Sejarah Perang Diponegoro ( Perang jawa ) - Pada
saat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono
III penerus kekuasaan saat itu masih berumur 14 tahun sehingga sesuai dengan
keinginan Raffles maka Paku Alam I duduk menempati posisi yang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono III.
Sifat Paku Alam yang kooperatif kepada Inggris dan Belanda, sedangakan ada
golongan warga Ngayogyakarta hadiningrat tidak menyukai orang Eropa. Yang
paling terlihat di golongan ini adalah Pangeran Dipanegara.
Sejarah Perang Diponegoro |
Pangeran
Dipanegara yang memiliki nama asli pangeran Antawirya itu adalah putra Sultan
yang paling tua akan tetapi dari Selir sehingga tidak dapat hak untuk menjadi
sultan. Pangeran Dipangera tidak menerima karena tidak memiliki kuasa apapun
dalam pemerintahan. Terlebih lagi ketika Sultan IV naik tahta, sultan tunduk
pada penguasa eropa.Karena Sultan Sepuh (Hamengkubowono II) dulu juga tidak
suka kepada bangsa Eropa,maka golongan Dipanegara ini disebut juga Golongan
kasepuhan.
A. Keadaan Ngayogyakarta sebelum Perang Diponegoro
Kesultanan
Ngayogyakarta dulunya adalah Kesultanan Mataram yang kemudian dibagi menjadi
dua pada perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat pada tahun 1822 dipimpin oleh Sultan Hamengku buwono V atau Sultan
Menol. Karena usianya yang masih sangat muda maka dibentuk dewan perwalian
yaitu Kanjeng Ratu Agung yang merupakan permaisuri dari Sultan Hamengku buwono
III , Kanjeng Ratu Kencana yang merupakan Permaisuri Sultan Hamengku buwono IV
, Pangeran Mangkubumi yang adalah putra Sultan Hamengku Buwono I dan Pangeran
Dipanegara.
Akan
tetapi kemudian Pangeran Dipanegara mengundurkan diri karena sering tidak
diajak bermusyawarah dan masalah internal dalam Kraton yang terlalu dipengaruhi
oleh Belanda yang menurut pangeran Dipanegara sangat bertentangan dengan ajaran
islam.
Karena
Sultan yang masih muda maka urusan kerajaan banyak yang dilakukan oleh Patih
Danurejo IV yang berhubungan dekat dengan Belanda. Adat istiadat ala barat
telah masuk kedalam keraton . Para pembesar dan petinggi Belanda sering
mengadakan pesta hingga tengah malam dan minum minuman keras yang menurut
Pangeran Dipanegara bertentangan dengan Islam dan juga merupakan pemborosan.
B. Sejarah Awal Terjadinya Perang Diponegoro
Residen
Belanda di Yogyakarta waktu itu , A.H Smissaert bersama Patih Danurejo IV
berencana membangun Jalan raya yang kebetulan melintasi tanah milik Pangeran
Dipanegara di Tegalrejo. Kemudian Patih Danurejo dan anak buahnya memasang
patok patok di tanah Pangeran Dipanegara. Pangeran Dipanegara kemudian tidak
terima mengutus anak buahnya untuk mencopot patok patok yang dipasang oleh
Danurejo. Kemudian setiap Patih Danurejo memancangkan patok patok itu maka
setiap itu pulalah Pangeran Dipanegara mencabutnya. Inilah awal pertentangan antara
Pangeran Dipanegara dengan Patih Danurejo IV dan Belanda.
Akhirnya
terdengar kabar bahwa Belanda akan menyerang Tegalrejo dan menangkap Pangeran
Dipanegara. Pangeran Dipanegara kemudian mengadakan rapat dengan para keluarga
dan pengikutnya seperti Kyai Maja dan Sentot Ali Basha untuk mengambil tindakan
tindakan yang perlu diambil jika Belanda benar benar menyerang Tegalrejo.
Kemudian
Sultan Hamengku buwono V mengutus Pangeran Mangkubumi untuk datang ke Tegalrejo
dan menanyakan mengapa pangeran Dipanegara mengumpulkan rakyat di desanya.
Pangeran Dipanegara kemudian menjawab bahwa mereka berkumpul untuk mengahadapi
serangan Belanda. Kemudian dari kraton mengutus Patih Danurejo IV untuk
mengundang Pangeran Dipanegara menghadap Sultan di kraton tapi Pangeran
Dipanegara menolak. Datang lagi Pangeran Mangkubumi sebagai utusan dari residen
Yogyakarta untuk mengundang Pangeran Dipanegara untuk datang ke Loji residen.
Atas keinginan dari rakyat maka pangeran Dipanegara kembali menolak ajakan itu
dan rakyat bersedia menanggung akibatnya. Pangeran Dipanegara bahkan berbalik
mendukung Pangeran Dipanegara dan tidak bersedia kembali ke kraton maupun ke
residen.
Pangeran
Mangkubumi kemudian menyarakan agar wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke Selarong daerah Bantul.
Datanglah utusan dari residen untuk
menjemput Pangeran Mangkubumi kembali ke kraton. Utusan itu juga membawa surat
bagi pangeran Dipanegara yang isinya menanyakan kehendak pangeran Dipanegara
mengumpulkan rakyat. Ketika Pangeran Mangkubumi sedang menulis surat balasan
tiba tiba terdengar letusan senjata tentara Belanda yang menyerang Tegalrejo.
Mulailah perlawanan Pangeran Dipanegara
pada tanggal 20 Juli 1825.
Ketika
dea Tegalrejo dibakar oleh tentara Belanda, Pangeran Dipanegara bersama
pengikutnya menyingkir ke Bantul di daerah Kalisoka. Di desa Kalisoka Pangeran
Dipanegara disambut oleh pasukan rakyat
yang telah menunggu kedatangan Pangeran Dipanegara.
Anak
anak, Wanita dan Orang tua tetap tinggal di Kalisoka dan Pangeran Mangkubumi ditunjuk
sebagai pelindungnya. Pangeran Dipanegara bermarkas di Selarong. Di markas
besar Selarong ini berkumpul para Pangeran dan Pangeran Dipanegara menyusun
strategi di markas Selarong.
Di
Selarong Pangeran Dipanegara mambagi tugas untuk melakukan perlawanan. Pangeran
Dipanegara Anom ,putra pangeran Dipanegara, dan Tumenggung Danukusuma diberi
tugas untuk melakukan perlawanan di daerah Bagelen. Pangeran Adiwinono dan
Mangundipuro mendapat tugas mengadakan perlawanan di daerah Kedu dan sekitarnya
. Pangeran Abu Bakar dan Tumenggung Jaya Mustopo mengadakan perlawanan di
daerah Lowano. Pangeran Adisurya dan Pangeran Sumonegoro mengadakan perlawanan
di Kulon Progo Tumenggung Cokronegoro
memimpin pasukan di Godean. Pangeran Joyokusumo ( Pangeran Bei ) memimpin
pasukan di utara Yogyakarta dibantu Tumenggung Suradilogo. Yogyakarta bagian
timur diserahkan kepada Tumenggung Suryonegoro dan Tumenggung Suronegoro.
Pertahanan di Selarong diberikan kepada Joyonegoro,pangeran Suryodiningrat dan
Pangeran Joyowinoto. Gunung Kidul diberikan kepada pangeran Singosari dan
Pangeran Warakusumo. Perlawanan di daerah Pajang dipegang oleh Pangeran
Mertoloyo Pangeran Wiryokusumo, Tumenggung Sindurejo dan Pangeran Diporejo.
Perlawanan di Sukawati dipimpin oleh
Kertonegara , Bupati Mangunnegara memimpin perlawanan di Madiun Magetan dan
Kediri.
Insiden
Tegalrejo dengan cepat terdengar oleh Van der Capellen mengirim Jenderal De Kock untuk mengambil
tindakan dan memulikan kemanan, Jenderal de Kock sampai di Semarang tanggal 29
Juli 1825 dan tiba di Surakarta pada tanggal 30 Juli 1825 . Susuhan Pakubuwana
VI menyatakan kesediaanya untuk membantu Jendral de Kock memadamkan perlawanan
Pangeran Dipanegara.
C. Jalannya Perang Diponegoro
Untuk
memadamkan perlawanan rakyat di Yogyakarta Belanda mengirim pasukan bantuan
dari Semarang. Sesampainya di lembah Logerok (Lembah Pisangan) bala bantuan
yang dipimpin kapten Keemsius tadi disergap oleh pasukan Dipanegara dibawah
pimpinan Musyosentika. Sebagian besar pasukan itu yang berjumlah 200 orang tewas,senjata
senjata mereka dirampas beserta uang 50.000 gulden yang akan disampaikan kepada
residen Yogyakarta. Barang rampasan ini
kemudian dibawa ke Selarong kemenangan pertama ini terjadi pada akhir
Juli 1825.
Bala
bantuan dari timur terdiri dari legiun Mangkunegaran yang dipimpin Raden mas
Suwongso, menantu Mangkunegoro disergap di desa Randugunting (Kalasan) . Hampir
seluruh prajurit Mangkunegaran tewas. Pemimpinnya Raden Mas Suwongso tertawan
dan dibawa ke Selarong,tetapi kemudian dibebaskan kembali oleh Pangeran
Dipanegara.
Mendengar
berita kemenangan pasukan Dipanegara di logorok dan Randugunting dan di lain
lain tempat, rakyat semakin bergerak dan
kuat. Keluarga Keraton Yogyakarta ketakutan dan bersembunyi di benteng Belanda.
Banyak alim ulama kraton yang meninggalkan kraton dan bergabung dengan pasukan
Dipanegara.
Pertempuran
di daerah kedu berlangsung sengit. Pasukan Belanda dibantu Bupati Magelang Tumenggung
Dnuningrat. Pasukan rakyat yang disebut “Bulkiya” menyerang pasukan Belanda dan
Danuningrat. Pasukan Bulkiya yang terkenal sebagai pasukan berani mati ini
dipimpin oleh Haji Usaman Alibasah dan Haji Abdulkabir. Bersama pasukan yang
dipimpin Tumenggung Seconegara, pasukan Dipanegara dapat memukul mundur pasukan
Belanda dan menewaskan Bupati Magelang, Tumenggung Danuningrat.
Didaerah
Menoreh Pasukan Dipanegara juga mendapat
kemenangan. Pasukan Belanda mendapat pukulan hebat. Bupati Menoreh Ario Sumodilogo
tewas dalam pertempuran melawan tentara Dipanegara.
Pertempuran
terus berkobar dimana mana dan kemenangan demi kemenangan diadapat oleh Pasukan
Dipanegara. Jenderal de Kock dan pihak kraton ingin berunding dengan Pangeran
Dipanegara. Pada Tanggal 7 Agustus 1825 jenderal de Kock mengirim surat sampai
dua kali dari Surakarta. De Kock juga berjanji akan memeberi jaminan mau
mengadakan perundingan dengan pihak Belanda dan kraton.
Agar
kedudukanya sejajar dengan pihak lawan dalam perundingan itu maka Pangeran Dipanegara
mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Sultan Ngbdulhamid Amirul Mukminin
Khalifatullah Jawa. Kenyataanya jenderal de Kock tidak datang ke Selarong.
Perlwanan
rakyat terus berkobar , upaya de Kock untuk mengatasi perlawanan rakyat adalah
degan cara memanggil opsir opsir yang bertugas diluar Jawa untuk menghadapi
Dipanegara. Jenderal Van Geen yang bertugas memadamkan perlawanan di Sulawesi
ditarik ke Jawa, selama berminggu minggu
dia harus bertempur melawan rakyat Semarang yang dipimpin oleh Pangeran
Serang. Pangeran Serang kemudian menuju ke Sukawati diselatan bergabung dengan
pasukan Kartodirja. Kemudian mereka
memimpin perlawanan rakyat di Rembang, Blora dan Bojonegara. Tumenggung
Kartadirja tertembak kakinya kemudian ditawan di Semarang. Kemudian Pangeran
Serang bergabung ke Madiun dan selanjutnya bergabung dengan Pangeran Dipanegara
di Yogyakarta.
Jenderal
de Kock berusaha mengepung markas pangeran Dipanegara di Selarong akan tetapi
untuk mengepung Selarong de Kock
terlebih dahulu harus menghadapi perlawanan rakyat di Semarang,Bagelen,Kedu,
Banyumas Madiun dan Surakarta. Untuk itu
de Kock menugaskan tangan kanannya yaitu Letkol Diell dan Letkol Cleerens.
Letkol Diell menghadapi perlawanan rakyat di Banyumas dan Letkol Cleerens di
Tegal dan Pekalongan.
Pasukan
Belanda mengadakan serangan besar besaran ke Selarong pada 2 dan 4 Oktober 1825
namun Selarong sudah kosong karena Pangeran Dipanegara memindahkan markasnya ke
Dekso. Para wanita,anak anak dan orang tua dipindahkan ke Suwela. Di situ
Pangeran Dipanegara memperkuat dan memperbaiki pasukannya. Ia membentuk
kesatuan pasukan baru dengan Senapati tangguh dan berpengalaman.
Pada
akhir tahun 1825 Pasukan Dipanegara berhasil memukul mundur pasukan Belanda
yang menyerang Imogiri. Di Yogya timur Tumenggung Suronegoro berhasil
menggempur pertahanan Belanda dan mampu mengambil banyak senapan dan meriam
dari Belanda.
Hanya
di Yogya bagian barat pasukan Belanda mampu mengepung Dekso,markas pangeran
Dipanegara. Kemudian pada tanggal 16 April 1826
pasukan gabungan Belanda dan Mangkunegaran menyerang pertahanan Pasukan Dipangera di
Plered,tapi kemudian ditinggalkan dan diduduki kembali oleh pasukan Dipanegara.
Pada 6 Juni dibawah pimpinan Kol Cochius, Pangeran Suria mataram dan pangeran
Suriadiningrat. Kraton Tua Plered kembali dikuasai oleh Pasukan Belanda dan
Mangkunegaran.
Pada
8 Juli 1826 Dekso diserang akan tetapi pangeran dipanegara telah berpindah ke
desa Kasuran. Kemudian tanggal 28 Juli pasukan Belanda kembali bergerak menuju
Yogyakarta,di Kasuran pasukan Belanda disergap oleh Pasukan Dipanegara Van Geen
kabur dan Kol Cochius dan dua orang bangsawan kraton tewas.
Selama
tahun 1826 Pangeran Dipanegara selalu memenangkan pertempuran melawan Belanda
dan Mangkunegaran. Perlawanan rakyat di Bagelen berhasil memukul mundur
Belanda. Pangeran Bei memenangkan pertempuran di Kejiwan. Dalam pertempuran di
Delanggu pasukan Dipanegara berhasil memenangkan pertempuran sengit, dan
mendapatkan berpuluh senapan dan dua belas meriam, pertempuran di Delanggu
adalah kemenangan terbesar bagi pihak Pangeran Dipanegara.
Karena
mengalami kekalahan berturut turut sejak awal perang de Kock kemudian mengangkat kembali Sultan Hamengkubuwono II
pada 1826. Pengangkatan ini bermaksud agar pimpinan perjuangan rakyat yang dulu
setia kepada Sultan Sepuh mau meninggalkan perjuagan dan kembali ke kraton.
Akan tetapi pemimpin pasukan tetap setia kepada Pangeran Diponegoro, dan tetap
melanjutkan perlawanan.
Pada
tahun 1827 karena telah menelan kekalahan bertubi tubi sejak dua tahun
berperang. Jenderal de Kock mengubah siasat perang menjadi Benteng Stelsel,
yaitu dengan mendirikan benteng di tempat yang diduduki. Siasat ini untuk
mengimbangi siasat perang gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Dipanegara yang
selalu berpindah tempat. Sehingga pasukan de Kock tidak perlu mencari
Dipanegara. Total 200 benteng dibangun untuk mengatasi perlawanan Pangeran
Dipanegara.
Strategi
benteng stelsel ini tidak langsng behasil karena pasukan Dipanegara masih
memenangkan pertempuran pertempuran di Kedu. Di Banyumas pasukan Belanda bahkan
harus kehilangan letkol Diels dan letkol de Bost. Hanya pasukan di daerah yogya
selatan yang mamp dimenangkan oleh pasukan Belanda dimana Pangeran Notonegoro
dan Pangeran Serang menyerah pada tanggal 21 Juni 1827 atas bujukan residen
Yogya, van Lowick. Itu merupakan pukulan
telak bagi pasukan Dipanegara.
Pada
1828 Belanda memindahkan markasnya ke Magelang Karena dinilai leih
strategis.,sebab lokasinya yang strategis untuk memadamkan perlawanan rakyat. Belanda terus memperkuat jaringan bentengnya,
mereka mempersempit ruang gerak pasukan Dipanegara. Pada 1828 tepatnya pada
tanggal 18 April Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah.
Penyerahan ini sangat menggembirakan bagi Belanda karena Belanda berharap
Pangeran Mangkubumi juga ikut menyerah ke Belanda.
Disamping
persenjataan yang lengkap dan modern. Belanda juga melancarkan cara lain untuk
mempengaruhi para pemimpin pasukan Dipanegara untuk menyerahkan diri denagn
iming iming posisi di kraton.
Pada
akhir 1828 terjadi pertempuran di Penangguhan. Disini jatuh banyak korban dari
Belanda maupun dari pasukan pangeran Dipanegara. Kapten Van Ingen dan Pangeran
Prangwedana tewas dan di pihak Dipanegara komandan pasukan Mantirejon
meninggal. Kedua belah pasukan menarik diri dari pertempuran ini.
D. Akhir perang Diponegoro
Pada
awal tahun 1829 terjadi pergantian pimpinan dalam pemerintahan Kolonial Belanda
di Indonesia. Komiaris Dus Bus akan diganti oleh Johannes van Den Bosch sebagai
Gubernur Jenderal. Jenderal Marcus de Kock diganti oleh Mayor Jendral Benyamin
Bisschof.
Mayor Bisshof tiba di Jakarta
tanggal 13 Mei 1939. Jenderal ini kondisinya lemah dan ia meninggal di Cianjur
Jawa barat pada 7 Juni 1939. Sehingga Jendeeral de Kock minta memimpin pasukan
Belanda melawan Dipanegara.
Sementara
terjadi pergantian kekuasaan di Belanda Pangeran Dipanegara terus melanjutkan
perlawanan di Bagelen dan Banyumas. Yogyakarta selatan perlawanan rakyat
dibawah Pangeran Bei mengadakan
perlawanan terhadap pos pos pertahanan Belanda. Karena kewalahan Belanda
mendatangakan bala bantuan dari Sulawesi, Maluku, Bali dan Eropa.
Perundingan
perundingan gagal terwujud antara dua pihak. Ketika Belanda berusaha menangkap
Mangkubumi yang menjaga wanita dan anak anak di Kulur,pasukajn belanda tiba
tiba diserang oleh Sentot Prawiradirja. Markas pertahanan Pangeran Bei diserang
oleh Belanda, Pangeran Bei terluka dalam penyerangan itu, R Joyonegara yang
datang membantu tidak mampu menahan pasukan Belanda.
Pada
1829 diluar Yogyakarta banyak Tumenggung yang menyerah kepada Belanda. Istri
pangeran Mangkubumi juga menyerah pada tahun yang sama. Kemudian karena usia
yang tua Pangeran Mangkubumi kembali ke
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Keadaan
semakin memburuk bagi Pangeran Dipanegara, Sentot Prawiradirja menyerah ke
Belanda. Para Pangeran juga menyerah kepada Belanda dan kembali ke kraton
Ngayogyakarta. Akan tetepi Pangeran Dipanegara tetap mengadakan perlawanan di
daerah Kedu.
Pada
17 Februari Letkol Cleerens mengahadap Pangeran Dipanegara untuk mengajak
berunding di Karesidenan. Pada 18 Maret Pangeran Dipanegara tiba di Magelang
dengan berkuda tepat pada bulan Ramadhan. Dipanegara kemudian mengusulkan agar
perundingan baru diadakan setelah Idul Fitri yang jatuh pada 27 maret 1830.
Sehari
setelah Idul Fitri pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan dilaksanakan.
Tuntutan pangeran Dipanegara agar mendirikan negara merdeka yang bersendikan syariat dan Islam. Karena
tuntutan Dipanegara dinilai berlebihan kemudian
Pangeran Dipanegara ditangkap kemudian dibuang ke Manado. Dengan
demikian berakhirlah Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara melawan
kraton dan Belanda.
E. Dampak Perang Diponegoro
Akibat
dari perang Jawa adalah Belanda harus membayar biaya perang sebesar 20 Juta
Gulden. Jumlah yang sangat banyak pada waktu itu. Sehingga untuk menutupi
kerugian itu Den Bosch menciptakan Cuultur stelsel.
Sehingga
bencana kelaparan melanda tanah jawa, di Demak 65% penduduknya meninggal karena
kelaparan. Di Grobogan rakyatnya hanya tinggal 9000 orang saja karena
penduduknya 90% menjadi korban.
Sultan
Pakubuwana yang tadinya mendukung belanda kemudian berbalik menentang belanda
dan kemudian memberontak,hal ini dikarenakan Belanda mencaplok wilayah milik
kesultanan Surakarta. Sultan Pakubuwana yang melakukan perlawanan kemudian dibuang
ke Ambon.