Sejarah Ilmu Kalam - Setiap orang yang ingin memahami
seluk beluk agamanya perlu mempelajari ilmu teologi/kalam. Yang merupakan salah
satu disiplin ilmu yang dikembangkan secara sistematis oleh para pemikir muslim
klasik(salafi). Sehingga pemikiran kalam bersentuhan dengan ilmu fiqh, filsafat
dan tasawuf.
Ilmu kalam
mempunyai arti pembicaraan yang bukan pembicaraan biasa, akan tetapi sebuah pembicaraan
yang menggunakan rasio atau akal sehat manusia. Kalam sendiri berasal dari kata
”kalm” dengan arti cacat atau luka, karena berpicu pada argumen rasional dari
pada wahyu (nash al-qur’an)
Sejarah Lahirnya ilmu kalam
Munculnya Ilmu Kalam dipicu oleh persoalan politik
yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada
penolakan Mu’awiyah atas kekholifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara
Mu’awiyah dan Ali bin Abi Tholib mengkristal menjadi Perang Shiffin yang
berakhir dengan keputusan tahkim yakni tawaran yang diusulkan untuk memecah
kubu Sayyidina ali menjadi dua bagian yaitu Syi’ah dan Khowarij (arbitrase).
![]() |
Sejarah Ilmu Kalam |
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash,
utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, ia dalam keadaan terpaksa, itu tidak
disetujui oleh sebagian tentaranya dalam arti menentang. Mereka memandang Ali
bin Abi Tholib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya.
Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan sebutan Khawarij, yaitu orang yang
keluar dan memisahkan diri. Sedangkan, sebagian besar pasukan yang membela dan
tetap mendukung Ali menamakan dirinya sebagai kelompok Syi’ah.
Adapun faktor –faktor penyebab ilmu kalam ada dua, yaitu faktor internal dan
eksternal ialah sebagai mana akan dibahas ;
1. Faktor
Internal.
a. Al-Qur’an
disamping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain
yang berhubungan dengan itu, al-qur’an juga menyinggung golongan-golongan dan
agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW yang mempunyai
kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Al-qur’an tidak membenarkan
kepercayaan mereka dan membantah alas an-alasannya antara lain:
a)
Golongan yang
mengingkari agama dan adanya Tuhan, dan mereka mengatakan bahwa yang
menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja (baca al-jatsiah 24).
b)
Golongan-golongan
syirik, yang menyembah bintang-bintang, bulan, matahari, (baca al-an’am76-78)
yang mempertuhan Nabi Isa dan Ibunya (baca al-ma’idah 116), yang menyembah
berhala-berhala (baca al-an’am 74 dan as-Syu’ara 9).
c)
Golongan-golongan yang
tidak percaya akan keutusan Nabi-nabi (baca Isra 94) dan tidak mempercayai
kehidupan kembali di akhirat nanti (baca al-Anbiya’ 104).
d)
Golongan yang
mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah dari perbuatan Tuhan
semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia ( yaitu orang-orang munafik)
(baca Ali Imran 154).
Tuhan
membantah alasan-alasan dan perkataan-perkataan mereka semua dan juga
memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk tetapmenjalankan dakwahnya sambil
menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya dengan cara yang halus.[1]
b.
Ketika kaum muslimin
telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru, dan keadaan mulai stabil serta
melimpah ruah rizkinya, di sinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan
agama, dan bersungguh-sungguh dalam membahasnya dan mempertemukan nash-nash
agama yang kelihatannya bertentangan. Keadaan seperti ini hampir merupakan gejala umum bagi
tiap-tiap agama. Pada mulanya agama itu hanyalah kepercayaan yang sederhana dan
kuat, tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan.
Pemeluk-pemeluknya menerima bulat-bulat apa yang diajarkan agama, kemudian
dianutnya dengan sepenuh hatinya tanpa memerlukan penyelidikan dan
pemilfisatan. Setelah itu datang fase pemfilsatan dan pemikiran dalam
membicarakan soal agama secara ilmiah dan filosofis. Kemudian tokoh-tokoh agama
mulai memakai filsafat untuk memperkuat hujjah-hujjah dan
penjelasan-penjelasanny. Inilah yang telah terjadi pada agama yahudi dan ini
pulalah yang terjadi pada agama nasrani.
c.
Sebab yang ke tiga
adalah soal-soal politik. Contoh yang paling jelas dalam persoalan tersebut
adalah masalah khilafah. Sebenarnya masalah khilafah itu adalah soal politik
belaka. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk khilafah dengan
cara tertentu. Tetapi agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan
kepentingan umum. Wakil-wakil umat bisa membuat peraturan-peraturan yang
menjamin sebaik-baiknya cara dan menghilngkan sebab-sebab pertikaian. Jika
terjadi suatu perselisihan, maka perselisihan tersebut adalah semata-mata soal
politik. Oleh karena perselisihan politik adalah factor yang besar dari
sebab-sebab perselisihan soal agama, kepercayaan, dan perpecahan.[2]
2. Faktor
Eksternal
1) Banyak
diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama yahudi, masehi dan
lain-lain, bahkan diantara mereka ada yang sudah pernah menjadiulamanya.
Setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh agama yang baru yaitu
Islam, mereka mulai mengingat-ingat kembali ajaran-ajaran agamanya yang dulu,
dan di masukkannyadi dalam ajaran Islam. Karena itu dalam buku-buku aliran dan
golongan Islam sering kita dapati pendapat-pendapatyang jauh dari ajaran Islam
sebenarnya.
2) Golongan
Islam yang dahulu, terutama golongan mu’tazilah memusatkan perhatiannya yang
terpenting adalah untuk dakwah Islam dan bantahan alasan orang-orang yang
memusihi Islam. Mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya kalau mereka
sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta
alasan-alasannya. Dengan demikian harus mereka menyelami pendapat-pendapat
tersebut, dan akhirnya Negeri Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam
pendapat dan bermacam-macam agama. Hal ini bisa mempengaruhi masing-masing
pihak yang bersangkutan. Salah satu seginya yang terang ialah penggunaan
filsafat sebagai senjata kaum muslimin.
3) Factor
ketiga ini merupakan kelanjutan factor kedua, yaitu para mutakalimmin hendak
mengimbangi lawan-lawannya menggunakan filsafat, terutama segi ketuhanan.
Karena itu Annazzam (tokoh mu’tazilah) membaca buku-buku Aristotelesdan
membantah beberapa pendapatnya. Demikian pula Abul Huzail al-Allaf (juga
tokohMu’tazilah).[3]
1.
Perkembangan
ilmu kalam pada masa ke masa.
a. Pada masa nabi.
Pada masa Nabi SAW,dan para khulafaurosyiddin, umat islam
bersatu, mereka satu akidah, satu syariah dan satu akhlaqul karimah,kalau
mereka ada perselisihan pendapat dapat di atasi dengan wahyu dan tidak ada
perselisihan di antara mereka.awal mula adanya perselisihan di picu oleh
abdullah bin saba (seorang yahudi)pada pemerintahan khalifah usman bin afan dan
berlanjut pada masa khalifah ali. Dan awal mula adanya gejala timbulnya
aliran-aliran adalah sejak khalifah usman bin afan, (setelah wafatnya
rosulullah) pada masa itu di latar belakangi oleh kepentingan kelompok,yang
mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah utsman bin
afan.kemudian di gantikan oleh ali bin abi thalib,pada masa itu perpecahan di
tubuh umat islam terus berlanjut.[4]
Umat islam pada masa itu ada yang pro terhadap kekhalifan
ali bin abi tholib yang menamakan dirinya kelompok syi’ah,dan yang kontra yang
menamakan dirinya khawarij.akhirnya perpecahan memuncak kemudian terjadilah
perang jamal yaitu perang antara ali dengan aisyah dan perang siffin yaitu
perang antara ali dengan mu’awiyah.bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai
aliran di kalangan umat islam masing-masing kelompok juga terpecah
belah,akhirnya jumlah aliran di kalangan umat islam menjadi banyak,seperti
aliran syi’ah , khowarij,murji’ah,jabariyah,mu’tazilah dll.
b.
Pada masa bani umayah(661-750 M)
Masalah aqidah menjadi pendebatan yang hanyat di kalangan
umat islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologi seperti murjiah,
qodariyah jabariyah dan muktazilah. Kaum muslim tidak bisa mematahkan
argumentasi filosofi orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat
rasional pula. Untuk itu bangkitlah mu’tazilah mempertahankan kehidupan dengan
argumentasi-argumentasi filosofis tersebut. Namun sikap mu’tazilah yang terlalu
mengagungkan akaldan melahirkan berbagai pendapat controversial menyababkan
kaum tradisional tidak menyukainya akhirnya lahir aliran ahlusunnah waljama’ah
dengan tokoh besarnya abu hasan al-asy’ari dan abu mansyur al-maturidi. Pada
zaman bani umayah hampir keseluruhan umat islam di dalam keimanan yang bersih
dari sebarang pertikaian dan perdebatan.dan apabila kaum muslimin selesai
melakukan pembukaan negri dan kedudukanya telah pun mantap, mereka beralih
tumpuan kepada pembahasan sehingga menyebabkan berlaku perse;isihan pendapat di
kalangan mereka.
c.
Pada zaman abasiyah
Telah banyak pembahasan di dalam perkara-perkara akidah
termasuk perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman nabi saw atau xaman para
sahabatnya, pembahasan tersebut memberi penumpuan menjadi satu ilmu yang baru
yang di beri nama ilmu kalam.
Setelah kaum muslimin selesai membuka negeri-negeri,lalu
ramai dari kalangan penganut agama lain yang memeluk islam. Mereka ini
menzahirkan pemikiran-pemikiran baru yang di ambil dari agama lain yang memeluk
islam.mereka ini menzahirkan pemikiran-pemikiran baru yang di ambil dari agama
lama mereka, tetapi di beri rupa bentuk
islam iraq khusunya di basrah merupakan tempat segala agama dan aliran. Maka
terjadilah perselisihan apabila ada suatu golongan yang menafikan irodah
manusia. Kelompok ini di ketuai oleh jahnm bin safwan[5]
dan para antara pengikutnya ialah para pengikut aliran jabariyah yang di ketuai
oleh ma’bad al juhni, aliran ini lahir di tengah-tengah kekacauan dan asa yang
di bentuk oleh setiap kelompok untuk diri mereka. Kemudian bangkitlah
sekelompok orang yang ikhlas memberi penjelasan mengenai akidah-akidah kaum
muslimin berdasarkan jalan yang di tempuh oleh al-qur’an antara yang masyhur di
kalangan mereka ialah hasan al basyri.dan sebagian dari kesan perselisihan
antara hasan al-basyri dengan muridnya washil bin atho ialah lahirnya suatu
kelompok baru yang di kenal dengan muktazilah, perselisihan tersebut ialah
mengenai hukum orang beriman yang mengerjakan dosa besar. Kemudian mati sebelum
sempat bertaubat.
Pada akhir kurun ketiga dan awal kurun keempat, lahirlah
imam abu matrudi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka
membentuk aliran al-maturu\idiah kemudian muncul pula abu hassan al asy’ari
yang telah mengumumkan keluar dari kelompok mu’tazilah dan menjelaskan
asas-asas pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan
fuqoha dan ahli hadis. Dia dan pengikutnya di kenal sebagai aliran asy-ariyah
dan dari dua kelompok ini terbentuklah kelompok ahli sunnah wal kamaah
Dan kesimpulanya
kita dapat melihat bahwa kemunculan kelompok-kelompok di dalam islam adalah
kembali pada dua perkara yaitu, perselisihan mengenai pengetahuan,perselisihan
di dalam masalah usul atau asal agama.
2.
Aliran-aliran
yang berkembangan dalam pemikiran kalam umat Islam.
Adapun aliran – aliran dalam perkembangan ilmu kalam
disebabkan, karena adanya perbedaan dalam mengambil suatu kaidah – kaidah dan
dasar – dasar kalam. Seperti halnya masalah tenteng ayat qur’an yang
menimbulkan pemahaman yang berbeda – beda dalam menyikapi sifat atau dzat
Allah.
Ilmu kalam secara garis besar terbagi menjadi 6
aliran, berikut adalah pemaparannya ;
1. Aliran Qodariyyah.
Secara bahasa Qodariyyah berasal dari bahasa arab
“qodara“ yang mempunyai arti kemampuan
atau kekuatan, sedangkan secara
terminologi qodariyyah adalah aliran ilmu kalam yang percaya bahwa manusia
mampu mengendalikan dirinya sendiri tanpa ada perantara sang Kholiq. Aliran ini
berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi ialah atas kehendak makhluk itu
sendiri, seperti halnya kesuksesan seseorang terjadi karena atas kemampuan dan
kerja keras manusia tanpa adanya ikut campur dari Allah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr.
Hadariansyah, orang - orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang
mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan
dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan
perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[6]
Sejarah
lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad
al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.[7]
2. Aliran Jabariyyah.
Secara
bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian
memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang
berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak
adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah.
Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa.[8]
Menurut
Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya
adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan
kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini
manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki
kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia
menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[9]
3. Aliran Mu’tazilah.
Aliran
Mu’tazilah tumbuh pada masa khalifah Umaiyah. Tetapi melibatkan pemikiran Islam
pada khalifah Abbasyiah dalam waktu yang cukup lama. Kaum ini merupakan
golongan yang membawa pesoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan
bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan
Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat
nama “kaum Rasionalais Islam”.[10]
Kebanyakan
Ulama sepakat bahwa pendiri kaum ini adalah Washil bin Atha’, salah satu murid
Al-Hasan Basri yaitu ketika timbul suatu masalah tentang kedudukan orang yang
melakukan dosa besar. Washil menentang gurunya, Al-Hasan Al-Basri, dengan
mengatakan, “aku berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukan mukmin
sama sekali, akan tetapi dia berada di antara dua posisi (al-manzilah baina
al-manzilataini)”. Setelah itu kemudia ia meninggalkan gurunya dan mendirikan
majelis lain di masjid.[11]
4. Aliran Murji’ah.
Nama
Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a bermakna juga memberi harapan, yakni
memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan
Rahmat Allah. Selain itu, arja’a juga berarti meletakkan di belakang atau
mengkudiankan, yaitu orang yang mengutamakan iman daripada amal. Oleh karena
itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa (yakni Ali dan Muawiyah serta pengikut masing-masing) kelak dihari
kiamat.
Ada
beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori
pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian
sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi
pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah sebagai
kelompok politik maupun Teologis diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan
Syi’ah dan Khawarij. Yang mana kelompok Murji’ah merupakan musuh berat
Khawarij.[12]
5. Aliran Khowarij.
Pengertian khowarij, secara etimologi berasal dari
kata khoroja yang artinya keluar, secara terminologi adalah orang atau kelompok
yang keluar dari pimpinan yang sah, yang telah disetujui, baik dari masa
khulafa’urrosyiddin, tabi’in, maupun sesudahnya.[13]
Golongan khorij ini, semula merupakan pengikut
shahabat Ali, dalam menghadapi Mu’awiyyah ketika perang siffin, suatu
peperangan antara kholifah Ali melawan Mu’awiyyah. Mereka mengundurkan diri
dari kelompok Ali lantaran pihak Ali menerima tahkim yang ditawarkan pihak
mu’awiyyah. Sebenarnya Ali menolak tawaran itu, lantaran kemenangan telah
didepan mata.[14]
6. Aliran Syi’ah.
Seacara lughowi, syi’ah berarti pengikut, pendukung,
atau penolong. Menurut az-Zawi kata ini di kenal sebagai pendukung Ali atau
pendukungnya.[15]
Tetapi secara terminologi, adlah sikap dukungan kepada Ali untuk meneruskan
kepemimpinan rasullullah, yang dalam hal ini dapat dibedakan pada dua masalah
(Ghazali munir : 2010. Hlm 26-27) ;
1) Yang hanya menekankan keutamaan Ali untuk
meneruskan kepemimpinan rasullullah,
termasuk keutamaannya dari abu bakar, umar, dan utsman.
2) Yang menekankan pada keyakinan bahwa imamah Ali bukan
sekedar lebih utama, tetapi sudah merupakan wasiat dari rasullullah atas
kehendak Allah.
7. Aliran Asy’ariyyah.
Dalam kemuktazilah yang keruh,muncullah al asy’ari, di
besarkan dan di didik,sampai mencapai umur lanjut.ia telah membela aliran
muktazilah sebaik-baiknya,akan tetapi aliran tersebut kemudian di
inggalkanya,bahkan memberinya pukulan-pukulan hebat dan menganggapnya lawwan yang berbahaya. Namanya Abu hasan ali
bin ismail al- asy-ari,keturunan dari abu musa al-asy’ari. Salah seorang
perantara ali dan muawiyyah.al asy’ari lahir pada tahun 260H/873 M dan wafat
pada tahun 324 H/935 M [16].
8.
Aliran
maturidiyyah.
Aliran maturidiyyah seperti aliran asy’ariyah masih
tergolong ahli sunnah .pendirinya ialah muhamad bin muhamad abu mansyur.ia di
lahirkan di maturid,sebua kota kecil di daerah samarkand (termasuk daerah
usbekistan sekarang pada pertengahan
abad ketiga hijriyah dan meninggal di samarkand tahun 332H.
DAFTAR PUSTAKA
- Hadariansyah, AB,
Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin:
Antasari Press, 2008).
- Anwar, Rosihan,
Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2.
- Nasution, Harun, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,
1986), cet ke-5.
- M. Abu Zahrah, Sejarah
Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, (Jawa
Timur, PSIA, 1991).
- Sby Sariono, lihat
di http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/murjiah-pemikiran-doktrin-dan-sekte.html
unduhan(senin, 16 maret 2015 08:00wib)
- Hanafi ahmad,teologi islam ,pt
bulan bintang Jakarta,1974.
- A. Nasir Sahilun, Pemikiran Kalam, (Jakarta,
PT Raja Grafindo, 2010), cet 1
- Munir ghozali, ilmu kalam aliran aliran dan pemikiran islam, (Semarang, RaSAIL Media Group, 2010