Sejarah Korupsi Indonesia - Komisi Pemberantasan Korupsi,
atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada
tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia.
Komisi ini didirikan berdasarkan kepadaUndang-Undang Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode
2006-2011 KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta
Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu
Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November 2010, M. Busyro Muqoddas terpilih
menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. Dilanjutkan lagi oleh Abraham Samad sejak 2011. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai sejarah
terbentuknya KPK, ditinjau dari tiga sudut pandang, yakni sudut pandang
historis, yuridis, dan filosofis.
![]() |
Sejarah Korupsi Indonesia |
Telaah
Historis Lahirnya KPK
1) Korupsi Pada Orde
Lama
a. Kabinet
Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua
kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat
aturanUndang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling
Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M.
Yamindan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat
harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir
yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada
saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin
pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan
politik, Paran berakhir dengan ketidakjelasan, deadlock, dan akhirnya
menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
b. Operasi
Budhi
Pada 1963,
melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk
lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi
Budhi. Tugas yang diemban lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke
pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Sebagaimana terjadi sebelumnya,
alasan politis menyebabkanstagnansi, seperti Direktur
Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak
karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas
lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan
negara kurang lebih Rp. 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan
pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan
PresidenSoekarno menjadi ketuanya serta dibantu
oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada
tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur
lambat, bahkan macet.
2) Korupsi pada Orde
Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui
pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto secara
terus terang mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi
dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan
memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK), yang diketuaiJaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan
TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk
menunjuk Komite Empatberanggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih
dan berwibawa, seperti Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo,
dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen
Agama, Bulog, CV. Waringin, PT.
Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi
seolah tidak memiliki kekuatan ketika hasil temuan atas kasus korupsi
di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.
Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian,
ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagaiPangkopkamtib,
dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga
memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan
korupsi yang bottom up atau top down di kalangan
pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan
korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan
para koruptor di pemerintahan era Orde Baru.
3) Korupsi pada Era
Reformasi
Di era reformasi, usaha
pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan
UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau
badan baru, sepertiKomisi Pengawas Kekayaan Pejabat
Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000.
Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota
tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK
akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999.
Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi
terbaru yang masih eksis.
Telaah
Yuridis Kelahiran KPK
Sebagaimana
diuraikan di atas, bahwa upaya pembentukan badan pemberantasan korupsi telah
dimulai sejak zaman orde lama. Akan tetapi kemunculan KPK dapat dilihat awal
kelahirannya terutama setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada tanggal 5 April 2000,
Presiden RI yang waktu itu dijabat oleh Abdurrahman Wahid mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Tim Gabungan tersebut terdiri dari unsur-unsur Kepolisian
Negara, Kejaksaan, instansi terkait, dan unsur masyarakat. Tim Gabungan
mempunyai tugas dan wewenang mengkoordinasikan penyidikan dan penuntutan
terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi yang
sulit pembuktiannya.
Tim
Gabungan tersebut merupakan embrio terbentuknya KPK. Tugas dan kewenangan
berupa penyidikan dan penuntutan terhadap perkara korupsi sudah dimiliki oleh
Tim Gabungan tersebut, hanya saja secara kelembagaan masih lemah. Dalam
menangani korupsi yang semakin sistematis dan terstruktur, tentu tidak dapat
dilakukan oleh sekedar Tim Gabungan yang tidak didukung dengan struktur kelembagaan
yang kuat. Apalagi koordinasi Tim Gabungan tersebut masih dilakukan dibawah
komando Jaksa Agung, yang diketahui meskipun memiliki kewenangan penyidikan dan
penuntutan ternyata tidak mampu menunjukkan kinerja yang optimal dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pembentukan
KPK dimulai dari ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengamanatkan
perlunya dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen
dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal
tersebut tercantum pada konsiderans Menimbang huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian menjadi dasar penyusunan UU
KPK tersebut.
Secara
lebih luas, dasar hukum pembentukan KPK antara lain terdiri dari:
1. Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
4. Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Secara
singkat, Komisi Pemberantasan Korupsi lahir berdasarkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Telaah
Filosofis Kelahiran KPK
Tindak pidana korupsi di
Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari
tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian
keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin
sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana
korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap
kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat,
dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara
biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas
tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti
mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara
luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan
luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif,
efektif, profesional serta berkesinambungan.
Pada konsiderans Menimbang huruf
a UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disampaikan bahwa landasan filosofis
pertama pembentukan KPK adalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi
sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu
pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional,
intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Pada konsiderans Menimbang huruf
b UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disampaikan bahwa lembaga pemerintah yang
menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan
efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Dua konsiderans tersebut
menunjukkan bahwa sebelum terbentuknya KPK, lembaga penegak hukum yang ada
(Kejaksaan dan Kepolisian Negara) dinilai belum mampu melakukan penanganan
perkara korupsi secara efektif dan efisien. Meskipun gabungan kewenangan dari
kedua instansi tersebut sudah sangat memadai untuk menangani perkara korupsi,
namun hal tersebut tidak diikuti dengan pencapaian kinerja yang optimal dalam
pemberantasan korupsi.
Ketidakmampuan Kejaksaan dan
Kepolisian Negara tersebut menjadi isu yang sangat tidak relevan dengan agenda
reformasi yang sedang gencar didengungkan, yakni terutama pemberantasan
korupsi. Euforia pembentukan kehidupan bernegara yang baru, yang bersih dari
praktik korupsi, menuntut upaya lebih dalam menangani perkara korupsi. Dengan
latar belakang tersebut dibentuklah lembaga baru, dengan struktur kelembagaan
yang jelas dan kewenangan yang luar biasa, untuk menangani korupsi yang disebut
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Sejarah lembaga
pemberantasan korupsi di Indonesia
Orde
Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk
badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebutPanitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin
oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan
Abdulgani. KepadaParan inilah semua pejabat harus
menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang
disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat
itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin
pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan
kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock,
dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi
Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan
Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagiA.H.
Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan
dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan
tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan
sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan,
seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak
karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas
lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan
negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan
pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat
Revolusi (Kontrar) dengan
Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001mencatatkan
bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masaOrde
Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru
Pada masa awal
Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16
Agustus 1967, Soehartoterang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan
dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan
besar seiring dengan dibentuknya Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK),
yang diketuaiJaksa Agung. Namun, ternyata
ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto
untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang
dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr
Wilopo, dan A.
Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan
Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagaiPangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era
Reformasi
Di era
reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan
Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman
Wahid, membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat
menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika
membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami
oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN
melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya,
KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis
KPK dibawah Taufiqurrahman Ruki (2003-2007)
Pada tanggal
16 Desember 2003, Taufiequrachman
Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah
kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai
katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya
sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan
bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan AnggotaDPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun
konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih
pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).
Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan (27%), perpajakan (17%), kepolisian (11%), DPRD (10%), kementerian/departemen (9%), bea dan cukai (7%), BUMN (5%), lembaga pendidikan (4%), perijinan (3%), dan pekerjaan umum (2%).
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup). Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu "corruption by needs" (korupsi karena kebutuhan), "corruption by greeds" (korupsi karena keserakahan) atau "corruption by opportunities" (korupsi karena kesempatan). Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Orde Lama,
Kabinet Djuanda, dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan
pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang
keadaan bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN),
badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni
Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada PARAN inilah seluruh pejabat
harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir
yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada
saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin
pertanggungjawaban secara langsung kepada presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada PARAN, tetapi langsung kepada presiden. Diimbuhi dengan kekacauan
politik, PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali
pelaksaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi didirikan pada Tahun 1963,
melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H.
Nasution, yang pada saat itu menjabat sebagai menteri
koordinator pertahanan dan kemanan/ KASAB, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo
dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Bhudi. kali ini dengan
tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi kepengadilan dengan
sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta Lembaga Negara lainya yang
dianggap rawan praktek
korupsi dan
Kolusi17.
Lagi-lagi alasan politisi menyebabkan
kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang bertugas ke Luar Negeri dan
direksi lainya menolak karena belum adanya surat tugas dari atasan, menjadi
penghalang efektifitas lembaga ini. Operasi Budhi ini juga berakhir, meski
berhasil menyelamatkan keuangan ngara kurang lebih Rp.11M. Operasi Budhi ini
dihentikan dengan pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dengan presiden
Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.
Bohari pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama kembali masuk kejalur lambat, bahkan
macet.
Orde Baru, Pada
masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1967,
Soeharto terang-terangan mengkeritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas
korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang terpusat ke Istana, pidato itu
seakan memberi harapan besar seiring dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun
ternyata, ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan
Soeharto untuk menunjuk Komite 4 (empat) beranggotakan Tokoh-Tokoh Tua yang
dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof.Johanes, I.J.Kasimo, Mr Wilopo, dan
A.Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh
bersih ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di
Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi
komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat
sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib dengan tugas antara lain juga
memberatas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi
yang bottom up atau top down dikalangan pemberatas korupsi itu sendiri
cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun
hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana
Orde Baru18.
Era Reformasi,
Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara
yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat
Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman
Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
melalui Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah semangat
menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu
judicial review Mahkamah Agung, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logikan membenturkanya ke Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, Nasib Serupa tapi tidak sama dialami oleh KPKPN dengan
dibentuknya Komis Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk kedalam KPK,
sehingga KPKPN sendiri menguap. Artinya, KPK adalah Lembaga Pemberantasan
Korupsi Terbaru
yang kian bertahan.
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Seiring
berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam perubahan dalam sistem
Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada Konstitusi Negara Indonesia. Salah
satu hasil dari Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya,
MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena semua Lembaga Negara didudukkan
sederajat dalam mekanisme checks and balances.
Sementara
itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi
kekuasaan lembaga-lembaga Negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut
memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di
Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan
tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada
tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk
menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis Lembaga Negara baru yang
diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara.
Salah satu Lembaga Negara bantu
yang dibentuk dengan undang-undang adalah KPK. Dibawah perlindungan hukum
Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi. Walaupun
bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung
kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, dan
memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan
persidangan perkara tindak pidana korupsi. Kedepannya, kedudukan Lembaga Negara
Bantu seperti KPK membutuhkan legitimasi hukum yang lebih kuat dan lebih tegas
serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.