Sejarah Berdirinya Palestina Hingga Masuknya Zionis Israel - Palestina secara historis telah dikuasai oleh
orang-orang Mamalik (Mameluke), sejak terjadinya Perang Ain Jalut di wilayah
Palestina pada 1260 dimana Qutuz dan Beybarz, penguasa Mamalik berhasil
mengalahkan Panglima Mongol yang beragama Kristen Nestorian, Kitbugha (Kitbuqa)
Khan.
![]() |
Sejarah Berdirinya Palestina Hingga Masuknya Zionis Israel |
Mamalik awalnya adalah tentara elit yang berasal dari para budak Turki,
kebanyakan berasal dari suku Kipchak, yang mengabdi pada dinasti Ayyubiah
(Kurdi) di Mesir. Setelah kematian Sultan Ayyubiah terakhir, Turansyah pada
1250, Izuddin Aibik mengambil kendali pemerintahan dan menguasai wilayah
seperti Mesir, Palestina dan sebagian Syam (Suriah). Mamalik kemudian
menghidupkan kembali Kekhalifahan Abbasiyah di Mesir sebagai boneka guna
mendapatkan legitimasi atas kekuasaanya. Kekuasaan Mamalik kemudian melemah
pada kisaran tahun 1500-an akibat perang saudara dan banyak wilayah mereka
(termasuk Palestina) yang mulai terbengkalai.
Keadaan tersebut menyebabkan Selim I berikhtiar
memasukkan wilayah Palestina ke dalam wilayah Utsmani. Disamping itu, dinasti
Syafawiyah yang beraliran Syiah Duabelas telah menjadi ancaman bagi Utsmaniyah
mengingat penguasa Syafawiyah, Syah Ismail I gencar mengirim pendakwah Syiah ke
wilayah Antiokia. Dengan dikuasainya Palestina (dulu disebut Al-Quds/Tanah Suci), maka ia mampu membuka
gerbang menuju Mesir dan memungkinkan baginya merebut gelar Khalifah dari
tangan Khalifah Abbasiyah Al-Mutawakkil III yang berada di bawah pengaruh
Mamalik di Mesir, di sisi lain akan lebih dekat baginya untuk mengatasi ancaman
dinasti Syafawiyah yang beraliran Syi’ah. Usahanya menuai hasil ketika ia
mengalahkan Syah Ismail dalam pertempuran Chaldiran (1514), merebut Palestina
dari Mamalik (1516), dan Mesir (1517). Kemenangan Utsmani semakin sempurna
tatkala pengganti Selim I, Sultan Sulaiman I yang bergelar “Si Hebat” berhasil
mengusir Syafawiah dari Baghdad pada 1535.
Sultan Sulaiman I juga digelari oleh rakyatnya
sebagai Kammi (pemberi hukum). Dia
merevisi dan mengembangkan Kanun Nameh
, kode hukum kesultanan yang pertama kali dihimpun dan disebarkan oleh Mehmet
II. Sejumlah hukumnya melindungi hak-hak Yahudi dan rayas (terlindungi), orang-orang Kristen yang hidup dalam komunitas
mereka sendiri dalam kesultanan itu. Di kesultanan Utsmaniyah,
kelompok-kelompok agama boleh mendirikan komunitas mereka sendiri, disebut millet, dimana mereka boleh melaksanakan
hukum agama dan adat mereka sendiri di bawah
pemimpin mereka dan perlindungan Sultan. Tidaklah heran setelah jatuhnya Konstantinopel pada 1453, Islam tidak
dipaksakan kepada penduduknya. George dari Hungaria pernah menulis, ”Orang
Turki tidak memaksa siapapun untuk menanggalkan keyakinannya, tidak mati-matian
membujuk orang lain dan tidak terlalu peduli dengan soal balas dendam.” Seturut ucapan Sultan Mehmet II
kepada Genadios, Rahib Kristen Ortodoks setelah takluknya Ibukota Byzantium
itu, dan Sultan menunjuknya sebagai Patriark, ”Jadi Patriark-lah kamu, semoga
beruntung, dan pastikan persahabatan kita tetap terjaga. Peliharalah seluruh
hak yang dinikmati Patriark sebelum kamu.”
Di ujung lain wilayah Mediterania, penaklukan
terakhir Spanyol oleh Raja-Raja Katholik tehadap wilayah Islam (Reconquista) di Granada, megakibatkan
terjadinya pemaksaan agama (dibawah institusi Gereja yang disebut Inkuisisi-Pen) atau pengusiran seluruh
Muslim dan Yahudi dari wilayah itu. Karen Armstrong berpendapat, “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa
salahsatu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah inkuisisi, yang
merupakan instrumen terror dalam Gereja Katholik sampai dengan akhir abad
ke-17.” Di Spanyol misalnya, inkuisisi secara resmi dibentuk oleh Paus Sixtus
IV pada November 1478, dan baru berakhir pada 1820. Pembentukan ini dipicu oleh
laporan bahwa para Yahudi dan Muslim yang dipaksa memeluk Kristen (dikenal
sebagai converses dan marranos) masih tetap mempraktikkan
ritualitas agama mereka yang lama. Pada 1480, dimulai satu penyelidikan dan
pengadilan terhadap di sebuah jalan utama di kota Barcelon yang dikenal sebagai Ramblas. Disini
semua korban disiksa. Kaum Kristen yang berasal dari Yahudi, misalnya, dicap
sebagai heretics karena masih mempraktikkan tradisi Yahudi, seperti mengenakan
baju linen setiap hari Sabtu, atau tidak mau memakan babi. Dalam setahun saja
tidak kurang dari 300 orang dibakar hidup-hidup. Kondisi kaum Yahudi dan Muslim
menjadi lebih buruk setelah Thomas de Torquemada menjadi “inquisitor general” untuk wilayah Castille dan Aragon pada 1483.
Jumlah yang dibakar hidup-hidup semakin banyak. Torquemada kemudian berusaha
mengusir seluruh Yahudi dari Spanyol. Upaya ini kemudian berhasil, dengan
dikeluarkannya perintah pengusiran Yahudi dari Spanyol oleh Ferdinand dan
Isabella, yang dikenal dengan General
Edict on the Expulsion of the Jews from Aragon and Castile.
Berbeda dengan keadaan di Eropa, kaum Yahudi di
wilayah Utsmani merasakan hidup yang damai dan sejahtera. “Di sini di tanah
orang Turki, kami tidak punya keluhan apa-apa”, tulis seorang rabbi kepada
saudaranya di Eropa.”Kami sangat beruntung, kami mempunyai emas dan perak. Kami
tidak dibebani pajak yang besar dan perdagangan kami bebas bejalan tanpa
kendala.” Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan
kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535, David de
Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Utsmani, kaum Yahudi
bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di
Eropa. Ia mencatat, “Kami disini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di
negeri kami sendiri.”Roger Lockyer bahkan memuji kekuatan Militer Utsmani dalam pendapatnya,
“Tentara Turki adalah buah dari toleransi bangsa Turki terhadap masyarakat yang
mereka taklukkan. Walaupun bagian besar populasi Kekaisaran Utsmani adalah
Yahudi dan Kristen, mereka tidak tertarik untuk (memaksakan) konversi agama.”
Perlindungan Utsmani kepada Yahudi menjadi
benar-benar berharga tatkala Inkuisisi tengah bergulir di Eropa. Utsmani saat
itu dipimpin oleh Sultan Bayezid II yang memerintah pada 1481-1512. Pada bulan April 1892, Yahudi di Turki
Utsmani merayakan apa yang mereka sebut sebagai, “the fourth centennial of their immigration
to Turkey.” Suatu doa dipanjatkan untuk mensyukuri keberadaan “400 tahun Yahudi di Turki Utsmani,” yaitu
sejak mereka mendapatkan perlindungan dari Sltan Bayezid II. Istilah mereka, “the four hundred years since the Jews had
come to find shelter under the wings
of righteous and compassionate sultan, Sultan Bayezid II.” Ucapan selamat
pun diucapkan oleh The Central Committee
of the Alliance Israelite Universelle in Paris kepada Sultan Abdul Hamid II
yang berisi :
“ Pada musim semi tahun 1492, kaum Yahudi yang
diusir dari Spanyol menemukan perlindungan di Turki. Sementara mereka ditindas
di belahan dunia lainnya, mereka tidak pernah berhenti menikmati perlindungan
di negeri-negeri leluhur Tuan yang jaya. Mereka mengizinkan Yahudi hidup dalam
keamanan, untuk bekerja dan untuk membangun… The Alliance Israelite Universelle bersama dengan Yahudi Turki; dan
seluruh pemeluk agama lain dari semua negeri, bergabung dengan kami untuk
merayakan ulang tahun ke-400 bertempatnya Yahudi di Turki.”
Toleransi yang dianut oleh Turki Utsmani adalah
refleksi Islam yang terproyeksikan dalam perlindungan mereka pada orang-orang
Yahudi. Karen Armstrong, seorang pemikir non-Muslim juga menekankan bahwa hal
ini sesuai dengan ajaran Rasulullah Saw : “Muhammad tak pernah meminta orang
Yahudi atau Kristen untuk menganut agama Allah, kecuali jika mereka sendiri
yang betul-betul menginginkannya…” Keteladanan lainnya yang pasti diadaptasi oleh Utsmani ialah ketika
Islam untuk pertama kalinya memasuki kota Jerusalem pada Februari 638 M dibawah
pimpinan Umar Bin Khattab, setelah merebutnya dari Byzantium. Karen Armastrong
kembali berpendapat mengenai hal ini :
“ Umar Juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan pengecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang kota itu belum pernah menyaksikan sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan disana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jerusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.”
Trias Kuncahyono dalam bukunya; Jerusalem-Kesucian, Konflik dan Pengadilan akhir, ikut menambahkan
gambaran akan toleransi yang diberikan oleh
Pemerintah Utsmani kepada pemeluk Kristen (Ortodoks) Rusia yang
menyelamatkan kelangsungan Kepatriarkan Gereja ini terutama setelah Revolusi
Rusia 1917 :
“Orang-orang Kristen Rusia diperkirakan mulai berziarah ke Tanah Suci (Palestina-Pen) sejak abad ke-11. Tetapi mereka tidak memiliki lembaga sendiri di Palestina, sampai abad ke-19. Setelah Perang Krimea, sewaktu jumlah peziarah dari Rusia meningkat drastis... Di tempat itu dibangunlah Gereja (1885). Revolusi Rusia 1917 dan penghinaan kaum Bolshevik terhadap gereja mendorong mereka untuk menghentikan perziarahan. Namun pada saat yang bersamaan, mereka membangun “Gereja di Pengasingan”. Gereja di Tanah Suci itu melanjutkan Kepatriarkan Moskwa.”
Semua Peradaban yang maju pasti akan menemukan
stagnansi dan mengalami degradasi secara perlahan dan terus hilang. Ini sudah
sangat lazim dalam sejarah manusia, karena pada dasarnya setiap individu,
sebagai mikrokosmos juga terlibat kompetisi dengan individu lain dalam tinjauan
makrokosmos hubungannya. Pemerintah Utsmani juga mengalami hal yang sama.
Ekonomi kesultanan terpukul telak ketika orang-orang Belanda dan Britania
mengembangkan rute laut ke Asia guna menggantikan rute darat melalui wilayah
Utsmani. Ekonomi semakin terpukul oleh inflasi, yang penyebabnya antara lain
aliran perak Spanyol dari koloni-koloni dunia baru di Amerika Selatan.
Serangkaian pemerintahan Sultan yang lemah menyebabkan rusaknya struktur-struktur pemerintahan dan militer yang
tadinya kuat. Angkatan laut Utsmaniyah dikalahkan oleh Liga Suci yang dibentuk
Paus Pius V dan kehilangan kendali atas Mediterania. Kemudian, selama abad
ke-17, negara-negara yang lebih kuat di Eropa bermunculan dan bersekutu guna
mengekang kekuasaan Utsmaniyah.
Tatkala keadaan memburuk dan Utsmani semakin
kehilangan pamor di kancah internasional, konspirasi di dalam tubuh Utsmani
juga ikut menggerogoti negara adidaya ini menjadi, seperti ucapan Tsar Nicholai
I kepada Utsmani, “Orang Sakit dari Eropa”. Utsmani sempat melakukan Tanzimet (penataan ulang) atau reformasi
dari tahun 1839-1876 yang mengagendakan pengenalan pabrik, sistem pendidikan,
dan angkatan bersenjata modern. Hatt-I-Humayun
(Pengumuman Reformasi Kekhalifahan) pada 1856 yang berisi tentang persamaan hak
warga negara. Pada tahun 1876 para pendukung reformasi berpendidikan barat yang
menyebut dirinya Utsmaniyah Muda (kemudian menjadi Turki Muda) memimpin kudeta
militer guna menegakkan monarkhi konstitusional. Hasilnya ialah konstitusi
pertama kesultanan itu, Kanun-I Esasi
(Hukum Dasar) dan adanya parlemen, yang diterbitkan Sultan Abdul Hamid II pada
1876, namun ia bekukan dua tahun kemudian. Setelah Revolusi Turki Muda pada
1908 dimenangkan oleh pendukung Tanzimet
dan kaum Sekuler akhirnya Abdul Hamid II kembali menghidupkan parlemen.
Keadaan lemah dan pertikaian internal Utsmani
merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya gerakan yang paling dibenci oleh umat
Yahudi Relijius, Rakyat Palestina yang masih menderita kini, dan siapapun yang
bernurani : Zionisme. Zionisme adalah suatu ideology sekuler yang sangat
dramatis dan sukses mencapai tujuannya di abad ke-20. Berakar dari rumusan
sederhana terhadap kondisi riil fenomena anti-Yahudi Eropa yang masih terjadi
hingga abad ke-19. Pendirinya adalah Theodor Herzl, seorang Yahudi kelahiran 2
Mei 1860 di Budapest, Hungaria. Tahun 1891, ia menerima penugasan dari Koran Neue Freie Press, sebagai koresponden di
paris. Inilah kemudian yang merubah sejarah hidupnya saat ia meliput pengadilan Kapten Alfred Dreyfus,
seorang Yahudi yang dituduh melakukan kegiatan mata-mata. Disinilah Herzl
melihat merebaknya semangat anti-Yahudi (yang biasa diistilahkan oleh orang
Yahudi sebagai anti-Semitisme). Kasus Dreyfus ini telah mengubah pendapatnya
yang selama ini percaya pada teori “asimilasi” untuk penyelesaian masalah
Yahudi. Tahun 1896, gagasannya dia tulis dalam pamflet berjudul “Der Judenstaat” (Sebuah Negara Yahudi).
Herzl nampaknya sangat agresif. Stahun kemudian , 1897, meskipun menghadapi
banyak tantangan, dia sudah menyelenggarakan Kongres Zionis Pertama. Nama Zionisme sendiri diambil
dari nama perbukitan utama di Jerusalem yaitu bukit Zion. Bukit ini telah
menjadi symbol seluruh Jerusalem yang disucikan kaum Yahudi bahkan sejak zaman
pembuangan Babel. Bahkan diabadikan dalam Perjanjian Lama, dalam Yesaya 52:2,”Kebaskanlah debu dari padamu, bangunlah, hai Jerusalem yang tertawan !
Tanggalkanlah ikatan-ikatan dari lehermu, hai puteri Zion yang tertawan !.” Landasan ini yang diambil oleh
Zionis untuk membawa Kaum Yahudi “Pulang” ke “Tanah Yang Dijanjikan-The Promised
Land” (dalam hal ini ialah Palestina).
Herzl juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki
jangkauan lobi yang begitu luas. Ia bahkan sempat berusaha meyakinkan Sultan
Abdul Hamid II melalui perantara Kaiser Wilhelm II yang memiliki hubungan baik
dengan Sultan. Kaisar kemudian mengirimkan surat kepada paman Sultan sebagai
perantara :
“ Saya diyakinkan bahwa pendirian Kota Suci bagi bangsa kaya dan berindustri seperti Israel akan membawa pada kemakmuran yang belum tercontohkan dan membawa berkah bagi Kota Suci itu. Pendirian itu akan membawa jutaan (uang) bagi kas bangsa Turki.. dan secara bertahap akan membantu menyelamatkan “The Sick Man” dari kebangkrutan.”
Sultan kemudian menolak keras tawaran Theodore
Herzl dan menyampaikan ketegasannya
pada
Newlinsky seorang wartawan
dan sahabat Herzl.
Sultan menyampaikan
:
“Jika Tuan
Herzl sebagaimana kamu juga mau menjadi temanku, maka nasihati dia, agar jangan
mengambil langkah lagi dalam masalah ini. Saya tidak dapat menjual, walaupun
sejengkal tanah ini (Palestina), yang bukan menjadi milikku, tetapi milik
rakyatku. Rakyatku telah memenangkan Kekaisaran
ini dengan bertempur untuknya, dengan mengucurkan darah mereka, dan telah
menyuburkan tanah ini dengan darah mereka…. Turki Utsmani bukanlah milikku tetapi
untuk rakyat Turki…Silakan Yahudi menabung miliaran (uang) mereka. Jika
kekhalifahanku sudah terbagi-bagi, mereka mungkin akan mendapatkan Palestina
tanpa imbalan.”
Zionis mengambi jalan alternatif yang tepat dengan
mengarahkan pandangannya kepada Organisasi Turki Muda. Sejumlah Yahudi (anggota
Zionis) yang aktif dalam organisasi ini adalah Avram Galante dan Emanuel
Karassu. Karassu sendiri adalah seorang ketua sebuah loji Freemason di
Salonika. Bahkan mereka mampu merangkul para kader organisasi ini, salah satunya
ialah Apdullah Cevdet yang dikenal sebagai simpatisan Gerakan Zionisme. Ia
menyatakan, “Sejak kami membangun hubungan dengan peradaban Barat, satu
kebangkitan intelektual telah terjadi; sebelum hubungan ini, masyarakat kami
kurang kehidupan intelektual.”
Kaum Zionis dengan segala manuvernya akhirnya mampu
mewujudkan migrasi awal mereka secara besar-besaran. Aliyah I (Imigrasi Pertama) pada 1882-1904 telah mampu membawa
30.000 imigran Yahudi dari Eropa Timur yang didanai oleh Rodschild Family. Aliyah II (1904-1914) telah menggiring 33.000
imigran Yahudi. Mandat Palestina oleh Liga Bangsa-Bangsa pada 24 Juli 1924 telah
mengokohkan Palestina sebagai “National Home” bagi Yahudi. Kekalahan Utsmani
pada Perang Dunia I menyebabkan dihapusnya Kekhalifahan pada 1 november 1922,
Sultan terakhir, Mehmed VI Vahideddin meninggalkan Istanbul pada 17 November,
setahun berikutnya Republik Turki didirikan pada 29 Oktober 1923. Palestina
semakin sengsara nasibnya terutama ketika seusai Perang Dunia II, saat hampir
semua Yahudi semakin percaya pada Zionisme akibat kebrutalan Hitler,
Palestina-lah yang harus “menyediakan rumah” bagi Yahudi. Tetapi, nampaknya
masih ada sedikit Umat
Yahudi Relijius yang berani mengungkapkan kebenaran, seperti golongan Neturei
Karta yang menolak pendirian Negara Israel melalui perampasan dan kekerasan,
telah disebutkan dalam Kitab Talmud Ketubot : 111a.
Neturei Karta, melalui Rabbinya,
Yisroel Dovid Weiss menegaskan,”..Negara Zionis itu dibuat sebagai pengganti
kesucian dan ketuhanan Agama Yahudi, yang mengubah keunikan mereka, (sebagai)
esensi yang berakar mendalam, kepada satu teritori, satu politik Gentile (kafir).” Bahkan Abraham (Ibrahim AS) yang telah menerima janji dari Tuhan atas Tanah Palestina (bdk.
Kejadian 15 : 18-21) masih harus membeli tanah pekuburan bagi Sara dari Efron
orang Het disana : “Lalu Abraham menerima
usul Efron, maka ditimbangnyalah
perak untuk Efron, sebanyak yang dimintanya dengan didengar oleh Bani Het itu,
empat ratus syikal perak seperti yang berlaku di antara para saudagar.” Bukan merebut, merampas, dan
mengusir. Inilah yang terjadi setelah
Utsmaniyah runtuh dan toleransi masih menjadi harapan panjang disana, di
Al-Quds.
Demikianlah Sejarah Berdirinya Palestina Hingga Masuknya Zionis Israel dan jangan lupa juga untuk membaca artikel kami tentang Sejarah Konflik Israel dengan Palestina.