Sejarah Agresi Militer Belanda I dan II - Pada tanggal 15 Juli
1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh
10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda
ini. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang
kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai
kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai
Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri.
Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio
di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan
Linggarjati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari
100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat
yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Sejarah Agresi Militer Belanda I dan II |
A. Agresi
Militer Belanda I
Operatie Product":
atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa
dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947
sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi
Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran
Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia,
operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati
B. Sejarah Dimulainya operasi
militer
Konferensi pers pada malam 20 Juli
di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan
tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa
daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak
tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi
militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke
daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di
tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera
Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka
menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah
wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula. Pada
agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus,
yaitu Korps Speciale Troepen
(KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C.
Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian
di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di
Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.
Agresi tentara Belanda berhasil
merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan
kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan. Pada 29 Juli 1947,
pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang
membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak
jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus
Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo
Wiryokusumo.
1. Pembantaian Rawagede
Pada 9 Desember 1947, terjadi
peristiwa Pembantaian Rawagede dimana tentara Belanda membantai 431 penduduk
desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat.
2. Campur
tangan PBB
Republik Indonesia secara resmi
mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut
dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan
Linggajati. Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional,
termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas
permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang
dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang
kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya
menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui
eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak
tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi
pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No.
30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947,
serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu
menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada
tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima
resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran. Pada 17 Agustus 1947
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan
Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan
Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara
Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia
(Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga
Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih
oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai
pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili
oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
C.
Agresi Militer II
Agresi
Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember
1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat
itu, serta penangkapan Soekarno, Muhammad hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh
lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.Pada
hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di
Pangkalan UdaraMaguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet
mengadakan sidang kilat. Dalam
sidang itu diambil keputusan bahwa
pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan komisi tiga
negar(KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.
1. Perjanjian
rome roijen
Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah
sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14
April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des
Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan
Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa
masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den
Haag pada tahun yang sama.
Kesepakatan
Hasil pertemuan ini adalah:
- Angkatan
bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
- Pemerintah
Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
- Pemerintah
Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
- Angkatan
bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan
semua tawanan perang
Pada
tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
- Kedaulatan
akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian
Renville pada 1948
- Belanda
dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak
- Hindia
Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada
Indonesia
2. Pasca perjanjian
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta,
ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan
perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan
kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI
pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan
Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi
Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan,
kecuali masalah Papua Belanda.
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik
Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus
hingga 2 November 1949.
Hasil konferensi
Hasil
dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
- Serahterima
kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin
menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis.
Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2
menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan
bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
- Dibentuknya
sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai
kepala negara
- Pengambil
alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
1. Keradjaan Nederland menjerahkan
kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat
dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui
Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Republik Indonesia Serikat menerima
kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan
konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
3. Kedaulatan akan diserahkan
selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949
3. Pembentukan RIS
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara
dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri
membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk
seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki
persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
PerjanjianRenville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang
Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan
ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for
Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Delegasi Kerajaan Belanda
dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Delegasi Amerika
Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.
5.
Gencatan Senjata
Pemerintah
RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan
senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus
terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak
termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan
tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.
Isi perjanjian
- Belanda
hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia
- Disetujuinya
sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda
- TNI
harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan
di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta
6. Pasca perjanjian
Sebagai hasil
Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang
dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa
Tengah. Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar,
seperti Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut.
Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. Setelah
Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, S.M. Kartosuwiryo, yang menolak
jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, Menganggap Negara
Indonesia telah Kalah dan Bubar, kemudian ia mendirikan Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih
dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo
menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
7.
Perundingan Linggajati
Perundingan
Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia
dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai
status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana
Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25
Maret 1947.
Hasil
Perundingan
Hasil perundingan terdiri dari 17
pasal yang antara lain berisi:
- Belanda
mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera
dan Madura.
- Belanda
harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
- Pihak
Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
- Dalam
bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran
Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
8. Penyebab
Terjadinya perjanjian linggarjati
Terbentuknya Perjanjian
Linggarjati tidak dapat dilepaskan dari latar belakang Internasional. Dalam bulan-bulan terakhir peperangan di
Pasifik, oleh Sekutu diputuskan bahwa yang diutamakan adalah penyerbuan Jepang.
Penyerbuan itu ditugaskan kepada Jenderal Mac Arthur dilepaskan dari tanggung
jawabnya atas sebagian besar dari wilayahnya, antara lain seluruh wilayah Hindi
– Belanda , yang diserahkan kepada Laksamana Mountbatten, bertanggung
jawab atas Sumatra, ia segera, setelah Jepang menyerah, berniat menjalankan
tugasnya.