskan kepada masing-masing keluarga yang bersangkutan bersumber dari masing-masing Tongkonan.

C.   Aluk Todolo
Aluk Todolo adalah agama leluhur nenek moyang suku Toraja yang hingga saat ini masih dipraktekkan oleh sejumlah besar masyarakat Toraja. Bahkan pada tahun 1970, Aluk Todolo sudah dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Aluk Todolo adalah kepercayaan animisme tua, dalam perkembangannya Aluk Todolo banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hidup Konfusius dan agama Hindu. Oleh karena itu, Aluk Todolo merupakan suatu kepercayaan yang bersifat politeisme yang dinamistik. 
Kepercayaan Aluk Todolo ini bersumber dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dan aluk serba seratus (sanda saratu').
Aluk Sanda Pitunna (aluk 7777) disebarkan oleh Tangdilino' dan merupakan sistem religi yang diyakini oleh orang Toraja sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama-sama dengan umat manusia. Oleh karena itu, Aluk Sanda Pitunna adalah aluk tertua dan menyebar secara luas di Toraja. Sementara itu, Aluk Sanda Saratu' datang kemudian dan disebarkan oleh Puang Tamborolangi', namun Aluk Sanda Saratu' hanya berkembang didaerah Tallu Lembangna (Makale, Sangalla dan Mengkendek).

Azas Pemujaan dan Penyembahan dalam Sukaran Aluk
Azas Pemujaan dan Penyembahan dalam Sukaran Aluk

Aluk Sanda Pitunna bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka') dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Aluk sendiri meliputi upacara yang terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a'pa' pentaunina). Disebut tiga aIuk karena ia meliputi upacara yang menyangkut manusia (aluk tau), upacara yang menyangkut tanam-tanaman (aluk tananan) dan upacara yang menyangkut binatang (aluk patuan) dan dikatakan empat oleh karena di samping ketiga hal di atas ada lagi satu upacara yang disebut upacara suru' berfungsi untuk menembus kesalahan (pengkalossoran).

Wilayah barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu :
Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “to unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata
 sosial yang tidak mengenal strata.

Wilayah timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suke dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.

Wilayah tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”.

Sesuai dengan makna dan kandungan yang terdapat di dalam sistem kepercayaan Aluk Todolo, terdapat sejumlah hal yang relevan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Jika ditelusuri jejak referensi adanya konsep pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup bagi orang Toraja, ditemukan bahwa pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup bagi orang Toraja, pertama diatur dalam sistem religi yang ada dan hal itu meliputi hampir seluruh ritus yang dilaksanakan.

Dalam Aluk Todolo terdapat beberapa hukuman/peraturan yang harus dipatuhi oleh penganutnya .Hukum aluk todolo yang disebut “Pemali” .

Beberapa contoh pemali antara lain :
1.Pemali ma’pangngan buni,tidak boleh berzinah
2.Pemali unromok tatanan pasak,tidak boleh mengacau di pasar
3.Pemali unteka’ palanduan,golongan budak dilarang menikah dengan golongan Tomakaka dan Tokapua (Bangsawan).
4.Pemali boko,tidak boleh mencuri.
5.Pemali umboko sunga’na padanta tolino, jangan membunuh sesama manusia
6.Pemali ma’kada penduan, tidak boleh berdusta
7.Pemali unkasirisan deata misanta, jangan menghianati orang tua
8.Pemali ungkattai bubun, jangan berak disumur
9.Pemali umbala’bala tomanglaa, jangan menyiksa anak gembala
10.Pemali melo’ko’, dilarang mengambil barang di pekuburan
11.Pemali umbala’bala patuoan, jangan menyiksa binatang ternak
12.Pemali mantunu tedong sisola anakna, dilarang menyembelih kebau dengan anaknya.
13.Pemali unno’koi alllonan bundanganki, dilarang menduduki bantal karena bantal jika diduduki akan kempes, bantal untuk kepala tidak ditempai bantal
14.Pemali kumande malillin na siduangki bombo, dilarang makan ditempat gelap nanti setan akan makan makanan kita juga
15.Pemali kande tallo manuk ke bullungngi pare malayu pare, dilarang makan telur ayam jika jikalau padi sudah ditanam atau sementaratumbuh nanti padi layu.

Selain itu masih ada 100 pantangan lainnya (aluk sanda saratu) sangsi yang dikenakan pada pelanggaran pemali adalah berbeda menurut berat ringannya pelanggaran seperti :
a.sangsi membunuh dimana semua keluarga dari yang dibunuh bersumpah turun temurun tidak boleh berhubungan dalam bentuk apapun dengan keluarga pembunuh (sisallang).
b.Seorang hamba yang kawin dengan golongan bangsawan diusir seumur hidup dari masyarakat Toraja. Sangsinya sama dengan orang yang mencuri milik orang mati dari kubur.
c.Hubungan sex secara incest antara orang bersaudara atau antara anak dan orang tua disuruh mangrambu langi’. Kerbau dan babi dibakar hangus bersama pakaian meraka sebagai pengganti dirinya yang seharusnya dirinyalah yang harus dibuang kedalam api bersama.
d. Orang berpisah dari satu rumah pada hari yang sama dengan arah Orang berpisah dari satu rumah pada hari yang sama dengan arah ang berlawanan tidak ada sangsi hukumnya tetapi biasanya salah seorang anggota keluarga ada yang dapat celaka.

D.   Tongkonan
Tongkonan adalah rumah adat dengan ciri rumah panggung dari kayu dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atapnya rumah tongkonan dilapisi ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu telungkup dengan buritan. Ada juga yang mengatakan bentuknya seperti tanduk kerbau. Sekilas mirip bangunan rumah gadang  di Minang atau Batak.

Tongkonan
Tongkonan
 Semua rumah tongkonan yang berdiri berjejer akan mengarah ke utara. Arah tongkonan yang menghadap ke utara serta ujung atap yang runcing ke atas melambangkan leluhur mereka yang berasal dari utara. Ketika nanti meninggal mereka akan berkumpul bersama arwah leluhurnya di utara.

Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tongkin, Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli Sulawesi Selatan. Kata tana artinya negeri, sedangkan kata toraja berasal dua kata yaitu tau (orang) dan maraya (orang besar atau bangsawan). Kemudian penggabungan kata-kata tesebut bermakna tempat bermukimnya suku Toraja atau berikutnya dikenal sebagai Tana Toraja.

Tongkonan berasal dari kata tongkon yang bermakna menduduki atau tempat duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkumpulnya bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Awalnya merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja.

Masyarakat Toraja menganggap rumah tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi) sebagai bapak. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi tiga bagian, yaitu bagian utara, tengah, dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut tangalok yang berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, serta tempat meletakkan sesaji. Ruangan sebelah selatan disebut sumbung, merupakan ruangan untuk kepala keluarga tetapi juga dianggap sebagai sumber penyakit. Ruangan bagian tengah disebut Sali yang berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang mati.

Bangunan tongkonan juga terdiri dari bagian-bagian yang dinamakan:
*      Sulluk adalahkolong rumah;
*      Inan adalah ruangan yang terletak diatas kolong rumah yang dikelilingi dinding sebagai badan rumah, inan ini sendiri terbagi kedalam: tangdo yang berfungsi sebagai kamar depan sebagai tempat sesembahan kepada leluhur; Sali adalah bilik tengah yang fungsinya terbagi dua, pada bagian timur tangdo difungsikan sebagai padukkuang Api (dapur) dan tangdo bagian barat sebagai tempat inan Pa Bulan (orang meninggal)
*      Sumbung adalah ruang bagian belakang yang berfungsi sebagai kamar tidur orang yang menempati tongkonan tersebut.
*      Rattian adalah loteng rumah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka dan benda-benda berharga lainnya.
*      Papa adalah adalah pelindung berupa atap yang terbuat dari bambu yang mempunya bentuk khas perahu.

Tongkonan dibagi ke dalam tiga macam berdasarkan kelas sosial, yaitu:
1.  Tongkonan Layuk.
Tongkonan ini dibangun untuk orang berkuasa dan sebagai pusat pemerintahan. Ciri-ciri tongkonan ini adalah ukiran seperti hewan dan tumbuhan di dinding rumah. Selain itu ada pula hiasan kepala kerbau dan deretan tanduk kerbau. Kepala dan tanduk kerbau adalah penanda kemakmuran serta hidup berkelimpahan.
2.  Tongkonan Pekamberan.
Ini tongkonan bagi keluarga yang dipandang hebat dalam adat. Ciri tongkonan ini sama dengan tongkonan layuk.
3.  Tongkonan Batu.
Jenis ketiga ini adalah rumah bagi keluarga biasa. Tongkonan ini disebut banua oleh masyarakat setempat. Selain minim ukiran, banua juga tidak punya hiasan sehingga lebih mirip pondok bambu.

E. Rambu Tuka’
Upacara Rambu tuka’ adalah upacara adat yang berhubungan dengan acara syukuran di dalam upacara ini  tak ada kesedihan, yang ada hanya kegembiraan. Misalnya acara pernikahan, syukuran panen dan peresmian rumah adat/tongkonan yang baru, atau yang selesai direnovasi; menghadirkan semua rumpun keluarga, dari acara ini membuat ikatan kekeluargaan di Tana Toraja sangat kuat semua Upacara tersebut dikenal dengan nama Ma'Bua', Meroek, atau Mangrara Banua Sura'. Upacara ini menarik karena berbagai atraksi tarian, dan nyanyian dari kebudayaan Toraja yang unik. Upacara Rambu Tuka’ dilaksanakan sebelum tengah hari di sebelah timur tongkonan. Ini berbeda dengan Rambu solo’ yang di gelar tengah atau petang hari serta di adakan di sebelah barat tongkonan. Sebagai upacara kegembiraan, Rambu Tuka’ digelar mengiringi meningginya matahari Sedangkan Rambu Solo’ untuk mengiringi terbenamnya matahari 

Rambu Tuka’
Rambu Tuka’
Untuk upacara adat Rambu Tuka' diikuti oleh seni tari : Pa' Gellu, Pa' Boneballa, Gellu Tungga', Ondo Samalele, Pa'Dao Bulan, Pa'Burake, Memanna, Maluya, Pa'Tirra', Panimbong dan lain-lain. Untuk seni musik yaitu Pa'pompang, pa'Barrung, Pa'pelle'. Musik dan seni tari yang ditampilkan pada upacara Rambu Solo' tidak boleh (tabu) ditampilkan pada upacara Rambu Tuka'.

Adapun tingkatan upacara Rambu Tuka' dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sebagai berikut :
1) Kapuran Pangngan yaitu suatu cara dengan hanya menyajikan Sirih Pinang sementara menghajatkan sesuatu yang kelak akan dilaksanakan dengan kurban – kurban persembahan.
2)   Piong Sanglampa, yaitu suatu cara dengan menyajikan satu batang lemang dalam bambu dan disajikan di suatu tempat atau padang/pematang atau persimpangan jalan yang maksudnya sebagai tanda bahwa dalam waktu yang dekat manusia akan mengadakan kurban persembahan.
3)  Ma’pallin atau Manglika’ Biang, yaitu suatu cara dengan kurban persembahan satu ekor ayam yang maksudnya mengakui semua kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia yang akan melakukan kurban persembahan selanjutnya.
4)   Ma’tadoran atau Menammu, yaitu suatu cara dengan mengadakan kurban persembahan satu ekor ayam atau seekor babi yang ditujukan kepada pemujaan Deata – Deata terutama bagi Deata yang menguasai daerah tempat mengadakan kurban persembahan itu. Ma’tadoran juga dilakukan jika melaksanakan upacara Pengakuan Dosa yang disebut Mangaku–aku.
5)    Ma’pakande Deata do Banua (mengadakan kurban persembahan di atas Tongkonan). Nama Upacara ini berbeda di tiap daerah adat tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu dengan kurban persembahan seekor babi atau lebih sesuai dengan ketentuan dari masing-masing daerah adat. Uapcara ini dilaksanakan di atas Tongkonan karena Tongkonan sebagai tempat hidup manusia yang mengadakan kurban persembahan dan tujuannya memohon berkat atau bersyukur atas kehidupan dari Sang Pemelihara atau Deata-Deata dan juga sebagai tempat menghajatkan kurban persembahan. Ada daerah adat yang menyebut upacara ini sebagai Ma’parekke Para.
6) Ma’pakande Deata diong padang (mengadakan upacara di halaman Tongkonan), yaitu upacara kurban seekor babi atau lebih yang dilaksanakan di halaman Tongkonan dari orang  yang mengadakan upacara. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Deata-Deata supaya memberkati seluruh tempat atau Tongkonan tempat orang merencanakan dan mengusahakan kurban persembahan seterusnya serta tempat mendirikan Tongkonan. Ada daerah adat yang menamakannya sebagai Ma’tete Ao’.
7) Massura’ Tallang adalah upacara yang dilaksanakan setelah selesai melaksanakan tingkatan upacara yang lebih rendah seperti tersebut di atas. Upacara ini dilaksanakan di depan Tongkonan agak sebelah timur. Upacara Massura’ Tallang merupakan upacara persembahan paling tinggi kepada Deata-Deata sebagai Sang Pemelihara dengan kurban beberapa ekor babi, dimana sebagian untuk persembahan dan sebagian lagi untuk dibagikan menurut adat kepada masyarakat dan orang yang menghadiri upacara tersebut utamanya kepada petugas adat dan agama Aluk Todolo. Upacara Massura’ Tallang ini dapat dilakukan oleh seluruh keluarga dari satu rumpun keluarga atau boleh juga satu keluarga dalam mensyukuri kebahagiaan keluarga itu, dimana dalam pembacaan Doa dan Mantra Sajian Kurban telah diungkapkan pula keagungan dan kebesaran Puang Matua. Oleh karena itu, upacara Massura’ Tallang berfungsi sebagai upacara pengucapan syukur karena keberkatan dan upacara penahbisan atau pelantikan arwah leluhur yang diupacarakan dengan upacara pemakaman Dibatang atau Didoya Tedong. Dengan selesainya upacara ini, maka arwah dari leluhur secara resmi menjadi Setengah Deata yang disebut Tomembali Puang (Sang Pengawas atau Pemberi Berkat manusia turunannya). Upacara demikian disebut Manganta’ Pembalikan Tomate, dan disebut demikian karena pada upacara ini diaturkan dekorasi hias bermacam-macam pakaian dan perhiasan sebagai lambang dan perlengkapan hidup dari sang leluhur di alam baka.
8) Merok, yaitu upacara pemujaan kepada Puang Matua sebagai upacara pemujaan yang tinggi dengan kurban Kerbau, Babi dan ayam. Pada upacara ini nama Puang Matua yang selalu jadi pokok ungkapan dalam pembacaan mantra dan doa. Kerbau yang dikurbankan pada upacara Merok ini adalah kerbau hitam (Tedong Pudu’), karena tidak boleh menyajikan kurban kerbau yang memiliki bintik putih yang dianggap sebagai kerbau yang cacat. Sebelum kerbau ini dikurbankan dengan menggunakan Tombak (Dirok), terlebih dulu kerbau ini Disurak (didoakan dalam suatu ungkapan hymne yang isinya menceritakan kemuliaan Puang Matua dan segala ciptaannya serta kehidupan manusia dan mengutuk pula perbuatan yang tidak baik dari manusia yang disyaratkan dengan pernyataan melalui kurban kerbau tersebut). Dan pelaksanaan pembacaan hymne semalam suntuk oleh Tominaa disebut Massurak Tedong atau Massomba Tedong, yang mana dalam Massomba Tedong ini diungkapkan tujuan dari keluarga mengadakan upacara Merok.
9)  Ma’bua’ atau La’pa, yaitu suatu tingkatan upacara Rambu Tuka' yang paling tinggi dalam Aluk Todolo. Upacara ini dilaksanakan setelah menyelesaikan semua upacara-upacara yang terbengkalai oleh keluarga atau daerah yang mengadakan upacara Ma’bua’ tersebut. Hal ini karena upacara Ma’bua’ adalah upacara untuk mengakhiri seluruh upacara apapun dalam mensyukuri seluruh kehidupan dan mengharapkan berkat serta perlindungan dari Puang Matua, Deata-deata, dan Tomembali Puang. Upacara Ma’bua’ juga sebagai ungkapan syukur atas hewan ternak, tanaman dan kehidupan manusia. Pada upacara Ma’bua’ atau La’pa, Puang Matua dipuja dan dieluk-elukkan dengan beragam lagu dan tari yang memang khusus diadakan untuk upacara Ma’bua’ tersebut. Pada upacara Ma’bua’ diadakan kurban persembahan kerbau sebagai kurban persembahan utama yang jumlahnya bermacam-macam menurut ketentuan Lesoan Aluk Tananan Bua’ tergantung pada masing-masing daerah adat atau tergantung pada kemampuan keluarga. Ada kalanya Ma’bua’ ini diikuti oleh satu daerah adat atau kelompok adat jika upacara ini menyangkut seluruh masyarakat satu daerah serta keselamatan seluruh kehidupan dan disebut sebagai Bua’ kasalle atau La’pa Kasalle (Bua’=perbuatan, la’pa=kelepasan, kasalle=besar). Upacara Ma’bua’ ini adalah pusat dari semua upacara serta puncak dari semua upacara dalam Aluk Todolo yang juga merupakan dasar pembagian daerah adat Tondok Lepongan Bulan menjadi 3 daerah adat besar berdasarkan Lesoan aluk tananan Bua’.
10)    MANGRARA BANUA ”Mangarara Banua” adalah ritual terpenting, karena tongkonan menjadi pusat kehidupan orang Toraja. Mulai dari urusan pemerintahan adat, perekonomian, hingga urusan memelihara silaturahim kekerabatan dilaksanakan di tongkonan. Kekerabatan, lebih-lebih status sosial seseorang, tidak hanya ditelusuri dari nama marga, tetapi juga dari tongkonan mana ia berasal. ”Mangarara Banua” termasuk prosesi ”Rambu Tuka’” yang langka karena hanya dilakukan untuk selamatan tongkonan yang baru diganti atap bambu atau dindingnya. ”Penggantian atap sebuah tongkonan biasanya dilakukan 40 tahun sekali, sesuai umur bambu yang disusun sebagai atap tongkonan yang bersangkutan, sedangkan penggantian dinding tongkonan biasanya dilakukan 100 tahun sekali. Proses penggantian itu berlangsung enam bulan. Dinding berukir dipesan dari Randan Batu di wilayah Kesu, Tana Toraja.

F.    Rambu Solo’
Aluk rambu solo’ adalah upacara pemakaman adat yang menjadi tradisi orang-orang Melayu serumpun di Toraja, Sulawesi Selatan. Aluk rambu solo’ dapat dimaknai sebagai upacara pemujaan dan penyempurnaan arwah orang yang wafat supaya dapat berkumpul bersama leluhur di alam roh.

Rambu Solo’
Rambu Solo’

1. Asal-usul
Suku bangsa Melayu di Toraja, Sulawesi Selatan, memiliki banyak tradisi yang sakral dan unik. Salah satunya adalah aluk rambu solo’, yakni upacara pemakaman adat orang Toraja. Kendati dalam pelaksanaannya harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit, namun upacara ini masih tetap lestari hingga sekarang (Tino Saroenggalo, 2008). Istilah aluk rambu solo’ terbangun dari tiga kata, yaitu aluk (keyakinan), rambu (asap atau sinar), dan solo’ (turun). Dengan demikian, aluk rambu solo’ dapat diartikan sebagai upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai turun (terbenam). Sebutan lain untuk upacara ini adalah aluk rampe matampu’Aluk artinya keyakinan atau aturan, rampe artinya sebelah atau bagian, dan matampu’ artinya barat. Jadi, makna aluk rampe matampu ’adalah upacara yang dilaksanakan di sebelah barat dari rumah atau tongkonan.

Upacara aluk rambu solo’ bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam  roh, bersama para leluhur mereka yang bertempat di puya. Upacara  ini sebagai penyempurnaan, karena orang baru dianggap benar-benar wafat setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang wafat itu hanya dianggap sebagai orang yang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya ketika masih hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi makanan dan minuman, bahkan diajak berbicara. Selain itu, orang Toraja arwahnya mencapai tingkatan dewa (to-membali puang) untuk kemudian menjadi dewa  pelindung (deata(Mohammad Natsir Sitonda, 2007).   

Aluk rambu solo’ adalah warisan ajaran leluhur Toraja. Upacara ini dilaksanakan berdasarkan keyakinan leluhur yang disebut aluk todolo, berarti kepercayaan atau pemujaan terhadap roh leluhur. Di dalam aluk todolo terdapat aluk pitung sabu pitu ratu pitungpulo atau 777 aturan, salah satunya yang berhubungan dengan pemujaan roh leluhur pada saat kematian (Sitonda, 2007). Berdasarkan status sosial orang atau tingkat ekonomi keluarga yang diupacarakan, aluk rambu solo’ dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
1.     Silli’, yakni upacara pemakaman untuk kasta paling rendah, yaitu kasta kua-kua atau budak. Upacara jenis ini tidak ada pemotongan hewan sebagai persembahan dan dibagi dalam beberapa bentuk, seperti dedekan (upacara pemakaman dengan memukulkan wadah tempat makan babi) dan pasilamun tallo manuk (pemakaman bersama telur ayam).
2.     Pasangbongi, yakni upacara yang hanya berlangsung satu malam. Yang termasuk jenis ini antara lain bai a’pa’ (persembahan empat ekor babi), si tedong tungga (persembahan satu ekor babi), di isi (pemakaman untuk anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi dengan persembahan seekor babi), dan ma’ tangke patomali (persembahan dua ekor babi).  
3.     Di batang atau di doya tedong, yakni upacara untuk kasta tana’ basi (bangsawan menengah) dan tana’ bulan (bangsawan tinggi). Selain kerbau, upacara jenis ini juga mempersembahkan babi dan ayam. Upacara biasanya digelar selama 3-7 hari berturut-turut. Pada akhir acara, dibuatkan sebuah simbuang (menhir) sebagai monumen untuk menghormati orang yang wafat.
4.     Rapasan, yakni upacara khusus bagi golongan tana’ bulan (bangsawan tinggi) yang digelar selama 3 hari 3 malam. Termasuk upacara jenis ini, antara lain rapasan diongan (rapasan tingkat rendah hanya memenuhi syarat minimal persembahan 9-12 kerbau), rapasan sundun (rapasan lengkap persembahan 24 ekor kerbau dan babi tak terbatas), dan rapasan sapu randanan (rapasan simbolik dengan persembahan yang diandaikan 30 ekor kerbau).

Saat ini, upacara adat aluk rambu solo’ di masyarakat Toraja sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan, khususnya dalam kelengkapan persembahan. Faktor ekonomi menjadi salah satu akar persoalannya karena hewan persembahan biasanya berharga cukup tinggi. Misalnya, jenis kerbau yang digunakan bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya antara 10–50 juta/ekor (Saroenggalo, 2008).

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Upacara aluk rambu solo’ digelar sesuai dengan kesiapan keluarga secara ekonomi karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bagi kaum bangsawan yang mampu, biasanya akan langsung menggelar upacara ini ketika ada anggota keluarga yang meninggal. Namun, bagi kalangan biasa, mereka akan menunggu hingga punya cukup dana. Sementara itu, tempat pelaksanaan upacara dipusatkan di dua lokasi, yakni di rumah duka dan di lapangan (rante).

3. Peserta dan Pemimpin Upacara
Peserta upacara aluk rambu solo’ adalah seluruh keluarga orang yang wafat dan segenap warga masyarakat. Pelaksanaan upacara ini dipimpin oleh beberapa orang khusus yang terdiri dari:
·            To mebalun atau to ma’kayo, bertugas memimpin dan membina upacara pemakaman.
·            To ma’pemali, bertugas melayani, merawat, dan memelihara jenazah selama upacara berlangsung.
·            To ma’kuasa, bertugas membantu secara umum pelaksanaan pemakaman.
·            To ma’sanduk dalle, perempuan yang khusus menyiapkan nasi bagi jenazah yang akan dimakamkan.
·            To dibulle tangnga, perempuan yang bertugas sebagai penghubung antarpetugas upacara yang lain, khususnya yang berkaitan dengan sesaji.
·            To sipalakuan, orang yang bertugas memenuhi semua kebutuhan perawatan jenazah dan upacara.
·            To ma’toe bia’, seorang laki-laki yang bertugas menyalakan api dan memegang obor selama upacara berlangsung.
·            To masso’ boi rante, perempuan yang bertugas membuka jalan ke rumah duka atau lapangan tempat upacara.
·            To mangengnge baka tau-tau, seseorang yang khusus membawa tempat pakaian dari patung.   
4. Peralatan dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ antara lain:
·            Tombi saratu, kain panjang seperti umbul-umbul.
·            Tuang-tuang atau tanda upacara.
·            Gendang.
·            Maa’, kain berukir sebagai tanda kemuliaan.
·            Sesaji.
·            Gong atau bombongan.

5. Proses Pelaksanaan
Proses pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ meliputi 3 tahap, yaitu: persiapan, pelaksanaan, dan penutup. Berikut adalah proses pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ yang digelar selama 4 hari.

a. Persiapan
Untuk menyiapkan upacara aluk rambu solo’, beberapa persiapan yang harus dilakukan meliputi: pertemuan keluarga, pembuatan pondok upacara, dan menyediakan peralatan upacara.
·       Pertemuan keluarga orang yang wafat, baik dari pihak ibu maupun bapak, dilakukan untuk membicarakan ahli waris, tingkat upacara yang akan dilakukan, tempat pelaksanaan upacara, dan lain-lain.
·       Pembuatan pondok upacara terdiri dari dua macam, yaitu yang ada di halaman rumah orang yang wafat dan di lapangan upacara. Pondok-pondok tersebut nantinya selain untuk pelaksanaan upacara juga sebagai tempat menginap para tamu. Pondok dibangun sesuai kasta orang yang wafat.
·       Menyediakan peralatan upacara seperti peralatan makan, tidur, sesaji dan lain-lain.

b. Pelaksanaan
Pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ terbagi menjadi dua tahap, yaitu aluk pia atau aluk banua, yakni upacara dilakukan di halaman rumah orang yang wafat (upacara tahap pertama), dan aluk palao atau alok rante, yakni upacara yang dilakukan di lapangan atau rante (upacara tahap kedua).

1. Aluk Pia atau Aluk Banua
Pada upacara pemakaman di halaman rumah, jenazah tetap di rumah duka. Upacara tahap pertama ini digelar selama 4 hari berturut-turut. Pada hari pertama dilakukan persembahan sesaji berupa kerbau dan babi, dengan diiringi nyanyian semalam suntuk (ma’badong). Di hari pertama ini, dilakukan juga perubahan letak jenazah sekaligus status mayat berubah menjadi to makula, yaitu orang yang dianggap benar-benar telah wafat.

Hari kedua, selain tetap melantunkan nyanyian semalam suntuk, keluarga menerima masyarakat dan kerabat yang biasanya datang dengan membawa sumbangan berupa hewan atau uang. Sumbangan ini sebagai tanda bahwa kelak jika sang penyumbang juga menyelenggarakan upacara, maka yang disumbang harus mengembalikannya, meskipun tidak dianggap sebagai utang. Para tamu biasanya akan memperkenalkan kerabat masing-masing sehingga dari sini mereka akhirnya saling mengetahui jalinan kekerabatan mereka.

Pada hari ketiga diadakan dua ritual. Pertama yaitu ma’bolong, penyembelihan babi di pagi hari oleh to mebalun di mana semua orang berpakaian hitam sebagai tanda berkabung. Kedua, ma’batang, penyembelihan kerbau di lapangan dan dilanjutkan dengan pembacaan mantra pujian pada leluhur dari atas menara daging (bala’kayan).    

Di hari keempat dilakukan ritual memasukkan jenazah ke dalam sebuah peti kayu. Kayu yang digunakan harus kayu yang sudah mati (kayu mate) dan menjadi simbol bahwa jenzah telah benar-benar mati.

2.   Aluk Palao atau Aluk Rante
Tahap ini digelar di lapangan dengan 4 prosesi, yaitu ma’ palao, allo katongkonan, allo katorroan, mantaa padang, dan meaa.
·       Ma’ palao, jenazah dari lumbung dipindahkan di lapangan dan dibawa dengan iringan arak-arakan. Sesampai di lapangan, kerbau dipotong dengan ditebas langsung lehernya. Daging kerbau lalu dibagikan kepada yang hadir dengan sebelumnya didendangkan syair-syair kedukaan yang diucapkan dalam bahasa adat Toraja.
·       Allo katongkkonan, keluarga menerima tamu yang datang dan mencatat pemberian sumbangan.
·       Allo katorroan, keluarga dan petugas istirahat sejenak untuk membicarakan persiapan acara puncak pesta pemakaman. Pada tahap ini, disepakati lagi berapa kerbau yang akan dipotong.
·       Mantaa padang, acara puncak yaitu pemotongan kerbau yang telah disepakati sebelumnya. Daging kerbau kemudian dibagikan kepada keluarga dan kerabat sesuai adat. Terkadang ada kerbau yang dibiarkan hidup tapi sudah diniatkan untuk disembelih dan disumbangkan untuk masyarakat.
·       Me aa, jenazah diturunkan dari lakian atau ke tempat pemakaman, kemudian digelar ibadah pemakaman, ungkapan belasungkawa, ucapan terima kasih dari keluarga, dan prosesi pemakaman jenazah.       
c. Penutup
Upacara aluk rambu solo’ dinyatakan berakhir jika jenazah telah selesai dimakamkan. Saat ini, pelaksanaan upacara aluk rambu solo’ telah banyak berubah. Salah satu perubahannya adalah digelarnya upacara selama 12 hari dengan urutan acara sebagai berikut: Ma’pasuluk (pertemuan keluarga), mangriu’ batu (menarik batu simbuang), ma’ pasa tedong (menghitung ulang hewan korban), ma’ pengkalao (memindahkan jenazah ke tongkonan), mangisi lantang (mengisi pondok), ma’ pasonglo (memindahkan jenazah dari lumbung), allo katongkonan (keluarga menerima tamu), allo katorroan (istirahat), mantaa padang (memotong hewan korban), dan me aa (pemakaman jenazah).

6. Doa-doa
Dalam upacara adat aluk rambu solo’, terdapat doa-doa yang dilantunkan, antara lain:
a.      Doa permohonan perlindungan.
b.      Doa pengagungan kepada leluhur.
c.       Doa kepada orang yang wafat agar arwahnya diterima.

7. Pantangan dan Larangan
Terdapat pantangan dalam upacara adat aluk rambu solo’, yakni selama upacara berlangsung, seluruh peserta upacara dilarang membuat gaduh pada saat mantra dibacakan, dan untuk pihak keluarga tidak boleh membatalkan sesaji yang telah disepakati.

G.    Ukiran Toraja
Ukiran Toraja bukan hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja untuk menghiasi suatu bentuk atau benda ataupun Tongkonan tetapi seluruh macam ukiran itu lahir dari pengertian masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat, makanya seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam. Menurut sejarah ukiran pada mulanya hanya dikenal 4 (empat) bentuk dasar gambar (lambang) yaitu lambang dari 4 (empat) pokok kehidupan manusia, dan kemudiaan diaplikasikan pada Rumah Tongkonan dengan maksud akan tetap menjadi perhatian dan selalu diingat oleh masyarakat. Oleh karena itu pemasangan ukiran tidak diletakkan sembarangan tempat pada bangunan Tongkonan atau rumah, tapi dipasang menurut pandangan dan falsafah hidup Toraja (Aluk Sanda Pitunnna). Keempat dasar ukiran tersebut disebut Garonto’ Passura’ (pokok ukiran) yaitu : Pa’ Barre’ Allo, Pa’ Manuk Londong, Pa’ Tedong dan Pa’ Sussu’.

Sampai saat ini dalam masyarakat Toraja dikenal 4 golongan Passura’ berdasarkan peranan dan arti Passura’ (ukiran), yaitu :
1.  Garonto’ Passura’ (Pokok-pokok ukiran) adalah mempunyai peranan simbol dasar kehidupan orang Toraja, yaitu : Pa’ Barre’ Allo, Pa’ Manuk Londong, Pa’ Tedong dan Pa’ Sussu’
2.  Passura’ Todolo (Ukiran Tua) adalah ukiran yang menyangkut peralatan upacara yang dianggap berkasiat bagi pemakainya, yaitu : Pa’ Erong, Pa’ Ulu Karua, Pa’ Doti Langi’, Pa’ Kadang Pao, Pa’ Barana’, Pa’ Bai, Pa’ Lolo Tabang, Pa’ Daun Bolu, Pa’ Daun Paria, Pa’ Bombo Wai, Pa’ Kapu’ Baka, Pa’ Tangke Lumu’, Pa’ Bungkang Tasik, Pa’ Lolo Paku, Pa’ Tangki’ Pattung, Pa’ Bulintong, Pa’ Katik, Pa’ Talinga Tedong, dan lain-lain.
3.  Passura’ Malolle’ (Ukiran kemajuan dan perkembangan), yaitu ukiran yang banyak dipakai mengukir bangunan yang tidak mempunyai peranan adat (Tongkonan Batu A’riri). Ukiran ini digunakan sebagai simbol sikap dan tingkah laku sosial atau pergaulan dengan dibatasi oleh pranata etika dan moral. Adakalanya ukiran ini ada pertalian arti dan maknanya dengan ukiran Passura’ Todolo, yaitu : Pa’ Sala’bi’, Pa’ Tanduk Ra’pe, Pa’ Tukku Pare, Pa’ Bunga Kaliki, Pa’ Poya Munda, Pa’ Bulintong Siteba’, Pa’ Bulintong Situru’, Pa’ Karrang Longa, Pa’ Papan Kandaure, Pa’ Passulan, Pa’ Sepu’ Torongkong, dan lain-lain.
4.  Ukiran Pa’ Barrean (ukiran kesenangan) merupakan ukiran yang terdiri atas potongan-potongan yang sama bentuknya ada yang lurus dan adapula yang yang berupa lengkung, yaitu : Pa’ Bannangan, Pa’ Barra’-barra’, Pa Manik Bu’ku’, Pa’ Ara’ Dena’, Pa’ Komba Kalua’, Pa’ Bua Kapa’, Pa’ Gayang, dan lain-lain.

Beberapa jenis ukiran Toraja yaitu sebagai berikut:

Pa’Barre Allo

Pa’Barre Allo
Pa’Barre Allo

Berasal dari Bahasa Toraja, yaitu Barre: Bulatan atau Bundaran dan Allo: Matahari. Pa’Barre Allo berarti ukiran yang menyerupai matahari yang bersinar terang, memberi kehidupan kepada seluruh mahluk penghuni alam semesta. Ukiran ini diletakkan pada bagian rumah adat yang berbentuk segitiga dan mencuat condong keatas yang dalam bahasa Toraja disebut Para Longa,dan di letakkan di bagian belakang dan depan Rumah adat. Ukiran ini biasa diletakkan diatas ukiran Pa’Manuk Londong.


Ne’ Lingbongan

Ne’ Lingbongan
Ne’ Lingbongan

Menurut cerita, Ne’ Limbongan adalah nama seorang ahli bangunan pada zaman dahulu yang menciptakan ukiran-ukiran tradisional Toraja. 
Sedangkang menurut arti katanya Limbong berarti danau atau sumber air yang tidak pernah kering, memberi kehidupan dan kesegaran bagi manusia, flora dan fauna di lingkungan sekitarnya. Ukiran ini bermakna bahwa orang Toraja bertekad memperoleh rexeki dari empat penjuru mata angin (utara, timur, barat, dan selatan) bagaikan mata air yang bersatu dalam satu danau dan memberi kebahagiaan kepada keturunannya.

Pa’ Ulu Karua

Pa’ Ulu Karua
Pa’ Ulu Karua
Berasal dari dua kata (Toraja) yaitu Ulu: Kepala, dan Karua:Delapan. Menurut mitos, Toraja dahulu kala ada delapan orang Toraja yang masing-masing menurunkan ilmu pengetahuan menyangkut kehidupan ini. Kehidupan orang ini diciptakan olehPuang Anggemaritik (Puang Matua atau Tuhan) dalam sebuah puputan kembar ajaib dan masing-masing di karunia Ilmu pengetahuan yang berbeda-beda. Makna ukiran ini adalah orang Toraja mengharapkan dalam rumpun keluarga mereka, muncul orang yang memiliki ilmu yang tinggi dan berguna untuk kepentingan masyarakat.

Untuk mengukir ukiran Toraja tersebut menggunakan warna yang terdiri warna alam yang mengandung arti dan makna tersendiri bagi masyarakat Toraja, yaitu sesuai dengan falsafah hidup dan perkembangan hidup manusia Toraja. Oleh karena itu penggunaan warna pada ukiran tersebut tidak boleh diganti /dirubah dalam pemakaian. Bahan warna Passura’ (ukiran) disebut Litak yang merupakan warna dasar bagi masyarakat Toraja yaitu :
1.      Warna merah (Litak Mararang)
2.      Warna putih (Litak Mabusa)
3.      Warna kuning (Litak Mariri)
4.      Warna hitam (Litak Malotong)

Warna merah dan putih merupakan warna darah dan tulang manusia yang melambangkan kehidupan manusia. Warna tersebut dapat dipergunakan dimana saja pada waktu ada upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Warna kuning merupakan warna kemuliaan sebagai lambang ketuhanan yang dipergunakan pada waktu upacara Rambu Tuka’ demi untuk keselamatan manusia. Sedang warna hitam merupakan lambang dari kematian atau kegelapan dipakai pada waktu upacara Rambu Solo’ (upacara kematian). Arti warna hitam pada dasar setiap Passura’ (ukiran) adalah bahwa kehidupan setiap manusia diliputi oleh kematian karena menurut pandangan Aluk Todolo bahwa dunia ini hanya sebagai tempat bermalam saja atau tempat menginap sementara.

Semua warna Passura’ seperti yang tersebut diatas merupakan warna alam karena bahannya dari tanah, kecuali untuk warna hitam diambil dari arang belanga. Penggunaan bahan ini lebih tahan lama terhadap cuaca dan iklim dibandingkan dengan warna dari bahan sintesis.

H.    Bahasa, Tarian, dan Musik Toraja
Ø  Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain KalumpangMamasaTae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.

Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Ø  Tarian
Lakon Ritual Aluk Todolo dalam menunaikan aturan keagamaan yang berwujud pada pemujaan terhadap Puang Matua, Deata maupun To Mambali Puang, banyak dimanifestasikan dalam bentuk seni tradisional seperti seni tari, seni suara, seni musik, seni sastra tutur, seni ukir dan seni pahat.

Kesenian yang diapresiasikan senantiasa berkaitan dengan Aluk Rambu Tuka’ dan Aluk Rambu Solo’. Pada umumnya jenis-jenis kesenian yang dipentaskan secara khusus untuk masing-masing kegiatan ritual adat, baik Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’. Namun ada juga jenis kesenian yang dipentaskan pada kedua jenis ritual. Jenis kesenian tersebut disebut Ada’ Basse Bubung, yaitu kesenian yang boleh dipentaskan pada upacara kegembiraan Aluk Rampe Matallo maupun pada acara kedukaan Aluk Rampe Matampu’.

Hampir semua ragam seni yang dipentaskan merupakan perpaduan beberapa ragam seni, seperti perpaduan antara seni suara dengan seni tari, seni tari dengan seni musik, atau seni suara dengan seni musik. Jenis kesenian yang telah dikembangkan dalam budaya masyarakat Tana Toraja antara lain :
·       Tarian Pa’ Gellu’
·       Tarian Burake
·       Tarian Dau Bulan
·       Tarian Ma’dandan
·       Tarian Manimbong
·       Tarian Manganda’
·       Tarian Pa’Bondesan
·       Tarian Memanna
·       Tarian Ma’badong
·       Tarian Ma’katia
·       Tarian Pa’randing
·       Tarian Pa’pangngan
Ø  Musik
Di samping seni tari dan seni suara serta pantun juga diperkenalkan seni musik tradisional Toraja antara lain :

PASSULING
Semua lagu-lagu hiburan duka dapat diikuti dengan suling tradisional Toraja (Suling Lembang). Passuling ini dimainkan oleh laki-laki untuk mengiringi lantunan lagu duka (Pa'marakka) dalam menyambut keluarga atau kerabat yang menyatakan dukacitanya. Passuling ini dapat juga dimainkan di luar acara kedukaan, bahkan boleh dimainkan untuk menghibur diri dalam keluarga di pedesaan sambil menunggu padi menguning.

PA'PELLE'/PA'BARRUNG
Musik digemari oleh anak-anak gembala menjelang menguningnya padi di sawah. Alat musiknya terbuat dari batang padi dan disambung sehingga mirip terompet dengan daun enau yang besar. Pa'barrung ini merupakan musik khusus pada upacara pentahbisan rumah adat (Tongkonan) seperti Ma'bua', Merok, Mangara dan sejenisnya.

PA'POMBANG/PA'BAS
Inilah musik bambu yang pagelarannya merupakan satu simponi orkestra. Dimainkan oleh banyak orang biasanya murid-murid sekolah di bawah pimpinan seorang dirigen. Musik bambu jenis ini sering diperlombakan pada perayaan bersejarah seperti hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, Peringatan Hari Jadi tana Toraja. Lagu yang dimainkan bisa lagu-lagu nasional, lagu-lagu daerah Tana Toraja, lagu-lagu gerejawi, dan lagu-lagu daerah di seluruh Indonesia.

PA'KAROBBI
Alat kecil dengan benang halus diletakkan pada bibir. Benang atau bibir disentak-sentak sehingga menimbulkan bunyi yang berirama halus namun mengasyikkan.

PA'TULALI'
Bambu kecil yang halus, dimainkan sehingga menimbulkan bunyi/suara yang lumayan untuk menjadi hiburan.

PA'GESO'GESO'
Sejenis alat musik gesek. Terbuat dari kayu dan tempurung kelapa yang diberi dawai. Dawai yang digesek dengan alat khusus yang terbuat dari bilah bambu dan tali akan menimbulkan suara khas. Alat ini mengeluarkan nada sesuai dengan tekanan jari si pemain pada dawai. Pa'geso'-geso' terkenal dari Kecamatan Saluputti.

I.      Objek Wisata di Toraja
Sebagai salah satu daya tarik wisata Indonesia, Tana Toraja memiliki obyek wisata yang terkenal dengan kekayaan budayanya. Dihuni oleh Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli dan mirip dengan budaya Nias, Tana Toraja merupakan salah satu obyek wisata di Sulawesi Selatan yang sangat menarik . Dari sekian banyaknya objek wisata di Toraja, berikut beberapa objek yang akan dijelaskan.

Pallawa        

Pallawa
Pallawa  
Tongkonan Pallawa adalah salah satu tongkonan atau rumah adat yang sangat menarik dan berada di antara pohon-pohon bambu di puncak bukit. Tongkonan tersebut didekorasi dengan sejumlah tanduk kerbau yang ditancapkan di bagian depan rumah adat. Terletak sekitar 12 Km ke arah utara dari Rantepau.

Londa
Londa
Londa
Londa adalah bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja. Salah satunya terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam di mana peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga. Di satu sisi bukit lainya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Terletak sekitar 5 Km ke arah selatan dari Rantepau.

Ke'te Kesu

Ke'te Kesu
Ke'te Kesu

Obyek yang mempesona di desa ini berupa Tongkonan, lumbung padi dan bangunan megalith di sekitarnya. Sekitar 100 meter di belakang perkampungan ini terdapat situs pekuburan tebing dengan kuburan bergantung dan tau-tau dalam bangunan batu yang diberi pagar.

Tau-tau ini memperlihatkan penampilan pemiliknya sehari-hari. Perkampungan ini juga dikenal dengan keahlian seni ukir yang dimiliki oleh penduduknya dan sekaligus sebagai tempat yang bagus untuk berbelanja souvenir. Terletak sekitar 4 Km dari tenggara Rantepau.

Batu Tumonga
Di kawasan ini anda dapat menemukan sekitar 56 batu menhir dalam satu lingkaran dengan empat pohon di bagian tengah. Kebanyakan batu menhir memiliki ketinggian sekitar dua sampai tiga meter.
Batu Tumonga
Batu Tumonga

            Dari tempat ini Anda dapat melihat keindahan rantepau dan lembah sekitarnya. Terletak di daerah Sensean dengan ketinggai 1300 Meter dari permukaan laut.

Lemo

Lemo
Lemo
Tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Di pemakaman Lemo Anda dapat melihat mayat yanng disimpan di udara terbuka, di tengah bebatuan yang curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni, dan ritual.  Pada waktu-waktu tertentu, pakaian dari mayat-mayat akan diganti dengan melalui upacara Ma Nene  Terletak di Kabupaten Tan Toraja.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Sejarah Asal Usul dan Kebudayaan Toraja

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment