Yerusalem merupakan salah satu kota tertua di dunia, terletak di sebuah
dataran tinggi di Pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut Mati. Kota ini dianggap suci dalam
tiga agama Abrahamik utama Yudaisme, Kekristenan, dan Islam.
Baik orang Israel maupun Palestina mengklaim
Yerusalem sebagai ibu kota mereka, sebab Israel mempertahankan
lembaga-lembaga pemerintahan utamanya di sana dan Negara Palestina pada dasarnya memandang kota ini
sebagai pusat kekuasaannya; bagaimanapun kedua klaim tersebut tidak ada satupun
yang mendapat pengakuan luas secara internasional.
Sejarah Yerusalem Tiga Agama Satu Bangsa |
Berbicara mengenai kepemilikan
Jerusalem tidak akan ada habisnya. Jauh sebelum negara Israel dan Palestina
berkonflik untuk mendapatkan hak kepemilikan atas tanah Jerusalem, Kota Suci
tersebut sudah memiliki banyak peminat. Jerusalem sendiri tercatat pernah diperebutkan
oleh bangsa Assiria, Mesir, Babilonia, Yunani, Romawi, Byzantium, Persia, Arab,
kaum Perang Salib, Mameluk, Turki, Inggris, dan Yordania (Kuncahyono, 2008). Jerusalem
juga dihuni paling tidak oleh tiga agama besar dunia, yaitu Islam, Yahudi, dan
Kristen. Tiga agama yang sama-sama memiliki sejarah dan kedekatan spiritual
dengan Jerusalem. Tiga agama yang sama-sama mengklaim eksistensinya di kota
tersebut. Namun konflik yang berkecamuk di Jerusalem kemudian menimbulkan
pertanyaan kepada dunia, apakah agama yang sebenarnya menjadi sumber dari
konflik-konflik yang terjadi di Jerusalem? Siapakah yang sebenarnya berhak
untuk memiliki Jerusalem secara utuh?
Sepanjang sejarahnya yang panjang,
Yerusalem pernah dihancurkan setidaknya dua kali, dikepung 23 kali, diserang 52
kali, dan direbut serta direbut-kembali 44 kali. Bagian tertua kota ini menjadi tempat permukiman pada milenium ke-4 SM. Pada tahun 1538 dibangun tembok di
sekitar Yerusalem dalam pemerintahan Suleiman yang Luar
Biasa. Saat ini tembok tersebut mengelilingi Kota Lama,
yang mana secara tradisi terbagi menjadi empat bagian—sejak awal abad ke-19
dikenal sebagai Kampung Armenia, Kristen, Yahudi,
dan Muslim.[4] Kota
Lama menjadi sebuah Situs Warisan Dunia pada tahun 1981, dan termasuk dalam Daftar Situs Warisan Dunia yang dalam Bahaya. Yerusalem modern telah berkembang jauh
melampaui batas-batas Kota Lama.
Menurut tradisi Alkitab, Raja Daud merebut kota ini dari suku Yebus dan kemudian didirikannya sebagai ibu
kota Kerajaan
Israel Bersatu; putranya, Raja Salomo, memerintahkan pembangunan Bait Pertama.
Peristiwa-peristiwa pokok ini, sejak permulaan millenium ke-1 SM, memiliki
peranan sentral secara simbolis bagi orang-orang Yahudi. Julukan kota suci (עיר הקודש,
ditransliterasikan ‘ir
haqodesh) mungkin disematkan ke Yerusalem pada pasca-periode pembuangan.
Kesucian Yerusalem dalam Kekristenan, terlestarikan
dalam Septuaginta yang mana diadopsi kaum Kristen sebagai
otoritas mereka sendiri, dipertegas oleh catatan Perjanjian Baru tentang penyaliban Yesus di sana. Dalam pandangan Islam Sunni, Yerusalem adalah kota tersuci
ketiga setelah Mekkah dan Madinah. Dalam
tradisi Islam,
pada tahun 610 M Yerusalem menjadi kiblat pertama,
yaitu arah yang dituju dalam doa Muslim (salat), dan Muhammad melakukan Perjalanan Malam di sana 10 tahun kemudian, naik ke
surga di tempat ia berbicara kepada Allah,
menurut Al-Qur'an. Alhasil, walaupun hanya merupakan
daerah seluas 0,9 kilometer persegi, Kota Lama memiliki banyak situs dengan
arti penting keagamaan yang sangat berpengaruh, di antaranya yaitu Bukit Bait
Suci (Kompleks al-Haram)
dan Tembok Baratnya, Gereja Makam Kudus,
Kubah Batu (Kubah Shakhrah), Makam
Taman, dan Masjid Al-Aqsa.
Saat ini status Yerusalem tetap
menjadi salah satu isu pokok dalam Konflik Israel
dan Palestina. Selama Perang Arab-Israel
1948, Yerusalem
Barat termasuk salah
satu daerah yang direbut dan kemudian dianeksasi oleh
Israel; sedangkan Yerusalem Timur, termasuk Kota Lama, direbut
dan kemudian dianeksasi oleh Yordania. Israel merebut Yerusalem Timur dari
Yordania pada Perang Enam Hari tahun 1967 dan setelah itu
menganeksasinya ke dalam Yerusalem, bersama dengan tambahan wilayah di
sekitarnya. Salah satu Hukum
Dasar Israel, yaitu Hukum Yerusalem tahun 1980, menyebut Yerusalem sebagai
ibu kota yang tak terbagi dari negara tesebut. Semua bidang pemerintahan Israel
berada di Yerusalem, termasuk Knesset (parlemen
Israel), kediaman Perdana Menteri dan Presiden, juga Mahkamah Agung.
Kendati masyarakat internasional menolak aneksasi tersebut dengan menyebutnya
ilegal dan memperlakukan Yerusalem Timur sebagai teritori
Palestina yang diduduki oleh Israel, Israel memiliki suatu
klaim yang lebih kuat untuk kedaulatannya atas Yerusalem Barat. Masyarakat internasional tidak mengakui
Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan tidak ada kedutaan asing yang didirikan
di kota ini. Di Yerusalem juga terdapat beberapa lembaga Israel non-pemerintah
yang memiliki kepentingan nasional, misalnya Universitas
Ibrani dan Museum Israel dengan Shrine of the Book di lapangannya.
Pada tahun 2011
Yerusalem memiliki populasi 801.000 penduduk, di antaranya terdiri dari 497.000
penganut agama Yahudi (62%), 281.000 (35%) penganut Islam, 14.000 (sekitar 2%)
penganut Kristen, dan 9.000 (1%) tidak dikelompokkan menurut agama.
Posisi Jerusalem saat
ini berada di dalam peta perebutan kekuasaan bersamaan dengan seluruh tanah
Palestina yang lain. Namun ada yang beranganggapan bahwa perdamaian akan
terjadi jika status kepemilikan Jerusalem sudah memiliki kejelasan. Sehingga keterlibatan
masyarakat non-Palestina dan Israel seperti negara-negara Arab dan Vatikan
tidak dapat dihindarkan. Salah satu bukti keterlibatan negara lain dalam
membantu memperjelas status Jerusalem adalah Arab Saudi dengan appealed to the Muslims nations of Africa,
South Asia, and Southeast Asia for support. In 1970, for example, during state
visits to Indonesia and Malaysia, King Faisal of Saudi Arabia stated that
Palestine was a problem for all Muslims (Simon, et.al, 1993, p. 199).
Kedatangan Arab tersebut terjadi pasca Perang Enam Hari pada tahun 1967 yang
memberikan dampak luar biasa terhadap dunia karena pada saat itu Israel resmi
menduduki Jerusalem. Vatikan sendiri melalui Paus Yohanes Paulus II pernah
melakukan kunjungan ke Israel pada tanggal 21 Maret 2000 dan mengusulkan untuk
menjadikan Jerusalem untuk menjadi kota internasional (Kuncahyono, 2008).
Pernyataan serupa juga
pernah dikemukakan di dalam artikel berjudul Sharing Jerusalem oleh John
Whitbeek yang berpendapat bahwa dalam konteks solusi dua negara, Jerusalem
dapat menjadi wilayah tak terbagi untuk kedua negara, merupakan ibu kota kedua
negara dan dikelola oleh dewan distrik setempat. Dalam terminologi hukum
internasional, Jerusalem akan menjadi sebuah condominium (daerah yang dikuasai bersama) oleh Israel dan
Palestina (Baker, 2013, h. 22).
Penggunaan status kondominium itu sendiri pernah terjadi di daerah
Chandigarh di India yang dimiliki oleh daerah Punjab dan Haryana di mana
kekuasaan langsung berasal dari pemerintah pusat. Pernyataan ini juga senada
dengan pendapat PBB, “Future Government
of Palestine,” recommending partition of the territory into “independent Arab
and Jewish states and the Special International Regime for the City of Jerusalem” (A/Res 181(II), 1947).
Dalam bukunya yang
berjudul The Fight for Jerusalem, Dore
Gold mengawali bukunya itu dengan menulis, “Jerusalem hampir lepas (dari
Israel) pada bulan Juli 2000 ketika masa depan Kota Lama untuk pertama kalinya
dipertaruhkan di meja perundingan” (Gold, 2007). Perundingan itu adalah
Perundingan Camp David. Namun perundingan tersebut pada akhirnya gagal karena
pihak Palestina tidak sepakat dengan penawaran yang ditawarkan oleh Israel.
Pihak Amerika Serikat yang tadinya bersedia menjadi moderator dalam perundingan
tersebut juga harus menelan kekecewaan terhadap sikap Palestina yang dianggap
tidak kooperatif dalam upaya penyelesaian konflik secara damai.
PBB sendiri telah
beberapa kali mengeluarkan resolusi untuk membantu memperjelas status Jerusalem
seperti Resolusi PBB Nomor 242 dan 338 mengenai penarikan mundur secara penuh
pasukan Israel dari wilayah pendudukan termasuk Jerusalem, Resolusi nomor 271
mengenai kecaman terhadap kerusakan yang dilakukan Israel terhadap Masjid
Al-Aqsha, dan Resolusi Nomor 181 mengenai status Jerusalem sebagai corpus separatum.
The origin of UN/international
responsibility for and involvement in the issue of Jerusalem is set out in Part
III of the Partition Plan, which established a “Special Regime”: The City of
Jerusalem shall be established as a Corpus Separatum under special
international regime and shall be administered by the United Nations. The Trusteeship
Council shall be designated to discharge the
responsibilities of the Administering Authority on behalf of the United
Nations. The plan set out provisions for the appointment of a governor of the
city (not a citizen of either state),
empowered to administer the city and to conduct external affairs. The plan
determined demilitarization and neutrality of the city, with a special police
force recruited from outside Palestine (Baker, 2013, p. 10).
Saya setuju dengan
pendapat Whitbeck yang menginisiasi status kondominium untuk Jerusalem karena
pada dasarnya kepemilikan suatu kota bergantung kepada penduduk yang telah lama
menghuni kota tersebut. Jerusalem selama ini hidup damai dengan berbagai agama dan
latar belakang budaya. Negara yang kemudian merasa memiliki kepentingan dan
urgensi untuk memilikinya. Untuk dapat memberikan solusi damai baik kepada
masyarakat Jerusalem dan dua negara yang berseteru, Israel dan Palestina,
status kondominium dapat diberlakukan dengan diawasi langsung oleh PBB. Pada
dasarnya, tidak ada agama yang menginkan adanya perseteruan, terutama di Kota
Suci mereka tersebut, bahkan most Israeli
Jews, however, feel that religion and government should be separate, as it is
in most Western countries (Simon, 1993, h. 50) yang menunjukan bahwa
Jerusalem harus dipisahkan antara kepentingan agama dan kepemerintahan.
Sehingga meski terdapat tiga agama besar didalamnya, kepemilikian Jerusalem
adalah satu bangsa, bangsa dunia.