Wednesday, January 31, 2018

Sejarah Ilmu Kalam

Sejarah Ilmu Kalam - Setiap orang yang ingin memahami seluk beluk agamanya perlu mempelajari ilmu teologi/kalam. Yang merupakan salah satu disiplin ilmu yang dikembangkan secara sistematis oleh para pemikir muslim klasik(salafi). Sehingga pemikiran kalam bersentuhan dengan ilmu fiqh, filsafat dan tasawuf.
Ilmu kalam mempunyai arti pembicaraan yang bukan pembicaraan biasa, akan tetapi sebuah pembicaraan yang menggunakan rasio atau akal sehat manusia. Kalam sendiri berasal dari kata ”kalm” dengan arti cacat atau luka, karena berpicu pada argumen rasional dari pada wahyu (nash al-qur’an)


Sejarah Lahirnya ilmu kalam
Munculnya Ilmu Kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekholifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Tholib mengkristal menjadi Perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim yakni tawaran yang diusulkan untuk memecah kubu Sayyidina ali menjadi dua bagian yaitu Syi’ah dan Khowarij (arbitrase).

Sejarah Ilmu Kalam
Sejarah Ilmu Kalam


Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, ia dalam keadaan terpaksa, itu tidak disetujui oleh sebagian tentaranya dalam arti menentang. Mereka memandang Ali bin Abi Tholib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan sebutan Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Sedangkan, sebagian besar pasukan yang membela dan tetap mendukung Ali menamakan dirinya sebagai kelompok Syi’ah.
Adapun faktor –faktor penyebab  ilmu kalam ada dua, yaitu faktor internal dan eksternal ialah sebagai mana akan dibahas ;
1.      Faktor Internal.
a.       Al-Qur’an disamping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, al-qur’an juga menyinggung golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Al-qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alas an-alasannya antara lain:
a)      Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan, dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja (baca al-jatsiah 24).
b)      Golongan-golongan syirik, yang menyembah bintang-bintang, bulan, matahari, (baca al-an’am76-78) yang mempertuhan Nabi Isa dan Ibunya (baca al-ma’idah 116), yang menyembah berhala-berhala (baca al-an’am 74 dan as-Syu’ara 9).
c)      Golongan-golongan yang tidak percaya akan keutusan Nabi-nabi (baca Isra 94) dan tidak mempercayai kehidupan kembali di akhirat nanti (baca al-Anbiya’ 104).
d)     Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah dari perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia ( yaitu orang-orang munafik) (baca Ali Imran 154).
Tuhan membantah alasan-alasan dan perkataan-perkataan mereka semua dan juga memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk tetapmenjalankan dakwahnya sambil menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya dengan cara yang halus.[1]

b.      Ketika kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru, dan keadaan mulai stabil serta melimpah ruah rizkinya, di sinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama, dan bersungguh-sungguh dalam membahasnya dan mempertemukan nash-nash agama yang kelihatannya bertentangan. Keadaan seperti  ini hampir merupakan gejala umum bagi tiap-tiap agama. Pada mulanya agama itu hanyalah kepercayaan yang sederhana dan kuat, tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan. Pemeluk-pemeluknya menerima bulat-bulat apa yang diajarkan agama, kemudian dianutnya dengan sepenuh hatinya tanpa memerlukan penyelidikan dan pemilfisatan. Setelah itu datang fase pemfilsatan dan pemikiran dalam membicarakan soal agama secara ilmiah dan filosofis. Kemudian tokoh-tokoh agama mulai memakai filsafat untuk memperkuat hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasanny. Inilah yang telah terjadi pada agama yahudi dan ini pulalah yang terjadi pada agama nasrani.
c.       Sebab yang ke tiga adalah soal-soal politik. Contoh yang paling jelas dalam persoalan tersebut adalah masalah khilafah. Sebenarnya masalah khilafah itu adalah soal politik belaka. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk khilafah dengan cara tertentu. Tetapi agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum. Wakil-wakil umat bisa membuat peraturan-peraturan yang menjamin sebaik-baiknya cara dan menghilngkan sebab-sebab pertikaian. Jika terjadi suatu perselisihan, maka perselisihan tersebut adalah semata-mata soal politik. Oleh karena perselisihan politik adalah factor yang besar dari sebab-sebab perselisihan soal agama, kepercayaan, dan perpecahan.[2]

2.      Faktor Eksternal
1)      Banyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama yahudi, masehi dan lain-lain, bahkan diantara mereka ada yang sudah pernah menjadiulamanya. Setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh agama yang baru yaitu Islam, mereka mulai mengingat-ingat kembali ajaran-ajaran agamanya yang dulu, dan di masukkannyadi dalam ajaran Islam. Karena itu dalam buku-buku aliran dan golongan Islam sering kita dapati pendapat-pendapatyang jauh dari ajaran Islam sebenarnya.
2)      Golongan Islam yang dahulu, terutama golongan mu’tazilah memusatkan perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah Islam dan bantahan alasan orang-orang yang memusihi Islam. Mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya kalau mereka sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta alasan-alasannya. Dengan demikian harus mereka menyelami pendapat-pendapat tersebut, dan akhirnya Negeri Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam pendapat dan bermacam-macam agama. Hal ini bisa mempengaruhi masing-masing pihak yang bersangkutan. Salah satu seginya yang terang ialah penggunaan filsafat sebagai senjata kaum muslimin.
3)      Factor ketiga ini merupakan kelanjutan factor kedua, yaitu para mutakalimmin hendak mengimbangi lawan-lawannya menggunakan filsafat, terutama segi ketuhanan. Karena itu Annazzam (tokoh mu’tazilah) membaca buku-buku Aristotelesdan membantah beberapa pendapatnya. Demikian pula Abul Huzail al-Allaf (juga tokohMu’tazilah).[3]

1.                  Perkembangan ilmu kalam pada masa ke masa.
a.       Pada masa nabi.
Pada masa Nabi SAW,dan para khulafaurosyiddin, umat islam bersatu, mereka satu akidah, satu syariah dan satu akhlaqul karimah,kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat di atasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan di antara mereka.awal mula adanya perselisihan di picu oleh abdullah bin saba (seorang yahudi)pada pemerintahan khalifah usman bin afan dan berlanjut pada masa khalifah ali. Dan awal mula adanya gejala timbulnya aliran-aliran adalah sejak khalifah usman bin afan, (setelah wafatnya rosulullah) pada masa itu di latar belakangi oleh kepentingan kelompok,yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah utsman bin afan.kemudian di gantikan oleh ali bin abi thalib,pada masa itu perpecahan di tubuh umat islam terus berlanjut.[4]
Umat islam pada masa itu ada yang pro terhadap kekhalifan ali bin abi tholib yang menamakan dirinya kelompok syi’ah,dan yang kontra yang menamakan dirinya khawarij.akhirnya perpecahan memuncak kemudian terjadilah perang jamal yaitu perang antara ali dengan aisyah dan perang siffin yaitu perang antara ali dengan mu’awiyah.bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai aliran di kalangan umat islam masing-masing kelompok juga terpecah belah,akhirnya jumlah aliran di kalangan umat islam menjadi banyak,seperti aliran syi’ah , khowarij,murji’ah,jabariyah,mu’tazilah dll.
b.      Pada masa bani umayah(661-750 M)
Masalah aqidah menjadi pendebatan yang hanyat di kalangan umat islam. Di zaman inilah lahir berbagai aliran teologi seperti murjiah, qodariyah jabariyah dan muktazilah. Kaum muslim tidak bisa mematahkan argumentasi filosofi orang lain tanpa mereka menggunakan senjata filsafat rasional pula. Untuk itu bangkitlah mu’tazilah mempertahankan kehidupan dengan argumentasi-argumentasi filosofis tersebut. Namun sikap mu’tazilah yang terlalu mengagungkan akaldan melahirkan berbagai pendapat controversial menyababkan kaum tradisional tidak menyukainya akhirnya lahir aliran ahlusunnah waljama’ah dengan tokoh besarnya abu hasan al-asy’ari dan abu mansyur al-maturidi. Pada zaman bani umayah hampir keseluruhan umat islam di dalam keimanan yang bersih dari sebarang pertikaian dan perdebatan.dan apabila kaum muslimin selesai melakukan pembukaan negri dan kedudukanya telah pun mantap, mereka beralih tumpuan kepada pembahasan sehingga menyebabkan berlaku perse;isihan pendapat di kalangan mereka.
c.       Pada zaman abasiyah
Telah banyak pembahasan di dalam perkara-perkara akidah termasuk perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman nabi saw atau xaman para sahabatnya, pembahasan tersebut memberi penumpuan menjadi satu ilmu yang baru yang di beri nama ilmu kalam.
Setelah kaum muslimin selesai membuka negeri-negeri,lalu ramai dari kalangan penganut agama lain yang memeluk islam. Mereka ini menzahirkan pemikiran-pemikiran baru yang di ambil dari agama lain yang memeluk islam.mereka ini menzahirkan pemikiran-pemikiran baru yang di ambil dari agama lama mereka,  tetapi di beri rupa bentuk islam iraq khusunya di basrah merupakan tempat segala agama dan aliran. Maka terjadilah perselisihan apabila ada suatu golongan yang menafikan irodah manusia. Kelompok ini di ketuai oleh jahnm bin safwan[5] dan para antara pengikutnya ialah para pengikut aliran jabariyah yang di ketuai oleh ma’bad al juhni, aliran ini lahir di tengah-tengah kekacauan dan asa yang di bentuk oleh setiap kelompok untuk diri mereka. Kemudian bangkitlah sekelompok orang yang ikhlas memberi penjelasan mengenai akidah-akidah kaum muslimin berdasarkan jalan yang di tempuh oleh al-qur’an antara yang masyhur di kalangan mereka ialah hasan al basyri.dan sebagian dari kesan perselisihan antara hasan al-basyri dengan muridnya washil bin atho ialah lahirnya suatu kelompok baru yang di kenal dengan muktazilah, perselisihan tersebut ialah mengenai hukum orang beriman yang mengerjakan dosa besar. Kemudian mati sebelum sempat bertaubat.
Pada akhir kurun ketiga dan awal kurun keempat, lahirlah imam abu matrudi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka membentuk aliran al-maturu\idiah kemudian muncul pula abu hassan al asy’ari yang telah mengumumkan keluar dari kelompok mu’tazilah dan menjelaskan asas-asas pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan fuqoha dan ahli hadis. Dia dan pengikutnya di kenal sebagai aliran asy-ariyah dan dari dua kelompok ini terbentuklah kelompok ahli sunnah wal kamaah
Dan kesimpulanya kita dapat melihat bahwa kemunculan kelompok-kelompok di dalam islam adalah kembali pada dua perkara yaitu, perselisihan mengenai pengetahuan,perselisihan di dalam masalah usul atau asal agama.   

2.                  Aliran-aliran yang berkembangan dalam pemikiran kalam umat Islam.

Adapun aliran – aliran dalam perkembangan ilmu kalam disebabkan, karena adanya perbedaan dalam mengambil suatu kaidah – kaidah dan dasar – dasar kalam. Seperti halnya masalah tenteng ayat qur’an yang menimbulkan pemahaman yang berbeda – beda dalam menyikapi sifat atau dzat Allah.
Ilmu kalam secara garis besar terbagi menjadi 6 aliran, berikut adalah pemaparannya ;
1.      Aliran Qodariyyah.
Secara bahasa Qodariyyah berasal dari bahasa arab “qodara“  yang mempunyai arti kemampuan atau kekuatan, sedangkan  secara terminologi qodariyyah adalah aliran ilmu kalam yang percaya bahwa manusia mampu mengendalikan dirinya sendiri tanpa ada perantara sang Kholiq. Aliran ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi ialah atas kehendak makhluk itu sendiri, seperti halnya kesuksesan seseorang terjadi karena atas kemampuan dan kerja keras manusia tanpa adanya ikut campur dari Allah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang - orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[6]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.[7]
2.      Aliran Jabariyyah.
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa.[8]
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[9]
3.      Aliran Mu’tazilah.
Aliran Mu’tazilah tumbuh pada masa khalifah Umaiyah. Tetapi melibatkan pemikiran Islam pada khalifah Abbasyiah dalam waktu yang cukup lama. Kaum ini merupakan golongan yang membawa pesoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum Rasionalais Islam”.[10]
Kebanyakan Ulama sepakat bahwa pendiri kaum ini adalah Washil bin Atha’, salah satu murid Al-Hasan Basri yaitu ketika timbul suatu masalah tentang kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Washil menentang gurunya, Al-Hasan Al-Basri, dengan mengatakan, “aku berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukan mukmin sama sekali, akan tetapi dia berada di antara dua posisi (al-manzilah baina al-manzilataini)”. Setelah itu kemudia ia meninggalkan gurunya dan mendirikan majelis lain di masjid.[11]
4.      Aliran Murji’ah.
Nama Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a bermakna juga memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan Rahmat Allah. Selain itu, arja’a juga berarti meletakkan di belakang atau mengkudiankan, yaitu orang yang mengutamakan iman daripada amal. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa (yakni Ali dan Muawiyah serta pengikut masing-masing) kelak dihari kiamat.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah sebagai kelompok politik maupun Teologis diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Yang mana kelompok Murji’ah merupakan musuh berat Khawarij.[12]
5.      Aliran Khowarij.
Pengertian khowarij, secara etimologi berasal dari kata khoroja yang artinya keluar, secara terminologi adalah orang atau kelompok yang keluar dari pimpinan yang sah, yang telah disetujui, baik dari masa khulafa’urrosyiddin, tabi’in, maupun sesudahnya.[13]
Golongan khorij ini, semula merupakan pengikut shahabat Ali, dalam menghadapi Mu’awiyyah ketika perang siffin, suatu peperangan antara kholifah Ali melawan Mu’awiyyah. Mereka mengundurkan diri dari kelompok Ali lantaran pihak Ali menerima tahkim yang ditawarkan pihak mu’awiyyah. Sebenarnya Ali menolak tawaran itu, lantaran kemenangan telah didepan mata.[14]
6.      Aliran Syi’ah.
Seacara lughowi, syi’ah berarti pengikut, pendukung, atau penolong. Menurut az-Zawi kata ini di kenal sebagai pendukung Ali atau pendukungnya.[15] Tetapi secara terminologi, adlah sikap dukungan kepada Ali untuk meneruskan kepemimpinan rasullullah, yang dalam hal ini dapat dibedakan pada dua masalah (Ghazali munir : 2010. Hlm 26-27) ;
1)      Yang hanya menekankan keutamaan Ali untuk meneruskan  kepemimpinan rasullullah, termasuk keutamaannya dari abu bakar, umar, dan utsman.
2)      Yang menekankan pada keyakinan bahwa imamah Ali bukan sekedar lebih utama, tetapi sudah merupakan wasiat dari rasullullah atas kehendak Allah.
7.      Aliran Asy’ariyyah.
Dalam kemuktazilah yang keruh,muncullah al asy’ari, di besarkan dan di didik,sampai mencapai umur lanjut.ia telah membela aliran muktazilah sebaik-baiknya,akan tetapi aliran tersebut kemudian di inggalkanya,bahkan memberinya pukulan-pukulan hebat dan menganggapnya  lawwan yang berbahaya. Namanya Abu hasan ali bin ismail al- asy-ari,keturunan dari abu musa al-asy’ari. Salah seorang perantara ali dan muawiyyah.al asy’ari lahir pada tahun 260H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M [16].    
8.      Aliran maturidiyyah.
Aliran maturidiyyah seperti aliran asy’ariyah masih tergolong ahli sunnah .pendirinya ialah muhamad bin muhamad abu mansyur.ia di lahirkan di maturid,sebua kota kecil di daerah samarkand (termasuk daerah usbekistan sekarang  pada pertengahan abad ketiga hijriyah dan meninggal di samarkand tahun 332H.

DAFTAR PUSTAKA
  • Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008).
  • Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2.
  • Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5.
  • M. Abu Zahrah, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, (Jawa Timur, PSIA, 1991).
  • Sby Sariono, lihat di  http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/murjiah-pemikiran-doktrin-dan-sekte.html unduhan(senin, 16 maret 2015 08:00wib)
  •  Hanafi ahmad,teologi islam ,pt bulan bintang Jakarta,1974.
  • A. Nasir  Sahilun, Pemikiran Kalam, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2010), cet 1
  • Munir  ghozali, ilmu kalam aliran aliran dan pemikiran islam, (Semarang, RaSAIL Media Group, 2010

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Sejarah Ilmu Kalam

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment